Halaman ini berisi artikel tentang kerajaan Tai di Nakhon Si Thammarat, didirikan pada abad ke-13. Untuk pendahulunya, lihat
Tambralinga.
Kerajaan Nakhon Si Thammarat (Kerajaan Ligor) (RTGS: Anachak Nakhon Si Thammarat) adalah salah satu negara kota komponen utama (mueang) dari kerajaan-kerajaan Siam seperti Sukhothai dan kemudian Ayutthaya dan menguasai daerah yang cukup besar di Semenanjung Malaya. Ibu kotanya adalah kota eponim Nakhon Si Thammarat di tempat yang sekarang masuk wilayah Thailand Selatan.
Pendirian dan periode Sukhothai
Kebanyakan sejarawan mengidentifikasi Kerajaan Langkasuka, Kadaram, Kalathana, Panpan, Tantan, Tunsun, dan Tambralinga dari catatan Tiongkok (yang ada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14) sebagai pendahulu dari Nakhon Si Thammarat. Selama akhir milenium ke-1 dan awal milenium ke-2 SM, daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni oleh orang-orang dari Melayu, Siam, Burma, dan Khmer. Daerah tersebut selanjutnya menjadi daerah kekuasaan Funan bersama sengan kerajaan Kalathana, Panpan, Kadaram, Langkasuka, Tunsun, dan Thanathana. Selanjutnya, kerajaan tersebut menjadi provinsi dari kerajaan-kerajaan melayu seperti Merah sebagai penyatuan tanjung periode pertama dan selanjutnya diserap ke Sampaguita dan Pagaruyung sebelum daerah pusat dicaplok Sukhothai dan daerah caplokan yang disebut sebagai kesatuan Pahang dicaplok Tumapel. Pada abad ke-13, Nakhon Si Thammarat menjadi salah satu dari mueang (negara kota) mereka.[1] Perihal persisnya mengenai Tai mengambil alih kerajaan Buddhis dan dipengaruhi India sebelumnya di lokasi ini tetap tidak jelas. Prasasti Ram Khamhaeng dari tahun 1283 (atau tahun 1292) mencantumkan Nakhon Si Thammarat sebagai kerajaan pembayar upeti paling selatan di Sukhothai, mungkin diperintah oleh kerabat Raja Ram Khamhaeng. Tradisi Buddhis Theravada di Nakhon Si Thammarat adalah model bagi seluruh Kerajaan Sukhothai.[2] Teladan untuk model Mandala Asia Tenggara, ketergantungan pada Sukhothai hanya bersifat pribadi, bukan kelembagaan. Karena itu, setelah kematian Ram Khaemhaeng, Nakhon Si Thammarat memperoleh kembali kemerdekaannya sebagai Ligor dan menjadi kerajaan yang dominan di Semenanjung Malaya sebelum akhirnya teprecah kembali ke dua kekuasaan regional pada masanya.
Periode Merdeka
Setelah merdeka di tahun 1298, nama kawasan berubah menjadi Ligor dan mengambil alih seluruh daerah tanjung dan menjadi kawasan maritim terpadat pada zamannya. Setelah itu, Ligor muli mengalami kemunduran atas bangkitnya Kerajaan Ayutthaya yang waktu itu dipimpin oleh pemerintah maritim.
Periode Ayutthaya
Dalam periode ini, Ligor mulai mengalami kemunduran atas bangkitnya Kerajaan Ayutthaya yang waktu itu dipimpin oleh pemerintah maritim sehingga terjadi pergolakan antara bangsa Ligor dengan Siam hingga penghuni asli meminta tolong kepada Majapahit dan Cina untuk mengalahkan pasukan Siam. Perang Siam dan Melayu berakhir dengan daerah selatan tanjung masih dikuasai bangsa Melayu dan Ligor yang mulai menjadi daerah Siam harus kehilangan daerah tanjungnya.Hukum Palatine Raja Trailok bertarikh 1468, Nakhon Si Thammarat tercantum sebagai salah satu dari delapan "kota besar" (phraya maha nakhon) milik Kerajaan Ayutthaya. Namun demikian, ia mempertahankan dinastinya sendiri dan memiliki negara vasalnya sendiri, yang dimediasinya ke Ayutthaya[3] (lagi-lagi corak khas model Mandala dengan tingkat kekuasaannya yang berjenjang). Di bawah Raja Naresuan (berkuasa tahun 1590–1605), Nakhon Si Thammarat menjadi sebuah "provinsi kelas satu" (mueang ek). Namun, jabatan gubernur provinsi masih bersifat semi turun-temurun dan biasanya diturunkan dari ayah kepada putranya dalam dinasti lama Nakhon Si Thammarat. Nakhon Si Thammarat merupakan yang paling penting di antara provinsi-provinsi selatan Ayutthaya dan menikmati keutamaan dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Semenanjung Malaya. Perannya dalam perdagangan luar negeri (yang melibatkan para pedagang Belanda dan Portugis) menghasilkan kekayaan yang besar di provinsi itu dan berkontribusi pada tingkat kepercayaan dan klaim otonomi yang tinggi dalam kaitannya dengan kekuasaan pusat.
Selama konflik suksesi Ayutthayan tahun 1629, Nakhon Si Thammarat memberontak melawan raja baru Prasat Thong. Raja perampas kekuasaan itu mengirim petualang Jepang berpengaruh, Yamada Nagamasa dengan pasukan bayarannya untuk memadamkan pemberontakan dan menjadikannya gubernur dan penguasa Nakhon Si Thammarat untuk waktu yang singkat.[4] Pemberontakan lain di Nakhon Si Thammarat melawan ibu kota terjadi setelah Revolusi Siam 1688 ketika penguasa setempat menolak untuk menerima kenaikan takhta raja perampas kekuasaan Phetracha.[5]
Bacaan lebih lanjut
- Stuart Munro-Hay. Nakhon Sri Thammarat - The Archaeology, History and Legends of a Southern Thai Town. ISBN 974-7534-73-8
Referensi