Kassim Ahmad adalah salah seorang pelopor Quranisme di Malaysia.[1][2] Dia menyeru umat Islam agar meninggalkan hadis, karena menurutnya, ia merupakan ajaran palsu yang disandarkan kepada Muhammad dan penyebab pertama perpecahan dan kemunduran umat Islam.[1][2][3][4] Beberapa pemikiran kontroversialnya mengenai hadis, dia ungkapkan dalam salah satu bukunya yang bejudul Hadits, Suatu Penilaian Semula yang diterbitkan pada tahun 1984, sebelum kemudian, tepatnya pada 8 Juli, 1986 buku tersebut dilarang peredarannya oleh Kementerian Dalam Negeri Malaysia, yang dilanjutkan kemudian pada tahun 1993 Pemerintah Malaysia mengeluarkan fatwa pelarangan masyarakat mengikuti gerakan yang dinilai sesat ini.[1][5][6]
Keluarga
Nama lengkap Kassim Ahmad adalah Kassim bin Ahmad, lahir pada tanggal 9 September 1933 di Bukit Pinang, daerah Kota Setar, Propinsi Kedah, Malaysia, dari seorang ayah yang bernama Ahmad bin Ishaq dan seorang ibu bernama Ummi Kalthom binti Haji Ahmad. Kedua orang tuanya berasal dari wilayah Melayu Pattani, Thailand.[2] Kakeknya, Lebai Ishaq Lebai The, adalah seorang petani sekaligus guru agama yang tinggal di Seberang Perai, Pulau Pinang.[2] Pada tahun 1960, Kassim Ahmad menikah dengan seorang perempuan bernama Sharifah Fauziah binti Yussof Alsaggof.[2]
Riwayat Pendidikan, Karier
Sejak sekolah tingkat dasar hingga tingkat menengah, Kassim Ahmad dikenal sebagai seorang pelajar yang gigih, rajin, pintar, dan akktif di dunia organisasi.[2] Pada tahun 1952, dia tertarik untuk memperlajari filsafat Islam.[2] Pada tahun 1954/1955, dia masuk Universitas Singapura dan banyak bergaul dengan para pemikir liberal, juga para sosialis Marxis dan mulai tertarik dengan teori-teori Marxisme dalam rangka membebaskan rakyat dari penjajahan dan kemiskinan.[2] Setelah meninggalkan universitasnya, dia bekerja sebagai peneliti di Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur, kemudian menjadi dosen di Pusat Pengajian Timur dan Afrika (London School of Oriental and African Studies) selama empat tahun.[2] Kemudian sempat juga di angkat sebagai ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia (PSRM) selama lima tahun, sebelum akhirnya ditangkap dan dipenjara oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 1981.[2] Tahun 1984, dia berhenti dari jabatan sebagai ketua partai, dan menfokuskan diri dalam dunia tulis-menulis, dan tahun 1985 ia tertarik untuk mengkaji hadits.[2] Namun meski demikian, dia baru benar-benar meninggalkan dunia politik sejak tahun 1992. Selian itu, karier lain yang pernah digelutinya adalah menjadi presiden Jama’ah Al-Qur’an tahun 1985.[1][2]
Prestasi
Selain dikenal sebagai pelopor gerakan anti hadits, dia juga dikenal sebagai seorang penyair dan penulis terkenal.[2] Beberapa prestasi yang telah diraihnya, antara lain, pada tahun 1985, dia mendapat ijazah kehormatan Dokter Persuratan dari Universitas Kebangsaan Malaysia.[2] Pada tahun 1987, juga mendapat anugerah sebagai penyair Gabungan Penulis-penulis Nasional (GAPENA).[1][2]
Karya-karya
Kassim Ahmad meninggalkan banyak karya tulis, antara lain:
- Dialog dengan Sastarawan diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Penerbit Pena pata tahun 1979;
- Quo Vadis Bangsaku? Diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Penerbit Media Indah pada tahun 1989;
- Teori Sosial Modern Islam, 1984;
- Hadits-Jawapan kepada Pengkritik, 1992; dan lain-lain.[2][3][5]
Referensi
- ^ a b c d e (Indonesia) Abdul Majid Khon Pemikiran Modern dalam Sunnah, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 110-111.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Indonesia) Aviv Alfiyyah dan Dewi Khodijah, “Kassim Ahmad: Tokoh Mungkir Sunnah Melayu,” dalam Yang Membela dan Yang Menggugat, ed. Muammar Zayn Qadafy (Yogyakarta: Interpena, 2011), hal. 183.
- ^ a b (Indonesia) Syuhudi Ismail, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 20.
- ^ (Indonesia) Muhammad Dailamy, Hadits, ed. Abdul Wachib(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2010), hal. 53.
- ^ a b (Indonesia) Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hal. 48.
- ^ (Indonesia) Nina M. Armando (et. al), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2005), III, hal. 193.