Beberapa atau seluruh referensi dari artikel ini mungkin tidak dapat dipercaya kebenarannya. Bantulah dengan memberikan referensi yang lebih baik atau dengan memeriksa apakah referensi telah memenuhi syarat sebagai referensi tepercaya. Referensi yang tidak benar dapat dihapus sewaktu-waktu.
Untuk mengetahui tentang kerajaan suku Dayak lainnya yang bercorak agama Kaharingan, lihat Kerajaan Nan Sarunai.
^1 Berdasarkan hasil uji karbon pada sisa peninggalan kayu ulin di lokasi situs Kuta Bataguh oleh Balai Arkeologi Regional Kalimantan pada tahun 2017-2018, peradaban di Bataguh(ibukota kerajaan Tanjung Pematang Sawang) diperkirakan sudah ada sejak 700 Masehi.[2]
Kerajaan ini diperkirakan sudah ada pada abad ke-5[1] sampai abad ke-15 Masehi dengan ratu yang terkenal akan kecantikan, keberanian, dan kesaktiannya bernama Nyai Undang yang merupakan anak dari Tamanggung Sempung dan Nyai Nunyang. Nyai Undang didampingi oleh dua rekannya yang juga terkenal yaitu Pangeran Tamanggung Tambun yang merupakan anak dari Raja Tamanggung Sarupoi (Raja Kerajaan Suku Ot Danum), serta Pangeran Tamanggung Bungai yang merupakan adik kandung Nyai Undang.[7] Tambun dan Bungai mendapat gelar dari Nyai Undang Raja di Pematang Sawang yaitu gelar “Tamanggung Tambun Terjun Ringkin Duhung” dan “Tamanggung Bungai Andin Sindai” karena keberanian mereka berdua dalam berperang mempertahankan kerajaan.[8] Kini nama Tambun dan Bungai diabadikan sebagai julukan bagi Provinsi Kalimantan Tengah, julukannya yaitu "Bumi Tambun Bungai".[9]
Dalam buku yang berjudul "The Lost City", serta menurut Museum Geologi Bandung dan Badan Arkeologi Kalimantan Selatan yang pernah melakukan penelitian di Kabupaten Kapuas, Ibukota kerajaan Tanjung Pematang Sawang yakni Bataguh memiliki luas sekitar 3km² dan dikelilingi oleh "Kuta" (pagar benteng) yang terbuat dari kayu ulin dengan diameter 30cm.[10] Pagar yang dibuat tinggi serta kanal di sekelilingnya diyakini sebagai bentuk pertahanan dari ritual Ngayau atau "berburu kepala" yang dilakukan oleh suku Dayak lainnya yang pada zaman itu digunakan sebagai pengorbanan dalam upacara Tiwah, namun benteng ini bisa juga murni untuk pertahanan saat berperang antar-suku. Di dalam pagar tersebut masih terdapat tiang-tiang kayu ulin bekas pemukiman dayak Ngaju zaman dulu.[1]
Menurut penelitian, kemungkinan diluar pagar benteng tersebut dulunya dikelilingi oleh parit yang mempunyai lebar antara 5 – 7 meter. Bentuk pagar yang berada di atas aliran sungai yang membelah Kuta Bataguh tersebut tentunya juga dibuat berbeda dengan pagar yang berada di atas tanah. Sungai yang mengalir di dalam Kuta mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penghuninya.[11]
Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang manusia setelah dilakukannya upacara Tiwah, yaitu upacara kematian dalam agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri adalah agama asli suku Dayak yang dianut oleh masyarakat serta anggota kerajaan Tanjung Pematang Sawang. Hingga kini agama Kaharingan masih dianut oleh sebagian warga Kalimantan, khususnya di Kalimantan Tengah.
Selain di daerah Kabupaten Kapuas, situs peninggalan Kerajaan Tanjung Pematang Sawang lainnya juga dapat dijumpai di Kabupaten Katingan dengan peninggalannya yang juga berupa benteng atau "kuta",[3] lalu di Desa Tumbang Pajangei, Kabupaten Gunung Mas dengan peninggalan yang juga meliputi benteng, situs Batu Bulan, Sandung Tamanggung Sempung (ayah Nyai Undang), serta Pasah PatahuTambun Bungai. Pasah Patahu adalah bangunan berupa rumah berukuran kecil yang dibuat oleh penganut agama Kaharingan sebagai tempat persembahan(sesajen) kepada roh leluhur atau roh pelindung(ganan parapah). Sudah ada banyak artefak dan situs di Kabupaten Gunung Mas yang didaftarkan menjadi cagar budaya oleh pemerintah setempat.[12]
Bataguh adalah kota yang hilang (The Lost City) yang kemudian ditemukan kembali dengan cara-cara yang tidak terduga. Berawal dari penemuan tembikar dan emas sedikit demi sedikit oleh warga sekitar desa Handil, Pulau Kupang, Kecamatan Bataguh, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Puncaknya, penemuan situs ini berlanjut dan menjadi heboh sekitar tahun 1987-an, saat ada seorang petani rantauan dari luar pulau Kalimantan yang sedang bertani merasa keheranan karena setiap kali mencangkul tanah dilahannya, ia malah menemukan berbagai macam jenis tembikar, gerabah, potongan kayu ulin, keramik, manik-manik, dan tulang yang diduga adalah tulang manusia. Kemudian petani ini mengais-ngais tanah lebih dalam dan mencermatinya dengan seksama, tiba-tiba ia melihat pantulan cahaya kekuning-kuningan dari balik tumpukan tanah. Petani itupun memungutnya untuk meyakinkan, ternyata benda itu adalah emas, logam mulia yang sangat bernilai. Tidak berselang lama, kabar ini pun menyebar pada masyarakat luas, bahkan yang di luar pulau Kalimantan Tengah. Pemuan artefak sejarah yang amat sangat bernilai ini diserbu oleh masyarakat beramai-ramai, terlebih untuk mengambil logam mulia ini. Walaupun yang mereka cari adalah emas, tetapi semua benda-benda peninggalan bersejarah suku Dayak Ngaju itupun ikut hancur seiring meluasnya wilayah eksplorasi.[13][1]
Di sepanjang sudut desa tersebut banyak tenda dari terpal di bangun berjejer. Makin hari, semakin banyak orang-orang berdatangan entah dari pulau mana. Orang-orang mendapat emas sebagian dalam bentuk yang sudah jadi, seperti cincin, kalung, liontin, gelang dan sebagian besar dalam bentuk leburan (emas yang terbakar), menggumpal, dan dalam bentu serpihan-serpihan tipis. Di lokasi itu juga ditemukan serpihan-serpihan perahu, juga pengayuh (dayung) yang gagangnya kebanyakan berbentuk bulan sabit beserta tembingkar dari tanah yang kebanyakan sudah tidak utuh lagi.[14]
Hingga ada beberapa orang mencoba mencari emas disana menggunakan alat seadanya, seperti baskom, wajan atau kuali dan apa saja yang bisa digunakan untuk tempat mengancurkan tanah. Dan ternyata mereka mendapatkan emas yang mereka cari. Semakin lama, orang-orang mulai membawa apa saja sebagai wadah untuk menghancurkan tanah di area tersebut. Mula-mula orang menghancurkan tanah hanya dengan mengadonnya dengan tangan, kemudian mereka membuat peti-peti dari kayu untuk menampung tanah berisi emas tersebut. Lama-kelamaan tanah di lokasi itu juga diinjak-injak dengan kaki sampai lunak hingga akhirnya emas bisa terlihat. Tidak hanya itu, para pendulang juga sudah mengunakan mesin dan alat penyedot emas untuk menghancurkan tanah dengan kapasitas yang lebih besar, seiring dengan itu pula emas sudah mulai sulit didapatkan.
Setelah beberapa tahun, akhirnya aktifitas berburu harta peninggalan kerajaan Dayak Ngaju di wilayah tersebut sudah tidak ada lagi, karena emas yang dicari sudah habis diambil warga pendatang dan warga lokal, dan juga lokasinya sudah menjadi hutan kembali. Kemudian beberapa orang tim arkeologi dari "Balai Arkeologi Kalimantan Selatan" bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah datang ke sana untuk meneliti situs "Kuta Bataguh" (benteng Bataguh) tersebut. Menurut hasil laporan dari penelitian, yang tersisa dari benteng dan benda-benda lainnya hanya sekitar 5 persen saja. Sementara 95 persen-nya telah hilang diambil oleh warga pendatang dan warga lokal atau bisa juga sebagiannya masih tertimbun di dalam tanah. Sejumlah artefak yang diambil oleh masyarakat setempat dari situs tersebut sangat bervariasi, seperti alat kayu pemintal, harta berharga seperti emas yang kebanyakan dalam bentuk jadi atau dalam bentuk leburan, manik-manik, logam, dan juga temuan artefak kayu ulin seperti yang digali oleh tim arkelog sendiri. Berdasarkan hasil analisa tim arkeolog, kayu ulin tersebut diperkirakan sudah ada sejak 700 tahun Masehi.
Sebenarnya informasi mengenai Kerajaan Tanjung Pematang Sawang sendiri sudah diketahui sejak lama oleh suku Dayak Ngaju melalui "Tetek Tatum"(nyanyian ratap tangis suku Dayak) yang dinyanyikan oleh para penyair sesepuh tiap kali ada ritual keagamaan Kaharingan dan diceritakan secara turun-temurun. Kini sebagian kayu-kayu benteng peninggalan kerajaan itu telah dijadikan sebagai bahan membuat rumah oleh penduduk sekitar. Sebagian penduduk yang lahir belakangan di wilayah tersebut kurang mengerti dengan arti sebutan "Kuta", terlebih lagi suku pendatang dari luar pulau Kalimantan Tengah. Banyak dari mereka mengartikan kata "Kuta" sebagai "kota". Mereka mengira bahwa dahulunya di daerah ini merupakan sebuah kota yang kini sudah ditinggalkan oleh penduduknya entah ke mana. Padahal kata "Kuta" sendiri bermakna "benteng" atau "pagar", sedangkan kata "Bataguh" berarti "kuat". Jadi "Kuta Bataguh" berarti "benteng yang diperkuat" dalam bahasa Sangiang (bahasa Dayak Ngaju kuno).
Menariknya, bekas-bekas situs "Benteng Bataguh" dapat terlihat melalui foto Satelit. Bekas benteng kerajaan tersebut terlihat bundar menyerupai telur dengan luas hampir 5.000 meter. Kalau melihat dari luasnya situs "Kuta Bataguh"(benteng Bataguh) tersebut, daerah ini diperkirakan sebagai wilayah kekuasaan besar jika dibandingkan dengan "Kuta" (benteng) yang lain seperti yang ada di Kabupaten Gunung Mas. Keberadaan situs Kuta Bataguh yang memiliki pola hunian dan sistem keamanan yang maju menunjukan bahwa wilayah tersebut bukanlah dari kalangan kelompok kecil, tapi sudah mengarah ke "early state" atau "negara muda" pada masanya.