Kepulauan Mapia, dahulunya dikenal dengan Pulau Freewill atau San David, adalah gugusan pulau-pulau yang terletak di Samudra Pasifik. Kepulauan ini terletak Provinsi Papua, sekitar 290 kilometer dari utara Kota Manokwari dan 630 Kilometer dari sebuah pulau di Palau. Kepulauan ini terdiri dari dua pulau utama, Pulau Bras (Berasi) dan Pulau Pegun (Mapia), Pulau Fanildo, dan dua pulau yang lebih kecil, Bras Kecil dan Fanildo Kecil. Pulau ini menjadi bagian dari Kabupaten Supiori, Papua.
Sejarah
Nama Mapia berasal dari bahasa Sangir yang artinya "cantik, baik, indah", sedangkan nama aslinya adalah Piken atau yang sekarang menjadi Pegun yang berasal dari kata Pik yang dalam bahasa Mapia yang artinya "Pulau Pasir".[1]
Kepulauan ini dahulunya menjadi bagian dari Spanyol dengan nama Güedes. Menurut salah satu peneliti berkebangsaan Spanyol Emilo Pastor disebuah penelitianya yang diserahkan kepada pemerintah pada tahun 1948 menyebutkan bahwa beberapa pulau kecil di Mikronesia (Kapingamarangi atau Coroa, Mapia atau Güedes, Ocea atau Matador, dan Rongerik atau Pescadores) masih menjadi bagian dari Spanyol. Hal tersebut disebabkan karena dalam sebuah Perjanjian Spanyol-Jerman pada tahun 1899 yang menyerahkan kekuasaan daerah Spanyol di Pasifik kepada Jerman, Kepulauan Mariana Utara (kecuali Guam) dan Kepulauan Caroline (termasuk Palau), tidak memasuki pulau kecil ini pada perjanjian. Meskipun pemerintah Spanyol mempelajari kasus ini pada tahun 1949 dan menerima interpretasinya, secara resmi Spanyol tidak pernah mencoba untuk mengklaim pulau-pulau ini lagi.[2]
Pada masa lampau kepulauan ini memiliki kerajaan yang bernama Kerajaan Mapia. Bahasa Mapia (rumpun Austronesia, lebih tepatnya Mikronesia) yang sekarang sudah punah masih digunakan di pulau sampai akhir abad ke-20. Pada tahun 1879, penduduk pribumi berjumlah 13 orang, sedangkan pada tahun 1898-1903 hanya berjumlah 7 orang. Sedangkan penduduk imigran pada masa itu berjumlah 70 orang. Kebanyakan imigran adalah orang Papua yang berasal dari Pulau Biak, Pulau Yapen, dan Jayapura. Selain itu ada yang datang dari Kepulauan Caroline Selatan yang memiliki beberapa kesamaan dengan bahasa Mapia. Lalu seorang Norwegia yang menikah dengan anak kepala suku Mapia.[3] Pada tahun 2000, menurut Ethnologue, hanya ada satu penutur bahasa yang tersisa dan usianya sudah tua.[4]