Kerajaan Jampang Manggung

Salah satu tradisi Kerajaan Jampang Manggung yang saat ini kembali dilestarikan adalah memandikan anak yang telah dikhitan. Tradisi seperti ini diperuntukkan keturunan raja Jampang Manggung sejak ratusan tahun lalu. Prosesi tradisi ini dimulai pagi hari, sejak menjelang matahari terbit dengan mengarak anak-anak yang usai dikhitan menggunakan tandu diiringi kesenian kendang pencak menuju kolam pemandian yang sudah disediakan. Iring-iringan yang dikawal ratusan pendekar tersebut menempuh jarak sekitar satu kilometer. Sempat terhenti sekitar tahun 1970-an karena tidak ada yang mau meneruskannya, belum lama ini Pondok Pesantren Bina Akhlak di Kampung Sawargi Desa Babakan Karet Kecamatan/Kabupaten Cianjur meneruskan kembali tradisi tersebut.[1]

Kerajaan Jampang Manggung adalah monarki yang pernah ada dalam sejarah kerajaan Tatar Pasundan di Nusantara yang didirikan oleh Aki Sugiwanca yang tak lain adalah adik kandung Aki Tirem leluhur raja-raja Sunda yang pertama kali mendirikan kerajaan Sunda di Pulosari Banten abad ke 2 masehi.[1]

Sejarah

Kerajaan Jampang Manggung terletak di kaki Gunung Manangel Kecamatan Cianjur sekarang, kerajaan ini sejaman dengan era keberadaan Aki Tirem, selain pendiri Aki Sugiwanca ada juga versi Kerajaan Jampang Manggung dengan Borosngora sebagai prabunya.

Sanghyang Borosngora

Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal di Tanah Jampang sebagai Prabu Jampang Manggung, Syeikh Dalem Haji Sepuh, Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.

Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul. Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.

Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang. Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Razamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.

Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.

Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah. Pada windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.

Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.

Lihat pula

Bacaan lanjut

Pranala luar

Catatan kaki

  1. ^ a b : Benny Bastiandy (Sabtu, 9 Juli 2011 18:05 WIB). "Wah, Ada Tiga Kerajaan di Kabupaten Cianjur". inilah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 28 Agustus 2015. 

Linimasa Kerajaan Sunda

Templat:Kerajaan Sunda