Kerajaan Sekar, awalnya disebut Kerajaan Kabituwar, adalah satu di antara sembilan kerajaan yang masih eksis di Tanah Papua. Delapan kerajaan lainnya adalah Ati-Ati, Patipi, Rumbati, Fatagar, Arguni, Wertuar, Namatota, dan Komisi.[3] Kerajaan ini terletak di semenanjung Onin, dis. Kokas, kab. Fakfak, provinsi Papua Barat. Awalnya merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Rumbati bersama kerajaan Wertu(w)ar, namun kemudian diakui menjadi kerajaan sendiri.[4]
Sejarah
Pada mulanya kerajaan Sekar berpusat di jalan masuk Teluk Sekar, yang disebut Kabituwar. Sehingga orang pertama yang mendapat jabatan raja disebut Raja Kabituwar, bernama Pandai alias Congan. Daerah Kokas menjadi pemukiman atas banyak pedagang yang berasal dari luar Papua, pada kemudian hari pemukiman itu dinamakan Sekar. Pada tahun 1896 seorang bernama Mner dari ‘soa’ Beraweri diangkat oleh Sultan Tidore menjadi raja kapitan negeri Sekar. Pengangkatan ini disebutkan atas saran dari raja Misool dan raja Rumbati. Sehingga kekuasaan Raja Kapitan Sekar adalah terpisah dari kekuasaan Raja Kabituwar. Mner kemudian pindah ke Sekar dan membangun kampung Sekar. Putra sulung Mner, Kubis juga mendapat gelar Raja Kapitan Sekar, tetapi keturunan berikutnya tidak lagi mendapatkan gelar ini.[4]
Sementara itu Pandai sebelum menyandang gelar Raja Kabituwar merupakan raja komisi secara tidak resmi dari Kerajaan Rumbati, ayahnya Paduri alias Weker juga menyandang gelar ini. Namun ketuka Pandai meninggal, tidak ada calon pengganti yang dipertimbangkan. Ini dikarenakan Pandai tidak memiliki saudara, dan satu-satunya putra yang ia miliki, Abdulrachman masih anak-anak. Sehubungan ini pemerintahan kerajaan Kabituwar dipimpin oleh rajamuda Wertuwar bernama Lakate, yang merupakan putra tiri Pandai. Pandai menikah dua kali, istri keduanya bernama Badika, yang sebelumnya merupakan istri dari rajamuda Wertuwar, Inisuka, ayah dari Lakate. Lakate menjalankan fungsinya sebagai raja Kabituwar, sedangkan fungsi rajamuda dijalankan oleh Saban Pipi Rumagesan, walau tidak diangkat secara resmi. Pipi sendiri adalah putra dari Dimin, “anak emas” dari Paduri. Keturunan Dimin menurut adat seharusnya tidak bisa menjabat sebagai raja ini dikarenakan tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan raja-raja sebelumnya.[4]
Pada tahun 1911 dari pihak kolonial Belanda, tidak ditemukan orang yang lebih cocok, sehingga mengintervensi suksesi kerajaan Kabituwar dengan mengangkat Pipi sebagai raja dengan gelar Raja Sekar. Putrinya sebelumnya telah dinikahkan dengan penjabat raja Kabituwar, Lakate. Sehubungan usia Pipi sudah lanjut, Machmud Singgirei Rumagesan yang merupakan anaknya diangkat menjadi rajamuda dalam menjalankan kekuasaan. Daerah Pikpik yang awalnya diletakkan di bawah kuasa kerajaan Atiati dipindahkan menjadi wilayah Sekar.[4]
Sekitar tahun 1885 raja Atiati mengangkat seorang kepala daerah di Pikpik dengan tujuan untuk mendapatkan bantuan perang yang mengancam antara Rumbati di satu pihak, dengan Atiati dan Fatagar di pihak lainnya. Kepala daerah ini bernama Tatare dan mendapat gelar raja, walau tidak diakui jabatan ini oleh pemerintah Belanda, baru setelah putranya Kauat diakui menjadi kepala Pikpik. Akan tetapi semua hubungan Atiati dan Pikpik dihilangkan dan diletakkan di bawah kekuasaan kerajaan Sekar. Bisa dipastikan Kauat melakukan beberapa manuver untuk menjadi kerajaan sendiri tanpa dibawah Sekar. Akan tetapi keinginan para kepala daerah Pikpik tidak pernah didukung pemerintah kolonial Belanda. Berdasarkan pertimbangan praktis Pikpik merupakan daerah kekuasaan Sekar, walau secara adat posisi raja Sekar sebagai kepala daerah Pikpik masih diperdebatkan. Beberapa daerah lain yang tidak mengakui kekuasaan raja Sekar saat itu adalah kampung Sisir dan Kampung Ugar yang memiliki silsilah raja sendiri. Akan tetapi pemerintah kekuasaan Belanda mendukung sepenuhnya kekuasaan raja Sekar.[4]
Machmud Singgirei Rumagesan ditetapkan menjadi raja pada tahun 1915 dan diakui secara resmi oleh pemerintah Belanda. Namun kerap kali Raja Rumagesan justru memberontak dari Belanda. Pemberontakan Machmud Rumagesan diawaki dengan konflik yang menyangkut Maskapai Colijn, perusahaan penambangan minyak yang beroperasi di Kokas. Pada awal pendirian operasi di Kokas ini, sangat difasilitasi oleh Raja Rumagesan dan penduduk sekitar, sehingga perusahaan ini menyetujui ketika hasil gaji diberikan kepadanya untuk didistribusikan ke penduduk. Akan tetapi Bestuur Assistent lokal meminta Raja Rumagesan memberikan kembali uang tersebut kepadanya, namun ditolak Raja Rumagesan. Bestuur Assistent tersebut melapor ke Controleur van den Terwijk, yang kemudian terlibat dalam perkelahian dengan Raja Rumagesan. Penduduk sekitar mendukung Raja Rumagesan dan hampir membunuh van den Terwijk. Pemberontakan menjadi lebih luas sehingga pemerintahan kolonial Belanda yang berpusat di Fakfak kemudian mengirimkan pasukan. Pada akhirnya 73 warga setempat dan 5 kepala kampung ditangkap dan dijatuhi hukuman 2-10 tahun penjara. Sedangkan Raja Rumagesan sendiri dijatuhi hukuman 15 tahun penjara di Saparua, Maluku.[5] Di dalam penjara Rumagesan berhasil menulis surat meminta bantuan Muhammad Husni Thamrin anggota Volksraad saat itu. Thamrin berhasil menghadirkan kasus Rumagesan di pengadilan dimana bisa dibuktikan ia tidak bersalah sehingga dibebaskan tahun 1941. Machmud Singgirei Rumagesan sendiri kemudian terlibat dalam beberapa perlawanan Indonesia melawan Kolonial Belanda di Papua.[6][7][5]
Setelah Raja Machmud Singgirei Rumagesan mangkat, pimpinan kerajaan diwariskan kepada putranya Amir Syahdan Rumagesan.[8] Tetapi setelah Amir meninggal terjadi konflik suksesi. Sehingga Rustuty Rumagesan anak Singgirei dari putri keturunan Gowa, menjadi pemimpin. Tetapi Rustuty menolak gelar raja dan mengambil jalan tengah bergelar “Ratu Petuanan Tanah Rata Kokoda”. Rustuty menikah dengan Sri Harijanto Tjitro Soeksoro, yang merupakan bangsawan keturunan Mangkunegara III.[9] Setelah Rustuty meninggal, Pamannya Arief Rumagesan, cucu ke-lima Singgirei menjabat menjadi raja dengan gelar “Raja Petuanan Pikpik Sekar”.[10]
Catatan
^Kemungkinan Raja Kapitan Sekar Mner, keturunan yang berbeda dari Raja Kabituwar.