Komandemen 1 dan Awal Mula Divisi SiliwangiKomandemen 1 Jawa Barat dengan Panglima Jendral Mayor Didi Kartasasmita adalah cikal bakal Divisi Siliwangi. Divisi Siliwangi baru diresmikan pada 20 mei 1946. Yang sebagaimana diketahui adalah kesatuan tempur TNI yang membawahi wilayah KODAM III Jawa Barat yang pada awal berdirinya terdiri dari 5 Brigade dan masing masing Brigade memiliki satuan Resimen. Namun dalam perkembangannya menjadi Divisi Siliwangi kemudian membawahi langsung Batalyon sebagai satuan tempurnya. Masa awal terbentuknya, Divisi Siliwangi terdiri dari 5 Brigade yaitu :
Pembentukan Divisi Siliwangi berawal dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang diserukan oleh Presiden Soekarno pada masa awal kemerdekaan dalam keputusan tanggal 30 Agustus 1945. Sebelum itu awal pembentukan BKR di Jawa Barat terjadi pada tanggal 27 Agustus 1945 dari pertemuan antara Residen Priangan, R. Puradireja dengan R. Sanusi Hardjadinata yang menghasilkan BKR Priangan di bawah pimpinan Arudji Kartawinata dan Omon Abdurachman sebagai wakilnya. Pertemuan selanjutnya dilaksanakan di Gedung Sirnagalih, Bandung yang dihadiri oleh hampir seluruh mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) Priangan, Heiho, dan Koninkrijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dengan hasil pembentukan BKR Kabupaten Bandung dipimpin oleh R. Sukanda Bratamanggala, BKR Kota Bandung dipimpin oleh Suhari dan BKR Cimahi dipimpin oleh Gandawidjaya. Pembentukan BKR Jawa Barat kemudian berlanjut dibeberapa daerah antara lain :
Di tengah proses pembentukan BKR Jawa Barat ini, muncul seorang mantan pimpinan Seinendan daerah Cigelereng bersama 200 anggotanya yang kemudian menggabungkan diri dengan BKR. Pimpinan Seinendan ini yang kemudian diangkat menjadi penasihat BKR Priangan. Perkembangan BKR sebagai Badan Keamanan Rakyat dan Badan Penolong Korban Perang selanjutnya berdasarkan Maklumat Presiden Sukarno tanggal 5 Oktober 1945 diubah atau dibentuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pembentukan TKR di Jawa Barat dipelopori oleh Didi Kartasasmita, seorang mantan Opsir KNIL yang pada September 1945 mendatangi Perdana Mentri Republik Indonesia menawarkan diri membantu perjuangan RI. Sebagai seorang perwira lulusan Koninlijke Military Academy (KMA) Breda berpangkat Letnan satu, Didi Kartasasmita disambut baik oleh Amir Syarifudin karena dirasa akan sangat membantu dalam perjuangan kemerdekaan. Berdasarkan persetujuan Presiden, Didi Kartasasmita kemudian membuat maklumat yang berisi pernyataan bagi para mantan opsir KNIL untuk berdiri di belakang RI yang berisi antara lain kurang lebih tentang pembubaran tentara KNIL sejak 9 Maret 1942 oleh Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten. Dan dengan pembubaran itu, maka secara otomatis terbebas dari sumpah setia prajurit. Pertimbangan mengenai keamanan Republik yang tengah terancam dengan keberadaan Nedherland Indhisce Civil Administration (NICA) dan kesadaran akan gerakan kemerdekaan Indonesia, maka para mantan opsir KNIL ini menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia dan siap menerima segala perintah untuk menegakkan dan dan menjaga keamaan Republik Indonesia. Maklumat ini kemudian diikuti dengan surat dukungan yang datang dari para opsir junior, mantan taruna KMA Bandung dan bekas opsir cadangan kepada Didi Kartasasmita pada 8 Oktober 1945. Petikan surat yang intinya menyatakan dukungan dan bersedia bergabung dengan para perwira opsir senior berisi sebagai berikut : “Kami bekas Cadettan dan bekas Aspirant-Reserve Officieren Tentara Hindia Belanda menerangkan, bahwa kami menyetujui pendirian para opsir kami sebagai tertua dari kami dan berdiri sepenuhnya dibelakang mereka” Bandung, 8 Oktober 1945
Dukungan itu dilanjutkan dengan langkah Didi Kartasasmita menghubungi sejumlah mantan opsir KNIL dari KMA Bandung diantaranya A.H.Nasution, Rahmat Kartakusuma, Daan Jahja, Singgih, Arudji Kartawinata, Asikin Judakusumah, KH Sam’un, Husein Sastranegara dan Sastraprawira untuk berkumpul di Tasikmalaya pada 20 Oktober 1945 dalam usaha pembentukan TKR Jawa Barat. Pertemuan di Tasikmalaya itu berjalan lancar menghasilkan TKR yang terbagi dalam komandemen-komandemen yang membagi Jawa dalam 3 komandemen dan Jawa Barat masuk dalam bagian komandemen I Jawa Barat dengan susunan :
Satuan Tempur Komandemen 1 Jawa Barat adalah terdiri dari 3 (tiga) Divisi :
Sepuluh bulan kemudian baru pada tanggal 20 Mei 1946 bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional formasi itu kemudian dilebur dalam satu divisi dengan nama Divisi Siliwangi. Tanggal 20 Mei ini kemudian diperingati sebagai hari jadi Divisi Siliwangi. Tiga hari kemudian tanggal 23 Mei dalam rapat seluruh komandan Jawa dan Madura A.H.Nasution terpilih sebagai Panglima Divisi Siliwangi dengan pangkat Jendral Mayor. Formasi ini menjadi susunan awal terbentuknya Divisi Siliwangi seperti yang disebutkan diawal dan pada perkembangannya formasi ini terjadi beberapa perubahan hingga menjelang hijrahnya Siliwangi. Perjuangan Divisi Siliwangi sebelum Hijrah pada Perang Revolusi Masa Agresi Militer Belanda I dimulai pada 21 Juli 1947.14 Jawa Barat diserang dengan Strategi Ujung (speerpunter strategie) oleh Divisi B pimpinan Mayjen S.De Waal dan Divisi C pimpinan Mayjen H.J.J.W. Durt Britt, kedua divisi ini mengandalkan mobilitas tinggi dengan dukungan pasukan artileri dan bantuan udara.. Pasukan Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI di sektor Bandung Timur, setelah dilakukan pergantian pertahanan oleh Divisi II/Sunan Gunung Jati dari Jawa Tengah. Gempuran dalam empat hari pertama Belanda berhasil menduduki kota Cirebon. Akhir Agustus 1947 diketahui hanya Brigade I Banten yang masih utuh, sementara Brigade II Surya Kencana, Brigade III Kiansantang, Brigade IV Guntur dan Brigade V Sunan Gunung Jati bergeser dan melakukan pertahanan di pegunungan-pegunungan. Serangan Belanda yang mampu menerobos pertahanan TNI akhirnya memberikan pelajaran baru, bahwa dengan strategi pertahanan linier dalam kondisi pasukan dan persenjataan yang kurang memadai hanya akan membuang tenaga karena TNI saat itu memang masih jauh secara kemampuan dan persenjataan bila dibandingkan dengan Belanda yang militernya lebih maju. Akhir Agustus 1947 pasukan Siliwangi mulai menyusun kembali kekuatan dan kesatuannya dengan memanfaatkan kondisi alam atau medan pertempuran yang berupa pegunungan-pegunungan di mana pasukan TNI lebih mengenal dan menguasai medan dibanding pasukan Belanda. TNI menyusun kesatuannya dalam kantong-kantong pertahanan gerilya dengan mengikutsertakan unsur-unsur Pemerintahan RI dan rakyat yang dikenal dengan Perang Rakyat Semesta atau perang Gerilya TNI.. Serangan gerilya ditujukan pada sektor-sektor penting seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, pos Belanda. Jalur Tasikmalaya- Garut, Ciamis-Kuningan, Bogor-Sukabumi oleh Belanda dinyatakan sebagai “Jalur Maut” karena serangan gerilya TNI. Kesatuan Siliwangi yang sudah mulai terkondisikan berhasil mengadakan pertemuan pada November 1947 di Taraju, Tasikmalaya Selatan yang dihadiri oleh Kolonel A.H.Nasution, Kolonel Hidayat, Letkol Sutoko, Letkol H.Y.Mokoginta, Mayor Rambe, Kapten D.Suprayogi, Kapten Sakadipura, Kapten Kresno, Letkol Eddy Sukardi, Mayor Sidik Brotosewoyo, Mayor Askari, Kapten Hadi, Kapten Saragin, Kapten Djerman Prawirawinata, Kapten S.L.Tobing, Lettu Tatang Soemantri, Kapten Sugilar, Lettu Ace Kapten Zen dan Lettu Abas Herwan. Pertemuan tersebut guna menyampaikan instruksi kepada setiap kesatuan dari Divisi Siliwangi yang berisi tentang pembentukan kantong- kantong pertahanan bagi kesatuan TNI. Kantong pertahanan ini kemudian dinamakan Wehrkreise. yang merata dibentuk di semua distrik. Untuk itu pasukan disebar dan dikembalikan ke daerah asalnya. Membentuk organisasi wehrkreise, sub wehrkreise gerilya sebagai pemerintah militer yang dinamakan Komando Distrik Militer (KDM) dan kader-kader desa. Tiap-tiap wehrkreise harus menegakkan terus de facto RI secara gerilya. Strategi perang gerilya ini dalam prakteknya mampu mengacaukan barisan pertahanan Belanda, bahkan gerakan anti gerilya yang dilancarkan Belanda tak mampu membendung serangan gerilya TNI. Di Jawa Barat perang gerilya oleh pasukan Siliwangi mampu melumpuhkan usaha perkebunan yang merupakan sektor ekonomi penting bagi Belanda hingga para pengusaha partikelir menuntut jaminan keamanan dari pihak Belanda. Kondisi ini kemudian membawa Indonesia dan Belanda dalam sebuah perundingan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh PBB pada 27 Agustus 1947. KTN ini terdiri dari negara Australia sebagai wakil pihak Indonesia, Belgia sebagai wakil pihak Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah yang dipilih oleh kedua negara. Diplomat KTN ini terdiri dari Dr. Frank P Graham, Presiden Universitas North Carolina, Richard C Kirby dan Paul Van Zaeland.. Perundingan dilakukan di atas kapal perang Amerika U.S.Renville yang kemudian melahirkan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 dimana perjanjian itu membawa dampak besar bagi pemerintahan RI yaitu jatuhnya kabinet Amir Syarifudin dan juga bagi TNI yaitu dengan menarik pasukan ke dalam wilayah republik yang kemudian dikenal dengan hijrahnya pasukan Siliwangi dari Jawa Barat. Peristiwa hirjah ini kemudian menjadi babak baru perjuangan Siliwangi dalam perang kemerdekaan bersama dinamika politik pemerintahan serta desakan Belanda secara militer maupun secara politis. |