Karangrejek adalah desa di kecamatan Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Desa Karangrejek berjarak 2,9 Km berkendara ke timur lalu ke selatan dari Kapanewon Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul.
Batas-batas wilayah
Desa Karangrejek memiliki batas-batas sebagai berikut:
Sejarah
Keberadaan Desa Karangrejek tidak bisa dilepaskan dari Babad Alas Nangka Doyong, cikal bakal terbentuknya pemerintahan administratif Gunungkidul dalam Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, khususnya Kecamatan Wonosari. Babad Alas Nangka Doyong merupakan operasi pembukaan hutan untuk memindahkan ibukota Gunungkidul dari Ponjong ke Wonosari (sekarang) karena dirasa lebih dekat dengan Yogyakarta dan semua kawula di Gunungkidul. Selain itu, Alas Nangka Doyong berkontur relatif rata, tanahnya subur, sumber daya airnya banyak, dan strategis.
Alas Nangka Doyong sebelumnya dikenal sebagai hutan yang angker dan dikuasai oleh Nyi Gadung Mlati. Operasi babat alas ini dikemukakan oleh Sultan Hamengkubuwono V (1823-1826). Beliau memerintahkan Raden Tumenggung Prawirosetiko, seorang adipati Gunungkidul, yang menggantikan K.R.T. Poncodirjo khusus untuk mengatur wilayah Gunungkidul, termasuk memindahkan ibukota kabupaten. Raden Tumenggung Pawirosetiko lalu memerintahkan Panji Harjodipuro yang berasal dari Semanu untuk memimpin operasi ini. Panji Harjodipuro lalu mengajak anak buah kepercayaannya, yakni seorang demang dari Piyaman bernama Ki Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro merupakan menantu Ki Demang Mangun Geneng, seorang demang Mulo yang bertempat tinggal di Karangrejek. Beliau jugalah yang pertama kali bertempat tinggal di Karangrejek. Operasi babat alas tersebut berhasil dilaksanakan dan ibukota pemerintahan resmi berpindah dari Ponjong ke Wonosari.
Pada awalnya, tanah di Karangrejek bercampur dengan batu dan berair. Karang berarti batu, sementara rejek berarti berair/becek. Maka disinyalir jika akan ditanami tanaman, tanah ini tidak akan menghasilkan hasil yang baik. Namun, dengan kemajuan teknologi dan sumber daya manusia, tanah yang dulunya tidak potensial untuk pertanian akhirnya mampu menghasilkan hasil pertanian yang cukup, dibuktikan dengan lahan pertanian yang ada di bagian barat Desa Karangrejek (sekarang di padukuhan Blimbing).
Sebelum bernama Karangrejek, masyarakat dahulu menyebut Karangrejek (lebih tepatnya yang sekarang menjadi Padukuhan Karangrejek) dengan sebutan Ndesa. Disebut Ndesa karena dahulu permukiman pertama Desa Karangrejek berada di Padukuhan Karangrejek, dibuktikan dengan makam desa yang berada di bagian barat desa. Kemudian adanya pohon asem yang bentuknya melingkar (mbelimbing) di Dusun Blimbing menjadi nama yang dipakai sekarang, yang sebelumnya menggunakan nama Semingkar. Trukan (dalam bahasa Jawa artinya dataran tinggi) dahulu digunakan untuk menyebut Dusun Karangduwet II karena konturnya lebih tinggi. Karangduwet I dahulu bernama Karangpule karena di daerah sana banyak bebatuan (karang) yang ditumbuhi tanaman pule. Karangsari dahulu bernama Keplekan karena daerahnya luas dan jarang ada pepohonan sehingga terlihat seperti lapangan yang luas. Pun bebas digunakan untuk berlarian atau dalam bahasa Jawa sering disebut dengan keplekan. Karanggumuk I dahulu bernama Ngenthak karena ketika berada disana rasanya sangat panas dan belum ada apa-apa (dalam bahasa Jawa disebut dengan panas e ngenthak-ngenthak). Karanggumuk II dahulu disebut dengan Tobat karena untuk mencapai ke wilayah yang sekarang menjadi Padukuhan Karanggumuk II diperlukan perjuangan yang ekstra karena jauh dan medannya yang sulit, sehingga manusia pelu melaksanakan taubat.
Perhatian Ki Demang Mangun Geneng pada tanah ini menjadikan daerah ini nantinya akan menjadi desa. Hingga kini, Ki Mangun Geneng sebagai sesepuh desa Karangrejek tetap dihormatioleh masyarakat Karangrejek, yakni dengan merawat pohon asem yang ada di Dusun Blimbing (sering disebut dengan Ngasem Blimbing) dengan melingkari batang pohon tersebut dengan kain mori putih. Pohon tersebut juga digunakan oleh Ki Mangun Geneng sebagai tempat ritual bersama murid-muridnya, diantaranya yaitu Ki Bongkeng yang melakukan ritual di depan pohon asem Blimbing), Ki Noyo Drono di pohon kendhal yang bertempat di Dusun Karanggumuk I, dan Ki Sengkolo di depan pohon randhu alas yang bertempat di Dusun Karangduwet II.
Ketika masyarakat mempunyai hajatan (ewuh), maka maka mereka memberi sesajen yang diletakan di dalam panjangilang(rangkaian janur yang dibuat menyerupai keranjang) di pohon asem Blimbing, kendhal di Karanggumuk I serta randu alas di Karangduwet II.Selain tiga tempat tersebut, ada pula sungai yang dikeramatkan yakni Sungai Kedungwuni yang terletak di Dusun Blimbing. Menurut cerita, Sungai Kedung Wuni dulunya digunakan oleh prajurit Kesultanan Mataram untuk mencuci senjata (jamasan). Salah satu dari prajurit tersebut yang mandi di sungai mengenakan sinjang/nyamping (kain panjang) berlatar putih, namun terpeleset dan jatuh hingga meninggal dunia. Hingga kini tidak ada masyarakat yang berani menggunakan sinjang berlatar putih di sungai Kedungwuni. Sungai Kedungwuni juga digunakan untuk menaruh sesajen bila ada masyarakat yang sedang mempunyai hajatan.
Sumber: Buku Ki Mangun Geneng: Adeging Desa Karangrejek.
Pranala luar