Katedral Malang yang bernama resmi Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel adalah sebuah gereja katedral Katolik di Malang, Jawa Timur, Indonesia dan tahta Uskup dari Keuskupan Malang.[1]
Katedral tersebut dibangun setelah peletakan batu pertama 11 Februari 1934. Tidak seperti kebanyakan gereja katolik yang bergaya arsitektur Gothic atau Klasik, katedral ini dibangun dengan gaya Art Deco. Rancangan bangunan dibuat oleh arsitek L. Estourgie, konstruksi oleh NV Bouwundig Bureau Sitzen en Louzada. Pelaksanaan pembangunan berlangsung 8 bulan dan diselesaikan pada 28 Oktober 1934.
Bangunan katedral ini merupakan sebuah contoh dari warisan arsitektural kolonial Belanda di kota Malang. Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel tersebut aslinya dipersembahkan kepada Santa Teresia, namun berganti nama pada 1961.[2] Pergantian nama bersamaan dengan peningkatan status Indonesia yang semula merupakan "tanah misi" pewartaan iman bagi Vatikan, menjadi suatu hirarki Gereja Katolik Indonesia yang mandiri. Dengan peningkatan status itu Vicariate Apostolic Malang berubah menjadi Dioses atau Keuskupan Malang yang mempunyai Katedral sendiri dengan nama baru.
Sejarah
Pada tanggal 28 Oktober 1934, Gereja Katedral Malang diberkati dan diresmikan dengan nama Gereja Katedral Santa Theresia, pada saat Gereja Katedral ini di resmikan, Mgr. Clemens van der Pas, O.Carm. yang mempunyai prakarsa, sudah meninggal dunia dan tugas keuskupannya dilanjutkan oleh Romo Linus Hecnken, O.Carm.
Semenjak Gereja Katedral diresmikan itulah lahir pula Paroki Katedral dengan Romo Paroki yang pertama adalah Romo Dominicus Blommesath, O.Carm. dibantu oleh Romo J. Ardits, O.Carm. Seperti kita ketahui, saat itu adalah zaman penjajahan Belanda, kemudian disusul dengan penjajahan Jepang dari tahun 1942 hingga 1945, barulah Indonesia merdeka lepas dari belenggu penjajahan.[3]
Benih-benih iman Katolik ditaburkan oleh missioner dengan mendirikan Gereja pertama di Kota Malang pada tahun 1905, yaitu Gereja Hati Kudus Yesus di Kayutangan. Umat mayoritas adalah personil Belanda dan misa pun dalam bahasa Belanda. Seiring dengan pertumbuhan benih iman dikalangan pribumi, maka dibangun khusus Gereja Jawa yang terletak di Jalan Semeru yang kini dipakai sebagai Gereja Kristen Kalam Kudus. Pada waktu peresmian Gereja Jawa itulah Mgr. Clemens van der Pas mengungkapkan keinginannya membangun Gereja Katedral di Jalan Ijen di area yang dahulu dikenal dengan Buring Plein (Taman Buring).[3]
Pada waktu peresmian pada tahun 1934 itu peran awam masih belum terbuka seperti sekarang dan baru terasa partisipasinya sejak adanya Konsili Vatikan II pada tahun 1961. Meskipun demikian beberapa tokoh perintis awam telah dengan setia membantu Romo menebar iman dengan segala suka duka dan resiko pada zaman penjajahan Jepang.[3]
Konsili Vatikan II membawa banyak pembaharuan yang sangat dirasakan sekitar tahun 1965 dengan semakin besarnya ketelibatan kaum awam dalam pewartaan, penggunaan bahasa lokal dalam Perayaan Ekaristi, tata letak dan posisi altar yang tidak lagi menhadap ke dinding Gereja, sehingga posisi umat dan imam lebih menyatu sebagai suatu kesatuan persembahan bagi Tuhan dalam Perayaan Ekaristi.[3]
Sejak tahun 1961 sesuai dengan Konstitusi Apostolik XXIII, tentang Hirarki Gereja Katolik Indonesia, maka nama Gereja Katedral Malang yang semula adalah Gereja Katedral Santa Theresia, diganti dengan nama resmi yang baru yaitu Gereja Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel.[3]
Secara Organisatoris Paroki Katedral baru mempunyai Pengurus Dewan Paroki pada tahun 1972. Sebutan wilayah maupun lingkungan belum muncul, namun istilah kring sudah mulai dipakai untuk menggantikan istilah kelompok umat di suatu daerah dan yang masih tersebar. Kemudian pada tahun 1980 diganti istilah lingkungan yang dikenal sebagai komunitas basis.[3]
Perubahan iklim politik yang terjadi sejak tahun 1965 memicu perkembangan yang luar biasa di segala bidang bagi Gereja hingga rentang waktu yang cukup lama sekitar 2 dekade. Luas wilayah Paroki Ijen pun semakin lebar. Waktu itu Paroki Langsep dan Paroki TIdar masih termasuk wilayah Paroki Ijen. Dengan demikian wilayahnya begitu luas hingga daerah Bandulan, serta daerah yang kita kenal sebagai kawasan Lembah Dieng sekarang. Pemekaran dilakukan pada tahun 1970 seiring dengan kerjasama pastoral dengan komunitas Imam Vincentius a Paulo yang dikenal dengan Ordo CM. Maka pada tahun 1972, sebagian wilayah Paroki Ijen yaitu daerah Taman Buah-buahan, hingga Bandulan diserahkan pada Ordo CM, dan jadilah Paroki Langsep dan kemudian disusul dengan berdirinya Paroki Tidar pada tahun 1996 namun masih dalam naungan Ordo Karmel.[3]
Lihat juga
Referensi