Katu, Lore Tengah, Poso
Katu adalah sebuah desa di kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Katu bermakna sebagai tempat akhir bagi sebagian komunitas Behoa yang menjadi korban kolonialisme Belanda di dataran tinggi Poso pada 1908. Pada tahun 2023 penduduk desa Katu telah mencapai 537 jiwa atau 126 Kepala Keluarga. Sejarah SingkatMasyarakat Katu atau yang dikenal dengan masyarakat adat Katu memiliki sejarah pelik terkait keberadaan mereka. Pemerintah kolonial Belanda beberapa kali memindahkan mereka secara paksa. Ketika perang dunia ke-II meledak Tentara Jepang mempekerjakan mereka secara paksa hingga awal pemerintahan Orde Lama. Masyarakat adat Katu merupakan salah satu suku di Sulawesi Tengah yang mendiami sebagian kecil kawasan hutan Taman Nasional Lore Kalamanta (saat ini berubah nama menjadi Taman Nasional Lore Lindu). Mereka dikenal sebagai etnis Behoa. Etnolog Swedia Walter Kaudern, mengklasifikasikan mereka sebagai subsuku Koro-Toraja. A.C. Kruyt dan Nicolaus Adriani menyatakan, bahwa Behoa merupakan subsuku Poso-Toraja. Kruyt meyakini bahwa suku ini berasal dari Napu, arah utara dari wilayah yang mereka tempati saat ini, meskipun teori ini tidak dijelaskannya secara komprehensif. Pada tahun 1910-1918 masyarakat adat Katu tinggal di lereng-lereng gunung tempat mereka berladang. Kala itu mereka hidup berpindah-pindah sesuai dengan siklus ladang di sekitar Mapohi dan Parabu. Masyarakat adat Katu tidak membentuk perkampungan yang menetap mereka tinggal berdasarkan rotasi pertanian ladang (Manu 16, -20-21). Kehadiran pemerintah Belanda pada 1918 di lereng-lereng gunung tempat mereka berladang menjadi awal terbentuknya perkampungan baru. Pemerintah Belanda memaksa mereka pindah dari bukit-bukit dengan cara membakar ladang dan membawa mereka turun ke lembah Behoa (Manu 16, 1-2) Pemerintah Belanda membawa mereka untuk membentuk perkampungan baru di sekitar Bariri dan Hanggira. Tujuannya agar Belanda dapat menarik pajak dan memperkenalkan mereka dengan pertanian lahan basah (sawah). Selama di perkampungan baru pemerintah Belanda tidak memperkenankan pembukaan hutan untuk berladang karena dianggap tidak efektif dan cenderung merusak hutan (Manu 16, 20-21). Selama tinggal di perkampungan baru, orang Katu kesulitan karena tidak terbiasa dengan pertanian lahan basah. Sehingga pada tahun 1925 kepala suku orang Katu menemui Raja Kabo di Desa Wanga selaku perpanjangan tangan Belanda untuk memohon agar mereka dapat kembali ke bukit dengan alasan agar mereka mudah membayar pajak (blasting) kepada pemerintah Belanda (D'Andrea 2023, 4). Seperti diketahui, wilayah Napu telah ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1905 oleh Letnan Voskuil (lihat Kruyt, 1975:184). Agar raja Kabo mengabulkan permohonan mereka, kepala suku orang Katu berjanji kepada raja Kabo bahwa mereka akan menaman Kopi dan mengumpulkan getah damar untuk diberikan kepada Belanda. Raja Kabo akhirnya memenuhi permintaan orang Katu untuk kembali pindah di lereng gunung. Pada akhirnya mereka membentuk perkampungan baru di sekitar sungai Piri. Pada 1928, raja Kabo bersama J.W. Wesseldijk meresmikan pemukiman baru orang Katu dan mendirikan sekolah misionaris Protestan dan kepala kampung pertama bernama Marato (D'Andrea 2003, 3-4). Tidak lama setelah Katu resmi menjadi perkampungan, penduduk dari Behoa Ngamba berdatangan bahkan dengan jumlah yang besar untuk tinggal bersama orang Katu. Pada awal tahun 1949, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) memindahkan penduduk yang tinggal diperbukitan termasuk kampung Katu. Kampung Katu menjadi salah satu tempat yang diluluhlantakkan TKR melawan pasukan Letkol. Kahar Muzakar. Selama perang penduduk Katu ditempatkan bersama penduduk lain di tempat pengungsian. Selama periode ini penduduk Katu mengalami kelaparan, musibah ini membuat mereka kembali dipindahkan ketempat baru yakni Bangkeluho. Selama mereka tinggal di Bangkeluho orang Katu justru mengalami penderitaan yang lebih rumit terutama sulitnya menemukan kayu untuk membangun rumah dan peralatan rumah tangga lainnya. Mereka juga sering berkonflik dengan orang Bariri yang lebih dulu menempati wilayah itu. Meski demikian, orang Katu sempat tinggal beberapa tahun di Bangkeluho. Kondisi yang rumit ini, membuat mereka tidak bertahan lama sehingga pada akhir tahun 1959 orang Katu kembali ke perkampungan lama dipimpin oleh Humpui Torae. Namun perpindahan ini tidak mendapat restu dari Kepala Distrik bernama M. Bago dengan alasan bahwa saat itu Permesta menguasai dataran tinggi membuat Humpui Torae dilaporkan kepada Mayor Garungan. Atas laporan tersebut, Humpui Torae menemui Mayor Garungan dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang Katu selama tinggal di perkampungan Bangkeluho. Pada akhirnya orang Katu mendapat restu dari Mayor Garungan untuk kembali dan tinggal di perkampungan Katu (Manu 2016, 22). Raja Gembu dan Kepala Distrik M. Bago datang ke Katu membuat upacara resmi orang Katu tetap tinggal di Katu. Upacara tersebut ditandai dengan penanaman pohon beringin dan sumpah (totowi) agar orang Katu tetap berada di sana. Sejak itu, orang Katu tetap tinggal di sana hingga saat ini. Ketika pindah ke Katu Humpui Torae juga mengajak para pengungsi dari suku Rampi di Sulawesi Selatan yang terpaksa bermukim di Behoa Ngamba karena peristiwa DI/TII. Orang-orang ini kemudian membangun desa di sebelah desa Katu dengan nama Desa Dodolo. Pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee.'' (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya). Pada tahun 1989, orang Dodolo berhasil dipindahkan ke antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa. Katu dan Agenda Konservasi DuniaPada 1970-an, Katu menarik perhatian komunitas konservasi internasional karena ekologinya yang unik. Para konservasionis menyatakan terdapat 98 persen mamalia dan 27 persen unggas terdapat di Katu. (Daws dan Fujita 1999:87).[1] Flora dan fauna unik yang ditemukan di Sulawesi, atau Celebes, pertama kali dicatat oleh Alfred Russell Wallace pada tahun 1950-an. Sejak saat itu penduduk Katu mulai berurusan dengan Suaka Alam. Tahun 1982, pada Kongres Taman Nasional Dunia, diusulkan perluasan Taman Nasional ke arah utara mencakup seluruh daerah aliran sungai besar di wilayah Sulawesi Tengah. Katu adalah satu di antara ratusan desa lainnya yang masuk dalam kawasan tersebut. Sepanjang tahun 1980-an, pemerintah Indonesia mulai mengusulkan pemindahan penduduk Katu, karena dianggap berada di dalam kawasan Taman Nasional yang baru ditetapkan. Tahun 1989, tetangga orang Katu, pengungsi Rampi dari Dodolo, berhasil dipindahkan di dekat lembah, tetapi Katu menolak. Tahun 1993, ketika wilayah tersebut diresmikan sebagai Taman Nasional, Katu dipindahkan tujuh kilometer di lingkar dalam bagian tenggara Taman Nasional yang baru, tetapi Katu tetap menolak. Proyek ini mendapat pendanaan khusus dari Asian Development Bank (ADB), pada saat itu petani Katu berjumlah 67 rumah tangga dan berjumlah 210 jiwa. Perjuangan panjang orang Katu akhirnya berhasil, pada 1999, Yulianto Laban Banjar, Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) mengeluarkan surat keputusan yang secara formal mengakui klaim adat Katu di dalam Taman Nasional. Keputusan ini mendapat banyak dukungan dari Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam, Departemen Kehutanan dan juga para aktivis lingkungan dan Hak Asasi Manusia.[2] Keadaan GeografiLetak Geografi Desa Katu terletak pada koordinat 01°35'19,00 (LS) dan 120°25'26,8 (Bujur Timur). Berada pada ketinggian 1.100 M di atas permukaan laut (dpl) dan dikelilingi hutan. Orbitrasi Jarak orbitrasi atau pusat pemerintahan dari Desa Katu adalah sebagai berikut:
Batas wilayah Batas wilayah administrasi Desa Katu sebagai berikut:
Luas Wilayah Luas wilayah pemanfaatan Desa Katu yakni seluas 1.178 hektare. Keadaan DemografiJumlah Penduduk
Keadaan Sosial EkonomiMata Pencaharian Penduduk Desa Katu mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani dan tergantung pada hasil hutan dengan menanam padi sawah, padi ladang, palawija, seperti: sayur-sayuran, jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, rica, tomat dan lain-lain, yang ditanam untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan dijual ke pasar lokal. Selain itu, masyarakat mengusahakan kebun tanaman tahunan, seperti: kakao, kopi, kemiri, pisang, vanili dan buah-buahan (alpukat, nangka dan durian). Kebun tanaman tahunan kakao, vanili, durian dan kemiri masih baru ditanam sekitar tahun 2000.
Pengelolaan Pertanian dan Perkebunan
Pengelolaan Hasil Hutan Hasil Hutan Kayu; pengelolaan hasil hutan kayu hanya diperuntukkan untuk tujuan pemenuhan bahan untuk pembuatan rumah dan bangunan umum lainnya, peralatan rumah tangga, pembangunan jembatan dan pagar kebun, serta kayu bakar dari kayu kering yang telah roboh. Penduduk Katu memiliki komitmen, antara lain:
Hasil Hutan Bukan Kayu; pengelolaan hasil hutan bukan kayu bertujuan untuk dijual dan pemenuhan bahan keperluan rumah tangga dan kegiatan sehari-hari. Kegiatan masyarakat dalam pengelolaan hasil hutan bukan kayu, antara lain: pengambilan hasil rotan (uwe), bambu, damar, gaharu dan ramuan obat-obatan tradisional.
Tingkat Kemiskinan Meski penduduk Desa Katu mayoritas memiliki pekerjaan namun penduduknya tergolong miskin atau dibawah garis kemiskinan. Hal ini terlihat dari pendapatan dan pengeluaran rata-rata rumah tangga penduduknya yang hanya berkisar Rp.300.000 hingga Rp.500.000 per bulan. Selain pendapatan, tingkat pendidikan di desa Katu juga terbilang masih rendah. Pada tahun 2023 penduduk usia 17-19 tahun di Desa Katu yang melanjutkan sekolah menengah atas (SMA) hanya berjumlah 10 orang. Demikian pula penduduk usia 19-24 tahun yang melanjutkan jenjang perguruan tinggi hanya berjumlah 8 orang. Faktor utama penyebab minimnya tingkat pendidikan di Desa Katu disebabkan oleh faktor ekonomi dan pernikahan dini. Kondisi Bangunan Rumah Rata-rata penduduk Desa Katu telah memiliki rumah pribadi yang didominasi oleh bangunan rumah semi permanen. Sebagian diantaranya merupakan bantuan perumahan dari pemerintah yang diberikan kepada warga yang kurang mampu atau memiliki rumah tidak layak huni. Meski demikian masih banyak bangunan rumah yang belum memiliki jamban. Penduduk setempat biasanya menggunakan jamban di luar rumah yang bersifat sementara atau darurat. Kepemilikan Kendaraan Kepemilikan kendaraan roda dua di Desa Katu termasuk cukup tinggi. Pada 2023, penduduk yang memiliki kendaraan roda dua di Desa Katu berjumlah 56 orang. Selain kendaraan roda dua, terdapat 5 orang penduduk memiliki kendaraan roda empat. Hal ini kontras dengan tingkat pendapatan mayoritas penduduk Desa Katu yang hanya berkisar Rp.300.000 hingga Rp.500.000 per bulan. Aksebilitas Desa Katu hanya memiliki satu jalan utama berjarak 7 Km dari Desa Rompo. Jalan ini merupakan jalan satu-satunya untuk keluar atau masuk desa Katu. Pada tahun 1980-an hingga 2000-an awal jalan menuju desa Katu masih setapak. Penduduk setempat yang hendak berpergian keluar desa Katu menempuhnya dengan berjalan kaki atau menunggangi kuda (bahasa orang Behoa "mopateke"). Antara tahun 2004, 2005 jalan ke desa Katu mulai dibuka agar penduduk dapat melakukan kegiatan keluar Katu menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Namun pembukaan jalan tersebut hanya sampai pada pembentukan badan jalan. Sehingga untuk melaluinya masih cukup sulit karena jalannya yang berliku-liku, curam, berpasir dan berkerikil. Saat musim hujan beberapa titik jalan sering mengalami longsor dan berlumpur sehingga penduduk setempat sering menghidari perjalanan saat musim penghujan. Salah satu hambatan pembukaan jalan ke desa Katu karena wilayah Katu berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, selain karena anggaran yang dibutuhkan cukup besar. Pemerintah DesaDaftar Kepala Desa Katu
Daftar Sekretaris Desa Katu
Daftar Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Lembaga AdatDaftar Pengurus Lembaga Adat
Referensi
|