Konflik ini pada dasarnya bersifat politis dan nasionalistik, dan didorong oleh peristiwa sejarah.[28] Konflik ini juga memiliki dimensi etnis atau sektarian,[29] meski bukan konflik antar agama.[12][30] Salah satu isu utama adalah status konstitusional Irlandia Utara. Pihak Unionis/loyalis, yang mayoritas beragama Protestan dan memiliki kewarganegaraan Britania Raya (bersama dengan yang lainnya dari Irlandia Utara), ingin Irlandia Utara tetap berada di bawah Britania Raya. Di pihak lain, kaum Nasionalis Irlandia/republiken, yang kebanyakan orang Katolik, ingin Irlandia Utara meninggalkan Britania Raya dan bergabung dengan Irlandia Bersatu. Konflik ini dimulai dari sebuah kampanye untuk mengakhiri diskriminasi terhadap kaum nasionalis/Katolik yang minoritas oleh pemerintah Unionis/Protestan dan kepolisian.[31][32] Kampanye protes ini dikecam oleh pemerintah dan disambut dengan kekerasan oleh para loyalis, yang dipandang kaum republiken sebagai kuda pengintai mereka. Meningkatnya kekerasan secara luas, dan konflik antara pemuda nasionalis dan polisi, akhirnya menyebabkan pengerahan tentara Britania Raya. Meski pada awalnya disambut oleh warga Katolik, tentara secara bertahap dianggap menjadi semakin kasar.[33] Munculnya organisasi paramiliter bersenjata menyebabkan peperangan terus berlanjut selama tiga dekade ke depan.
Pihak-pihak utama yang terlibat dalam konflik ini adalah organisasi paramiliter republik seperti Tentara Republik Irlandia Sementara (IRA) dan Tentara Pembebasan Nasional Irlandia (INLA); paramiliter loyalis seperti Pasukan Sukrelawan Ulster (UVF) dan Asosiasi Pertahanan Ulster (UDA); pasukan keamanan negara Britania Raya —termasuk Angkatan Darat Britania dan Royal Ulster Constabulary (RUC); dan aktivis politik maupun politisi. Pasukan keamanan Republik Irlandia memainkan peran yang lebih kecil. Lebih dari 3.500 orang tewas dalam konflik ini, 52% adalah warga sipil, 32% adalah anggota pasukan keamanan Britania Raya, dan 16% adalah anggota kelompok paramiliter.[7] Telah terjadi kekerasan sporadis sejak Perjanjian Jumat Agung ditandatangani, termasuk sebuah kampanye oleh kaum republiken yang menolak gencatan senjata.[26][34][35]
Latar belakang
1609–1912
Kedatangan kaum imigran Protestan Inggris sejak tahun 1609 di Pulau Irlandia untuk menetap di sana pasca invasi bangsa Normandia ke tanah Irlandia (dikenal juga sebagai "plantation of Ulster") mendesak keberadaan penduduk asli Katolik Irlandia sehingga muncul konflik antara kedua komunitas. Mayoritas konflik berakhir dengan kemenangan oleh pihak Protestan sehingga memberi mereka dominasi kekuasaan di Pulau Irlandia sekaligus menciptakan diskriminasi atas penduduk asli setempat.[butuh rujukan]
Sejak Inggris menjadikan Irlandia sebagai bagian dari wilayahnya pada awal abad ke-19, muncul 2 kelompok besar di Irlandia: kelompok loyalis dan kelompok unionis (mayoritas Protestan) yang dekat dengan Inggris serta golongan nasionalis (mayoritas Katolik), mereka menginginkan restorasi parlemen Irlandia agar kaum Katolik Irlandia bisa mendapatkan kesetaraan dengan kaum Protestan.[butuh rujukan]
1912–1922
Pada awal abad ke-20, terjadi gejolak dalam Partai Parlementer Irlandia yang memegang peranan penting dalam aktivitas politik internal Irlandia dan berhaluan loyalis-unionis sehingga memberi keleluasaan bagi kaum nasionalis dan republik untuk segera mengupayakan restorasi parlemen Irlandia. Peristiwa tersebut membawa ketakutan bagi kaum unionis dan loyalis yang mayoritas beragama Protestan.[butuh rujukan] Mereka khawatir jika restorasi parlemen itu benar-benar terwujud, nasib mereka sebagai kaum minoritas di pulau tersebut akan terancam. Tahun 1912, kaum unionis-loyalis akhirnya mendirikan angkatan bersenjata bernama Ulster Volunteers. Tidak berselang lama, kaum nasionalis-republik mendirikan angkatan bersenjata bernama Irish Volunteers dengan tujuan mengimbangi aktivitas Ulster Volunteers.[butuh rujukan]
Pada 1916 terjadi salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Irlandia. Sekelompok simpatisan nasionalis republik menyandera kantor pos di kota Dublin, lalu mengibarkan bendera hijau yang menyimbolkan "Republik Irlandia" sambil memproklamasikan kemerdekaan Irlandia. Peristiwa yang juga dikenal sebagai "Easter Rising" tersebut pada awalnya tidak dipedulikan oleh mayoritas rakyat Irlandia, tetapi semuanya berubah ketika ke-16 orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut dieksekusi 2 tahun sesudahnya oleh pemerintah Britania Raya. Tindakan eksekusi tersebut diikuti dengan aksi mogok tentara asal Irlandia yang berada dalam angkatan perang Inggris dan menimbulkan aksi perlawanan dari rakyat Irlandia yang dimotori oleh angkatan bersenjata Pasukan Republik Irlandia (IRA) yang merupakan hasil reorganisasi dari angkatan bersenjata Irish Volunteers.[butuh rujukan]
Memanfaatkan opini mayoritas publik Irlandia saat itu yang menolak keberadaan Inggris di Pulau Irlandia, partai Sinn Fein yang berhaluan nasionalis republik berhasil meraih suara dominan di banyak wilayah di Irlandia dalam pemilu pada tahun 1918, tetapi hanya meraih sedikit suara di wilayah utara Irlandia atau Ulster. Keberhasilan Sinn Fein meraih banyak suara di Irlandia itu memberi mereka dominasi dalam parlemen Irlandia sehingga memberi mereka keleluasaan untuk membentuk parlemen sendiri (Dail) dan melakukan negosiasi dengan Kerajaan Britania untuk menentukan nasib Irlandia selanjutnya.[butuh rujukan]
Pada 1920, melalui Traktat Anglo-Inggris yang disepakati dengan parlemen Irlandia, Kerajaan Britania akhirnya memberi kemerdekaan pada mayoritas wilayah Irlandia sebagai negara merdeka berstatus dominion hingga merdeka penuh sebagai republik usai Perang Dunia II, tetapi tetap memasukkan wilayah Irlandia Utara (Ulster) sebagai bagian dari kerajaannya. Inggris beralasan kebijakan itu sudah disepakati dalam traktat yang intinya menyatakan bahwa dalam pemilu yang dilakukan, mayoritas rakyat di sejumlah wilayah Irlandia Utara memilih tetap bergabung dengan Inggris.[butuh rujukan]
Keputusan Inggris tersebut disambut baik kaum loyalis-unionis, tetapi ditolak oleh kaum nasionalis-republik yang menyatakan bahwa keputusan tersebut menentang keinginan mayoritas rakyat Irlandia keseluruhan. Kaum unionis, loyalis, dan Protestan merupakan mayoritas di wilayah Irlandia Utara, tetapi merupakan minoritas di wilayah Pulau Irlandia. Kebijakan tersebut lalu menimbulkan friksi dalam tubuh IRA sehingga terjadilah perang sipil Irlandia antara kelompok IRA yang pro-traktat dengan kelompok IRA yang anti-traktat danmenghendaki Irlandia bersatu. Perang yang dikenal sebagai Perang Sipil Irlandia itu berakhir dengan kemenangan IRA pro-traktat yang saat itu juga dibantu Inggris.[butuh rujukan]
Meskipun kalah, kelompok IRA yang anti-traktat - belakangan hanya dikenal dengan nama IRA setelah IRA yang pro-traktat bergabung dengan tentara nasional Irlandia - tetap menjalankan aksi-aksi bersenjatanya yang mencakup peledakan bom, penyerangan, dansabotase di sejumlah wilayah di Inggris dan Irlandia. Sebagai respon atas tindakan IRA yang merajarela tersebut, pemerintah Irlandia mengeluarkan wewenang bagi kepolisian untuk menangkap mereka yang dianggap terlibat dengan IRA tanpa harus melalui proses peradilan. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi dan tekanan bagi kaum Katolik di Irlandia Utara sehingga menjelang dekade 1960-an, IRA memutuskan untuk menghentikan aktivitas bersenjatanya.[butuh rujukan]
Sebagai bagian dari Kerajaan Britania Raya, Irlandia Utara memiliki hak istimewa untuk mendirikan parlemen sendiri. Di dalam pemerintahannya, Irlandia Utara menerapkan kebijakan yang cenderung mengistimewakan kaum mayoritas Protestan dan mendiskriminasi kaum Katolik dalam berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan hak suara dalam pemilu. Konflik dan intimidasi juga terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh kaum agama tertentu sehingga sebagai akibatnya, masyarakat Irlandia Utara pun kemudian terbagi menjadi wilayah timur yang didominasi kaum Protestan (berpusat di Belfast) dan wilayah barat yang didominasi oleh kaum Katolik (berpusat di Derry).[butuh rujukan]
1966-1969
Pada tahun 1966, sekelompok besar simpatisan republik melakukan pawai di Belfast memperingati momen 50 tahun pasca Easter Rising. Pada tahun yang sama juga terjadi ledakan bom di Belfast yang dilakukan oleh mantan anggota IRA. Sementara sejak awal dekade 1960-an, sekelompok orang dari kaum Katolik yang menyebut diri mereka Northern Ireland Civil Rights Association (NICRA) melakukan protes atas sejumlah kebijakan yang dianggap diskriminatif dan memojokkan kaum Katolik. Protes mereka mulai menemukan titik terang ketika Terrence O'Neill, perdana menteri Irlandia Utara waktu itu, mengatakan bahwa ia akan mendengarkan protes mereka & menjanjikan akan ada perubahan. Hal tersebut mengundang ketakutan dari kaum unionis-loyalis dengan mayoritas Protestan yang khawatir bahwa mereka akan kehilangan dominasi di Irlandia Utara.[butuh rujukan]
Pada pertengahan tahun 1966, sekelompok simpatisan dari kaum unionis-loyalis mendirikan suatu kelompok paramiliter bernama Ulster Volunteer Force (UVF). Di awal berdirinya, kelompok tersebut langsung menyatakan perang terhadap IRA & menyatakan pula akan langsung mengeksekusi orang-orang yang dianggap sebagai simpatisan IRA. Beberapa aksi mereka adalah menyerang sebuah pub milik kaum Katolik di Belfast pada tahun 1966, membunuh seorang warga Katolik di wilayah lain Belfast pada tahun yang sama, serta meledakkan instalasi listrik dan air bersih di beberapa titik di Irlandia Utara pada tahun 1969. Akibat aksi-aksi mereka, pemerintah Irlandia Utara menyatakan UVF sebagai gerakan ilegal dan menangkap pemimpinnya, tetapi faktanya UVF tetap melancarkan aksinya walau secara sembunyi-sembunyi.[butuh rujukan]
Pada 1969, terjadi kerusuhan besar yang dikenal sebagai Pertempuran Bogside antara penduduk lokal Derry dengan polisi keamanan RUC di area Bogside, kota Derry. Konflik bermula ketika pada tanggal 12 Agustus, iring-iringan Apprentice Boys—yang memperingati kemenangan kaum Protestan dalam penaklukkan Derry pada abad ke-17—terlibat aksi saling lempar batu dengan sejumlah penduduk lokal ketika iring-iringan tersebut mendekati kota Derry yang didominasi kaum Katolik. RUC yang ditugaskan menjaga parade berhasil memaksa penduduk lokal yang terlibat kerusuhan kembali masuk ke kota Derry. Namun ketika RUC berusaha merengsek lebih jauh ke dalam kota, mereka langsung dihujani lemparan batu & bom molotov oleh penduduk Derry. RUC lantas membalasnya dengan melepaskan gas air mata ke dalam kota sehingga sejumlah penduduk menderita gangguan pernapasan. Tak ada korban jiwa dalam "pertempuran" yang berlangsung hingga tanggal 14 Agustus tersebut, tetapi korban terluka diperkirakan mencapai ribuan orang.[butuh rujukan]
Jika ditelusuri ke beberapa bulan sebelumnya, Pertempuran Bogside bisa dikatakan merupakan puncak kekesalan warga Katolik dan nasionalis terhadap kinerja polisi RUC—yang dianggap sebagai perpanjangan tangan kaum loyalis karena anggotanya didominasi Protestan. Awal tahun 1969 misalnya, terjadi kerusuhan antara warga Derry dengan RUC setelah parade People's Democracy yang berhaluan nasionalis diserang oleh massa loyalis di perjalanan menuju Derry, sementara RUC yang ditugaskan dianggap tidak berusaha melindungi parade. Malam harinya, RUC mendobrak pintu rumah warga Derry yang dianggap terlibat dalam kerusuhan itu & memukuli mereka. Pada bulan April 1969, seorang warga Derry bernama Sammy Devenny dipukuli hingga tewas oleh RUC di rumahnya sendiri usai kerusuhan yang terjadi di Derry pada bulan yang sama. Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya memunculkan kebencian dari warga Derry yang berpuncak pada Pertempuran Bogside.[butuh rujukan]
Sebagai aksi protes terhadap RUC yang dianggap bertindak semena-mena dalam Pertempuran Bogside, pada tanggal 13 Agustus 1969 sekelompok orang yang terdiri dari kaum Katolik-nasionalis melakukan demonstrasi di kota Belfast. Namun entah kenapa, demonstrasi yang semula direncanakan berjalan damai tersebut berubah menjadi rusuh ketika para demonstran menyerang properti milik RUC & kaum Protestan. Malam harinya, kaum loyalis-Protestan melakukan aksi balasan berupa perusakan & pembakaran rumah-rumah komunitas Katolik di Belfast sehingga ribuan warga Katolik di Belfast kehilangan tempat tinggal. Belfast lalu berubah menjadi medan perang yang mencekam ketika terjadi saling serang & baku tembak di antara komunitas Katolik-nasionalis, Protestan-loyalis, serta polisi keamanan RUC. Tercatat 7 orang tewas & ribuan lainnya luka-luka dalam kerusuhan besar yang berlangsung hingga 17 Agustus tersebut. Kerusuhan dalam skala lebih kecil juga terjadi di kota-kota selain Belfast.[butuh rujukan]
Merasa tidak bisa mengendalikan keadaan, pemerintah Irlandia Utara akhirnya meminta penerjunan tentara Inggris di sejumlah wilayah konflik di Irlandia Utara untuk memulihkan kondisi di Irlandia Utara & mencegah konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan penempatan tentara Inggris di Irlandia Utara tersebut juga dikenal sebagai "Operasi Banner". Di awal kedatangannya, tentara Inggris disambut dengan hangat oleh komunitas Katolik yang memang sudah muak dengan aktivitas polisi RUC yang dianggap tidak serius mencegah konflik sektarian sambil berharap tentara Inggris bisa bertindak sebagai pihak netral dalam menengahi konflik & melindungi mereka dari serangan-serangan yang dilakukan kelompok loyalis & Protestan.[butuh rujukan]
Sejumlah pihak dari kubu Katolik & nasionalis menuding IRA gagal melaksanakan tugasnya untuk melindungi komunitas Katolik yang ada di Belfast. IRA sendiri beralasan mereka berusaha menghindari baku tembak di wilayah padat penduduk untuk mencegah terjadinya konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan IRA tersebut menimbulkan perpecahan internal sehingga sejak akhir tahun 1969, IRA terpecah menjadi 2: Provisional IRA (PIRA) yang berhaluan nasionalis republik dan Official IRA (OIRA) yang berhaluan sosialis. Keduanya memiliki tujuan yang sama: menyatukan Irlandia menjadi satu negara, tetapi dengan cara yang agak berbeda. OIRA berusaha menghindari kontak senjata di wilayah padat penduduk dengan harapan bisa menyatukan komunitas Katolik & Protestan, sementara PIRA tidak segan-segan melakukan aksi bersenjata di wilayah padat penduduk - termasuk aksi pengeboman - dengan tujuan membuat korban dari pihak musuh sebanyak mungkin hingga Inggris setuju untuk pergi dari Irlandia Utara.[butuh rujukan]
Terpecahnya IRA yang diikuti dengan berdirinya PIRA yang menyatakan tidak segan melakukan aksi bersenjata terhadap kaum loyalis memunculkan ketakutan baru bagi kaum loyalis-Protestan. Maka, pada tahun 1971, kaum loyalis kembali membentuk organisasi paramiliter baru bernama Ulster Defence Association (UDA) yang bertujuan untuk melindungi keberadaan kaum loyalis-Protestan & mengimbangi aktivitas PIRA di mana mereka menyatakan baru akan berhenti beraksi bila PIRA juga menghentikan aksinya. Terpecahnya IRA & kemunculan UDA - beserta UVF beberapa tahun sebelumnya - menandai periode baru dalam konflik ini di mana konflik yang semula hanya sebatas kerusuhan sipil yang kemudian berubah menjadi perang bersenjata.[butuh rujukan]
Awal hingga pertengahan dekade 1970-an merupakan salah satu era paling berdarah dalam perkembangan "The Troubles" karena pada masa ini, IRA - terutama PIRA - sedang giat-giatnya melakukan aksi bersenjata yang ditujukan terhadap tentara Inggris & kaum loyalis. Tanggal 25 Mei 1971 misalnya, PIRA meledakkan bom waktu di markas tentara Inggris di Belfast yang menewaskan seorang sersan Inggris dan melukai 2 tentara Inggris, 1 polisi RUC, serta 18 warga sipil. Aksi-aksi bersenjata juga dilakukan oleh kelompok paramiliter loyalis - terutama UVF - yang ditujukan terhadap mereka yang dianggap terlibat dalam jaringan IRA, salah satunya adalah aksi pengeboman bar McGurk yang mengakibatkan 15 warga sipil tewas & 17 lainnya luka-luka.
Salah satu peristiwa paling penting dalam dekade 1970-an adalah insiden Minggu Berdarah yang terjadi pada tanggal 30 Januari 1972 di area Bogside, Kota Derry. Ada sejumlah versi mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa itu, tetapi versi yang banyak diyakini adalah pihak militer Inggris mendengar bahwa ada sejumlah penembak jitu IRA yang menyamar dalam demonstrasi yang dilakukan NICRA. Kabar tersebut lalu direspon dengan penerjunan pasukan Inggris ke wilayah Bogside, Derry, yang kemudian melepaskan tembakan ke arah kerumunan demonstran sehingga 14 orang tewas tertembak & 13 lainnya terluka. Pihak tentara mengatakan bahwa mereka hanya bereaksi karena diserang lebih dulu oleh demonstran memakai senapan & bom rakitan, tetapi klaim itu dibantah oleh saksi mata yang mengatakan tak satupun dari demonstran yang ditembak membawa atau menggunakan senjata.
Terlepas dari klaim masing-masing pihak, peristiwa Minggu Berdarah membawa dampak negatif, baik bagi tentara Inggris maupun perkembangan The Troubles sendiri. Sebelum peristiwa Minggu Berdarah, warga Katolik bersikap hangat kepada tentara Inggris karena menganggap mereka sebagai pihak netral yang bisa diandalkan untuk melindungi mereka dari konflik sektarian. Namun usai peristiwa penembakan tersebut, opini mereka berubah di mana mereka kemudian menganggap pihak tentara tidak ada bedanya dengan kelompok paramiliter Ulster & polisi RUC yang semena-mena. Di sisi lain, berubahnya opini warga Katolik terhadap tentara Inggris membuat perkembangan The Troubles semakin rumit karena sesudah peristiwa Minggu Berdarah jumlah orang yang bergabung ke PIRA bertambah banyak. Politikus William Craig bahkan menyatakan bahwa pasca peristiwa ini, cara terbaik untuk meredakan konflik adalah membiarkan wilayah-wilayah di Irlandia Utara yang didominasi Katolik untuk bergabung ke Irlandia.
Pertengahan 1972, OIRA memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Dua tahun sesudahnya, OIRA terpecah menjadi Partai Pekerja (Worker's Party) yang dibentuk sebagai upaya oleh sejumlah mantan anggota IRA menggapai tujuannya tanpa jalan kekerasan & Pasukan Pembebasan Nasional Irlandia (Irish National Liberation Army; INLA) yang berisi sisa-sisa anggota OIRA yang memilih tetap melanjutkan aksi-aksi bersenjata. INLA juga memiliki partai politik tersendiri, yaitu Irish Republican Socialist Party (IRSP) di mana keduanya sama-sama berhaluan sosialisme Marxis. Di lain pihak, PIRA sempat mengumumkan gencatan senjata pada tahun 1975, tetapi gencatan senjata tersebut hanya berlangsung selama beberapa bulan & sesudah itu, PIRA kembali memulai aksi bersenjatanya.
Pada 1973, sempat dilakukan perundingan antara perwakilan Inggris, Irlandia, kaum nasionalis, & kaum unionis. Perundingan itu lalu menghasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Sunningdale. Inti dari Perjanjian Sunningdale adalah membentuk parlemen eksekutif di mana kaum loyalis akan berbagi kekuasaan dengan kaum nasionalis dan pembentukan konsul yang diharapkan bisa meningkatkan kerja sama antara Irlandia Utara dengan Republik Irlandia. Perjanjian tersebut didukung oleh sejumlah partai unionis & nasionalis, tetapi ditolak oleh PIRA yang hanya menginginkan "Irlandia bersatu" sebagai solusi akhir bagi aksi perlawanan mereka. Di lain pihak, kaum unionis-loyalis garis keras juga menolak perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut dianggap terlalu pro-Irlandia dan kaum nasionalis.
Perjanjian Sunningdale tidak bertahan lama setelah Brian Faulkner selaku kepala badan eksekutif mengundurkan diri usai partainya, Ulster Unionist Party (UUP), menarik diri dari perjanjian. Mundurnya Faulkner dan partainya disebabkan oleh tekanan akibat aksi kekerasan dan sabotase massal di Irlandia Utara oleh Ulster Workers' Council yang dibentuk dari kelompok pekerja simpatisan loyalis-unionis yang anti Perjanjian Sunningdale. UUP lalu membentuk United Ulster Unionist Council (UUUC) sebagai semacam koalisi dengan partai-partai unionis lain yang menentang Perjanjian Sunningdale untuk mengikuti pemilu beberapa bulan pasca mundurnya Faulkner. Hasilnya, mereka yang menentang Perjanjian Sunningdale berhasil memenangkan suara mayoritas sehingga perjanjian itu pun resmi berakhir sejak pertengahan 1974.
Pada Mei 1974, terjadi insiden ledakan bom di kota Dublin dan Monaghan, Republik Irlandia, yang mengakibatkan tewasnya 33 orang serta melukai ratusan orang lainnya. Aksi pengeboman tersebut merupakan aksi pengeboman dalam satu peristiwa yang paling banyak mengakibatkan korban selama The Troubles. Sementara peristiwa tersebut terjadi di luar wilayah konflik yang sebenarnya, yaitu Irlandia Utara. Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas insiden yang terjadi, sebelum akhirnya kelompok loyalis UVF akhirnya mengakui aksi tersebut pada tahun 1993.
Tahun 1979, Inggris dikejutkan oleh kematian 3 figur pentingnya, yaitu Richard Sykes (duta besar Inggris untuk Belanda), Airey Neave (anggota parlemen Partai Konservatif Inggris), & Lord Louis Mountbatten (sepupu Ratu Elizabeth yang juga merupakan veteran Perang Dunia II). Sykes dibunuh oleh anggota PIRA di Den Haag, Neave terbunuh ketika mobil pribadinya diledakkan oleh anggota INLA, sementara Mountbatten tewas bersama 5 anggota keluarganya setelah kapal pesiar pribadi yang mereka naiki meledak di perairan laut dekat Sligo, Irlandia. Selain ketiga figur penting tersebut, jumlah korban tewas dari pihak tentara Inggris dan polisi RUC juga terus bertambah akibat aksi-aksi pembunuhan yang sebagian besar dilakukan oleh PIRA.
1980-1990
Awal dekade 1980 dibuka dengan aksi mogok makan yang dilakukan oleh 7 orang simpatisan republik yang ditahan oleh Inggris di Penjara Maze. Aksi mogok makan tersebut dilakukan sebagai aksi protes terhadap kebijakan Pemerintah Britania Raya yang menangkap mereka yang diduga sebagai simpatisan republik tanpa proses pengadilan & tindakan kasar petugas penjara terhadap tahanan. Sebelumnya, pada tahun 1976 sekelompok simpatisan republikan yang ditahan di penjara yang sama juga melakukan aksi protes berupa penolakan memakai seragam penjara yang diikuti dengan aksi mengotori dinding penjara dengan kotoran dan air seni 2 tahun sesudahnya. Aksi mogok makan yang dilakukan pada tahun 1980 tersebut berlangsung selama 53 hari, yaitu dimulai pada tanggal 27 Oktober dan berakhir pada tanggal 18 Desember.
Setahun kemudian, ketika mengetahui bahwa tuntutan para peserta aksi mogok makan pada tahun 1980 tidak dipenuhi, para tahanan simpatisan republik kembali melakukan aksi mogok makan. Berbeda dengan aksi mogok makan sebelumnya, aksi mogok makan pada tahun 1981 dilakukan dengan interval beberapa hari antar pesertanya dengan tujuan untuk menarik perhatian publik lebih besar. Aksi mogok makan dimulai oleh Bobby Sands pada tanggal 1 Maret 1981. Uniknya, saat dia menjalani aksi mogok makan tersebut, ia terpilih sebagai salah satu anggota parlemen Britania Raya. Sekitar 66 hari sesudah ia memulai aksi mogok makannya, Bobby Sands akhirnya meninggal akibat kelaparan dan prosesi pemakamannya di Belfast dihadiri oleh 100.000 orang lebih. Meninggalnya Sands akibat aksi mogok makan kemudian diikuti oleh kematian kesembilan peserta mogok makan lainnya selama 3 bulan berikutnya.
Sesuai keinginan penggagas dan pesertanya, aksi mogok makan yang dilakukan pada tahun 1981 berhasil menarik perhatian masyarakat dunia dan menaikkan pamor komunitas nasionalis republik. Beberapa tempat di dunia didirikan atau diberi nama yang mengandung unsur "Bobby Sands" sebagai bentuk penghormatan, sementara di wilayah lain aksi-aksi protes mengecam pemerintah Inggris meledak pasca meninggalnya Bobby Sands. Di lain pihak, jumlah pemuda yang bergabung ke dalam kelompok paramiliter PIRA juga meningkat pesat. Hal tersebut mengikuti tren yang terjadi pasca insiden Bloody Sunday pada tahun 1972 di mana semakin banyak yang tertarik untuk bergabung ke PIRA & secara langsung menambah kekuatan bagi mereka untuk terus menjalankan aksi-aksi bersenjata.
Pada tanggal 12 Oktober 1984, terjadi aksi pengeboman di Hotel Grand di Brighton, Inggris. Aksi pengeboman tersebut menarik atensi publik begitu besar karena di saat bersamaan, Perdana Menteri Britania RayaMargaret Thatcher sedang berada di sana dalam kongres Partai Konservatif. Tercatat 5 orang terbunuh & 34 lainnya luka-luka, tetapi Thatcher sendiri selamat dalam aksi pengeboman tersebut. Aksi pengeboman tersebut dianggap sebagai aksi balas dendam PIRA terhadap pemerintah Inggris atas kematian Bobby Sands & simpatisan republikan lainnya dalam aksi mogok makan tahun 1981.
Lima tahun pasca aksi mogok makan tahun 1981, terjadi perpecahan dalam tubuh partai republikan Sinn Fein—partai yang disebut-sebut sebagai sayap politik PIRA. Perpecahan tersebut disebabkan karena sejumlah anggota Sinn Fein berusaha memanfaatkan momentum untuk menggalang dukungan melalui jalan politik pasca aksi mogok makan yang menaikkan pamor kaum nasionalis republik. Upaya tersebut dianggap bertentangan dengan kebijakan Sinn Fein untuk selalu menolak mengambil jatah kursi parlemen di Irlandia Utara sejak Irlandia Utara pertama kali terbentuk. Perbedaan pendapat tersebut membuat Sinn Fein terpecah menjadi 2 di mana pecahannya menamakan diri mereka Republican Sinn Fein. Terpecahnya Sinn Fein juga diikuti dengan munculnya pecahan baru dari kelompok PIRA bernama Continuity Irish Republican Army (CIRA) pada tahun yang sama.
Pada 1985, Inggris melakukan pembicaraan dengan Irlandia dan menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Anglo-Irlandia. Inti dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada Irlandia sebagai penasihat bagi Irlandia Utara untuk menyelesaikan konflik dan tidak akan ada perubahan dalam konstitusi Irlandia Utara, kecuali mayoritas dari anggotanya memilih untuk bergabung ke dalam komunitas republik. Namun perjanjian tersebut juga mendapat penolakan baik dari kaum unionis maupun republik. Kaum unionis menolak perjanjian tersebut karena memberi keleluasaan bagi Irlandia untuk mencampuri kegiatan politik Irlandia Utara, sementara kaum republikan - khususnya PIRA - melakukan penolakan karena perjanjian tersebut masih menetapkan Irlandia Utara sebagai bagian dari Inggris. Lepas dari penolakan yang diterima, perjanjian tersebut tetap diimplementasikan oleh Inggris & Irlandia.
1991-1998
Awal dekade ini ditandai dengan mundurnya Margaret Thatcher dari kursi Perdana Menteri Inggris pada bulan November 1990. Secara keseluruhan, aksi kekerasan masih terjadi selama dekade 1990-an, tetapi intensitasnya sedikit lebih menurun dibandingkan sebelumnya. Pada awal dekade ini, jumlah korban tewas akibat serangan kaum loyalis sempat melampaui jumlah korban tewas akibat serangan kaum republikan. Belakangan diketahui bahwa pada periode ini, milisi-milisi loyalis mendapatkan sokongan senjata daninformasi rahasia dari anggota intelijen Inggris.
Salah satu peristiwa kekerasan terbesar dalam dekade ini adalah peristiwa ledakan bom di pusat kota Manchester pada tanggal 15 Juni 1996. Insiden ledakan tersebut begitu diingat karena begitu besarnya dampak kerusakan yang ditimbulkan & korban cedera yang mencapai 200 orang. Ledakan tersebut juga disebut-sebut sebagai ledakan bom terbesar yang menimpa Inggris sejak Perang Dunia II. Sebagai akibatnya, banyak bangunan yang terpaksa dihancurkan & dibangun kembali. Belakangan diketahui bahwa PIRA yang melakukan aksi tersebut. Selain aksi ledakan bom di Manchester, PIRA juga meledakkan bom di London beberapa bulan sebelumnya di awal 1996 yang mengakibatkan kerugian puluhan juta poundsterling & bila ditotal dengan kerusakan dari pengeboman Manchester, kerugian yang diderita mencapai setengah miliar poundsterling.
Lepas dari konflik yang masih terus berlanjut, upaya untuk mengakhiri konflik di Irlandia Utara semakin menemukan titik terang. Tahun 1998, pasca pembicaraan panjang yang diadakan sejak beberapa tahun sebelumnya antar partai-partai di Irlandia Utara beserta pemerintah Inggris dan Irlandia, Perjanjian Belfast (dikenal juga sebagai Perjanjian Jumat Agung) dirumuskan. Sejumlah poin penting dalam perjanjian ini antara lain Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari Inggris kecuali mayoritas rakyatnya berubah pendirian, pendirian komisi HAM di Irlandia Utara, penyusunan sistem pemerintahan di Irlandia Utara yang komposisi anggotanya harus terdiri dari partai loyalis-republik, serta berakhirnya operasi militer Inggris di Irlandia Utara. Dicapainya Perjanjian Belfast juga disebut-sebut sebagai akhir dari The Troubles.
Berbagai perubahan dilakukan sebagai penerapan lanjutan dari Perjanjian Belfast. Salah satu perubahan penting yang dilakukan adalah reformasi dalam tubuh kepolisian Royal Ulster Constabulary (RUC) di mana pada tahun 2001, namanya diubah menjadi Police Service of Northern Ireland (PSNI) yang komposisi anggotanya terdiri dari 50% Katolik & 50% Protestan. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghapus citra polisi di Irlandia Utara yang selama ini dianggap diskriminatif dan semena-mena terhadap komunitas Katolik-nasionalis serta mengembalikan peran mereka sebagai penjaga ketertiban di Irlandia Utara usai penarikan mundur tentara Inggris.
Menjelang Perjanjian Belfast, kelompok-kelompok paramiliter di Irlandia Utara menghentikan aktivitas bersenjatanya untuk sementara waktu. Usai Perjanjian Belfast disahkan, pelucutan senjata masing-masing kelompok paramiliter dilakukan. Fokus utama dalam upaya pelucutan senjata adalah PIRA mengingat PIRA merupakan kelompok paramiliter terbesar dan paling dominan semasa The Troubles berlangsung. Upaya tersebut akhirnya terwujud setelah pada tahun 2005, PIRA dipastikan sudah menghancurkan semua stok persenjataannya dengan disaksikan oleh tim pengawas independen. Setelah pelucutan senjata milik PIRA dilakukan, pelucutan senjata dilakukan kepada kelompok-kelompok paramiliter lain seperti UDA & UVF.
Kebijakan PIRA untuk mengakhiri kegiatan bersenjatanya ternyata tetap mendapat penolakan dari sejumlah simpatisan. Oleh karena itu, pada tahun 1998 sejumlah simpatisan PIRA memutuskan untuk membelot dan membentuk kelompok paramiliter baru bernama Real IRA (RIRA). RIRA memiliki agenda untuk melanjutkan aktivitas bersenjata yang selama ini dilakukan oleh PIRA. Dalam sejumlah aksinya, mereka diketahui bekerja sama dengan Continuity IRA (CIRA) yang juga merupakan pecahan dari PIRA tahun 1986. RIRA dan CIRA merupakan kelompok paramiliter di Irlandia Utara yang masih aktif hingga saat ini.
1999-2010
Terlepas dari keberadaan kelompok-kelompok paramiliter kecil yang masih aktif hingga saat ini, setelah tahun 2000 kondisi di Irlandia Utara sudah jauh lebih kondusif. Irlandia Utara sekarang menjadi salah satu lokasi tujuan investor dan wisatawan di Britania Raya. Lukisan-lukisan dinding (mural) yang selama ini menjadi visualisasi perlawanan di Irlandia Utara kini menjadi saksi bisu sekaligus "galeri terbuka" untuk mengenang konflik berkepanjangan tersebut. Sikap terbuka dan saling menghargai antar komunitas juga semakin meningkat.
Namun konflik yang sudah berlangsung selama hampir 30 tahun tersebut tetap membawa konsekuensi negatif bagi wilayah setempat. Beberapa di antaranya adalah sikap sentimentil yang masih kerap muncul antara komunitas Katolik dengan Protestan, kasus-kasus pelanggaran HAM di Irlandia Utara selama the Troubles yang masih belum tertangani, adanya korban jiwa dan kerugian material akibat konflik, serta tekanan psikologis mendalam bagi masyarakat di Irlandia Utara yang berujung pada tingginya kasus perceraian, kecanduan alkohol, dan bunuh diri dalam keluarga.
^Arthur Aughey. The Politics of Northern Ireland: Beyond the Belfast Agreement, hlm. . 7; ISBN978-0-415-32788-6.
^ ab"Kerusuhannya sudah berakhir, tetapi pembunuhan terus berlanjut. Orang-orang yang mewarisi tradisi kekerasan Irlandia menolak menyerah atas apa yang mereka yakini." Jack Holland: Hope against History: The Course of Conflict in Northern Ireland. Henry Holt & Company, 1999, hlm. 221; ISBN0-8050-6087-1
^Gordon Gillespie, Historical Dictionary of the Northern Ireland Conflict, hlm. 250; ISBN978-0-8108-5583-0.
^Peter Taylor. Behind the mask: The IRA and Sinn Féin, Chapter 21: Stalemate, hlmn. 246–61.
^ abMitchell, Claire (2013). Religion, Identity and Politics in Northern Ireland. Ashgate Publishing. hlm. 5. Pemikiran paling populer tentang agama dijelaskan dalam buku kolaborasi bertajuk Explaining Northern Ireland (1995) karya McGarry dan O'Leary, dan dikutip oleh Coulter (1999) dan Clayton (1998). Argumen utamanya adalah bahwa agama adalah penanda sebuah etnis, namun pada umumnya tidak relevan secara politis dan dengan sendirinya. Sebaliknya, etno-nasionalisme terletak pada akar konflik. Hayes dan McAllister (1999a) menyatakan bahwa hal ini mewakili sebuah konsensus akademis.
^A Glossary of Terms Related to the Conflict. Conflict Archive on the Internet (CAIN). Catatan: "Istilah 'masalah' adalah sebuah eufemisme yang digunakan oleh orang-orang di Irlandia untuk konflik yang berlangsung di masa sekarang. Istilah ini sebelumnya pernah digunakan untuk menggambarkan periode sejarah Irlandia lainnya. Di situs web CAIN, istilah 'konflik Irlandia Utara' dan 'Masalah', digunakan secara bergantian."
^Joanne McEvoy. The Politics of Northern Ireland. Edinburgh University Press, 2008. hlm. 1. Catatan: "konflik Irlandia Utara, yang dikenal oleh warga setempat sebagai 'Masalah', bertahan selama tiga dekade dan merenggut nyawa lebih dari 3.500 jiwa".
^David McKittrick & David McVea. Making Sense of the Troubles: A History of the Northern Ireland Conflict. Penguin, 2001.
^Gordon Gillespie. The A to Z of the Northern Ireland Conflict. Scarecrow Press, 2009.
^Aaron Edwards & Cillian McGrattan. The Northern Ireland Conflict: A Beginner's Guide. Oneworld Publications, 2012.
^Arthur Aughey. The Politics of Northern Ireland: Beyond the Belfast Agreement, hlm. 7; ISBN978-0-41532-788-6.
^Gordon Gillespie. Historical Dictionary of the Northern Ireland Conflict hlm. 250; ISBN978-0810855830
^ abMarianne Elliot. The Long Road to Peace in Northern Ireland: Peace Lectures from the Institute of Irish Studies at Liverpool University. University of Liverpool Institute of Irish Studies, Liverpool University Press, 2007, hlmn. 2, 188; ISBN1-84631-065-2.
^Michael Goodspeed. When reason fails: Portraits of armies at war: America, Britain, Israel, and the future. Greenwood Publishing Group, 2002, hlmn. 44, 61; ISBN0-275-97378-6
^Michael L. Storey. Representing the Troubles in Irish Short Fiction, 2004, hlm. 149
^Richard Jenkins (1997). Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations. SAGE Publications. hlm. 120. Seharusnya, menurut saya, tampak jelas bahwa konflik Irlandia Utara bukanlah konflik agama... Meskipun agama memiliki sebuah tempat —dan memang tempat yang penting— dalam sandiwara konflik di Irlandia Utara, mereka yang terlibat melihat situasinya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan masalah politik dan nasionalisme, bukan agama. Dan tidak ada alasan untuk tidak setuju dengan mereka.
^Richard English. The State: Historical and Political Dimensions, Charles Townshend, 1998, Routledge, hlm. 96; ISBN0-41515-477-4.
^Dominic Bryan. Orange Parades: The Politics of Ritual, Tradition and Control, Pluto Press (2000), hlm. 94; ISBN0-74531-413-9.
David McKittrick, Seamus Kelters, Brian Feeney and Chris Thornton (1999), Lost Lives: The stories of the men, women and children who died as a result of the Northern Ireland troubles, Mainstream Publishing Company; ISBN1-84018-227-X.
Richard Bourke, Peace In Ireland: The War of Ideas (Random House, 2003).
Richard English, Armed Struggle: The History of the IRA, Oxford University Press (2003); ISBN0-19-517753-3
Richard English, The Interplay of Non-violent and Violent Action in Northern Ireland, 1967–72, in Adam Roberts and Timothy Garton Ash (eds.), Civil Resistance and Power Politics: The Experience of Non-violent Action from Gandhi to the Present, Oxford University Press, 2009; ISBN978-0-19-955201-6.
Kevin Myers, Watching the Door A Memoir 1971–1978, Lilliput Press, Dublin (16 Oktober 2006); ISBN1-84351-085-5
Tim Pat Coogan, Ireland in the Twentieth Century, Palgrave Macmillan (16 Februari 2006); ISBN1-4039-6842-X
David McKittrick and David McVea. Making Sense of the Troubles (London: Penguin Books 2000)
Paul Bew and Gordon Gillespie. Northern Ireland: A Chronology of the Troubles 1968–1993. (Dublin: Gill and Macmillan, 1993)
John Furniss Potter. A Testimony to Courage – the Regimental History of the Ulster Defence Regiment 1969 – 1992, Pen & Sword Books Ltd, 2001; ISBN0-85052-819-4