Karangkancana, Karangkancana, Kuningan

Karangkancana
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenKuningan
KecamatanKarangkancana
Kode Kemendagri32.08.29.2001 Edit nilai pada Wikidata
Luas-
Jumlah penduduk3662
Kepadatan-
Peta
PetaKoordinat: 7°5′49″S 108°40′45″E / 7.09694°S 108.67917°E / -7.09694; 108.67917


Karangkancana adalah desa di kecamatan Karangkancana, Kuningan, Jawa Barat, Indonesia.

Sejarah Desa Karangkancana

A. Asal mula sebutan Gunungjawa

Pada zaman dulu di Gunung Sukmana konon ada seorang Pendita yang bernama Anjar Padang. Ia memiliki putri cantik yang bernama Nyi Endang Geulis, karena kecantikannya, membuat seorang raja Mataram merasa penasaran akan kabar kecantikan sang putri, lalu ia pun mengutus patih yang bernama Niti Baga untuk menjemput sang putri untuk dijadikan permaesuri. Maka Patih pun pergi ke Gunung Sukmana untuk menjalankan titah sang raja.

Setibanya di tempat yang dituju, patih Niti Baga menyampaikan maksud dan tujuannya kepada Pendita Anjar Padang, tanpa kesulitan patih berhasil mendapatkan ijin dari sang Pendita, dan dapat memboyong putri ke Mataram. Kepergian sang putri ternyata tidak dilepas begitu saja oleh sang Pendita, ia pun ikut menggendongnya dengan sebuah kain (gembolan) sampai kesuatu tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal Pendita. Tiba ditempat tersebut, Pendita menurunkan putrinya dan membuka kain (gembolan) pelindungnya. Tempat membuka kain (gembolan) kini dikenal dengan sebutan Jatigembol tepatnya di wilayah Kecamatan Cibingbin. Dari tempat itulah sang Pendita melepas kepergian putrinya.

Dalam perjalanan menuju Mataram rombongan sang putri istirahat sebentar, tempat tersebut kini dikenal dengan sebutan Sindangjawa (Tempat mampirnya orang Jawa), saat istirahat Nyi Endang Geulis menyempatkan diri untuk mandi di sana. Pada saat mandi secara tidak sengaja melihat sang putri yang sedang mandi, karena tertarik dengan kecantikannya, patihpun akhirnya berniat ingin mempersunting Nyi Endang Geulis. Tempat dimana hati patih jatuh hati kepada putri sekarang dikenal dengan nama Cijangkelok (yang artinya Sungai tempat jatuhnya hati).

Untuk memenuhi keinginannya, patih tidak melanjutkan perjalanan ke Mataram tetapi mengalihkan perjalanan menuju ke Banyumas bersama rombongan, tanpa perasaan takut. Kepergian Patih Niti Baga dari Mataram sudah terbilang lama hingga beberapa bulan, belum juga kembali, hal ini membuat raja merasa gelisah, dalam hatinya penuh dengan banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Akhirnya dengan beberapa pertimbangan ia bermaksud akan mengutus pasukan untuk menyusul Patih ke gunung Sukmana. Tapi belum juga pasukan yang ditugaskan berangkat, Pendita Anjar Padang datang berkunjung ke istana untuk bertemu dengan putrinya.

Kejadian ini membuat raja murka terhadap Patih, maka pasukan yang sudah disiapkan untuk menyusul Patih, kini benar-benar diperintahkan untuk mencari dan membawa patih Niti Baga beserta Nyi Endang Geulis dan menerima hukuman mati dari kerajaan. Mendengar pembicaraan raja, Pendita langsung pergi mencari putrinya, karena khawatir akan ancaman raja.Karena kesaktiannya, Pendita itu lebih dulu menemukan Patih Niti Baga beserta putrinya Nyi Endang Geulis, demi keselamatan, Pendita pun akhirnya membawa mereka dan beberapa pasukannya menuju Gunung Sukmana.

Setibanya di kaki Gunung Sukmana, tepatnya di Cijurang (kini tempat tersebut dikenal dengan sebutan Lebak Cijurang), Pendita Anjar Padang membuat goresan diatas tanah, dengan tujuan: siapa saja yang berani melewati tanda garis yang digoreskan dengan pedang saktinya dan berniat mencelakakan keluarga Pendita beserta pengikutnya, maka akan binasa sebelum melewati garis tersebut.

Belum juga satu bulan Pendita beserta pengikutnya berada di Gunung Sukmana, pasukan Mataram yang ditugaskan untuk menyusul mereka tiba di sana. Namun perjalanan mereka terhenti di kaki gunung ketika melihat goresan aneh dihadapannya, suatu garis yang jelas mempunyai kekuatan dahsyat sengaja digoreskan oleh seorang yang sakti, terbukti pasukan berkuda pun tak mampu melewatinya. Bahkan, pasukan mereka seperti yang bingung dan kuda-kuda mereka ketakutan, akhirnya pasukan Mataram berhenti beberapa jam disana, setelah beristirahat akhirnya mereka memutuskan akan memaksakan pasukan kudanya melewati garis, ketika mereka melewati garis itu, seluruh pasukan binasa, termasuk kuda yang ditungganginya.

Empat bulan lebih pasukan Mataram yang ditugaskan mencari Patih Niti Baga tak kunjung kembali, maka raja Mataram merasa kesal dan marah, akhirnya raja mengutus seorang pangeran sakti yang bernama Dipati Pasir beserta putranya untuk menyusul pasukan pertama.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, pasukan Pangeran Dipati Pasir dan putranya tiba di kaki Gunung Sukmana, tetapi sebelum mereka sampai ke tempat goresan keris sakti, ternyata Pendita sudah berada di sana, lalu ia memberi perhatian kepada pasukan Pangeran Dipati Pasir, agar tidak melewati garis yang dibuatnya, karena pasukan pertama pun dulu binasa, akibat memaksakan diri melewati goresan tersebut. Mendengar ancaman yang tidak main-main itu pasukan Pangeran Dipati Pasir berhenti dan melanjutkan langkahnya menuju ke tampat lain.

Setelah Pendita pergi, Pangeran Dipati Pasir memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram, karena takut akan ancaman raja, bahwa jika tidak berhasil membawa putri Nyi Endang Geulis beserta Patih Niti Baga maka pasukannya akan mendapatkan hukuman pancung dari kerajaan, begitupun untuk melanjutkan perjalanan tidak mungkin, karena ancaman mati dari Pendita, maka akhirnya mereka berjalan melingkar ke sebelah barat Gunung Sukmana.

Di tempat yang datar, tepatnya sebelah barat Gunung Sukmana, mereka membuat perkampungan kecil dengan membangun beberapa gubug sederhana sebagai tempat tinggal. Mereka memilih tempat itu karena selain nyaman juga dekat dengan sebuah sungai. Keadaan sungai yang kecil tetapi airnya mengalir deras dan jernih, dengan dasar tanah porang dan tidak berpasir, sehingga air tidak mudah keruh. Lalu mereka menamakan perkampungan tersebut dengan nama Kampung Ciporang (artinya Kampung Sungai Tanah Porang).

Secara diam-diam Pangeran Dipati Pasir menjemput istri dan anak-anaknya dari Mataram serta beberapa pengikut setianya untuk berkumpul di Ciporang. Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Gunungjawa, yang artinya “orang-orang jawa membuka tempat tinggal di kaki gunung”. Pendita Anjar Padang yang berada di Gunung Sukmana sebenarnya mengetahui keberadaan mereka, tetapi karena tidak mengganggu dan mereka memang membelot dari rajanya, maka Pendita tidak merasa keberatan mereka membuka perkampungan di sana. Bahkan Nyi Endang Geulis sering berkunjung ke Ciporang beserta Patih Niti Baga. Kebiasaan Nyi Endang Geulis sepulangnya dari Ciporang atau dari tempat lainnya tidak melewatkan diri untuk mandi di kali yang airnya sejuk dan menyegarkan, tempat mandi tersebut kini dikenal dengan nama Cigunung Geulis (Air Gunung tempat mandinya Endang Geulis).

Menurut salah seorang Tokoh Masyarakat Bapak Suhandi, bahwa Patih Niti Baga meninggal di kampung Ciporang, dan dikebumikan di bukit sebelah barat kampung tepatnya di makam Gunung Purwa (Astana Gunung), makam tersebut kini dikenal dengan sebutan makam Eyang Kapidin (Patih Niti Baga). Sedangkan Nyi Endang Geulis konon dimakamkan di pasir Indang, tepatnya sebelah timur kampung Ciporang, tetapi ada pula yang mengatakan ia hijrah ke wilayah Cirebon. Bahkan konon kini masih terdapat peninggalan Pendita Anjar Padang beserta putrinya Nyi Endang Geulis berupa makam dengan ciri terdapat dua buah batu, sebutan Pasir Indang berarti: pasarean Endang Geulis.

B. Kampung Gunungjawa

Keturunan Mataram yang membelot dari rajanya, yang dipimpin oleh Pangeran Dipati Pasir, kini sudah membentuk sebuah perkampungan yang sangat subur dengan masyarakatnya yang damai dan sejahtera. Mengetahui keadaan seperti itu, walaupun mereka bertahun-tahun hidup di kampung tersebut, Pendita Anjar Padang tidak pernah mengusik kehidupan mereka, bahkan sesekali putrinya (Nyi Endang Geulis) berkunjung ke kampung meraka.

Pangeran Dipati Pasir adalah seorang pemimpin yang sangat disegani oleh semua orang, ia sangat bijaksana, cerdas dan sangat pandai. Beliau masih menetap di Kampung Ciporang sampai pada akhirnya ia pun meninggal dunia, dan dimakamkan di lokasi pemakaman kampung (Pemakaman Dipati Pasir) wilayah pemakaman umum sebelah barat Pesantren Bani Sanjur Gunungjawa sekarang. Setelah Anjar Padang, Patih Niti Baga (Eyang Kapidin), Nyi Endang Geulis dan Pangeran Dipati Pasir meninggal, maka muncullah dua orang tokoh yang bernama Den Ayu Kaca dan Buyut Ketan. Mereka adalah generasi penerus pemegang tampuk pimpinan dan juga tokoh leluhur Ciporang (Gunungjawa).

Perkampungan tersebut semakin ramai oleh penduduk, dan pada mulanya dipimpin oleh seseorang yang bernama Dalem Kertapala. Disana mereka hidup rukun dan damai, makmur dengan pencaharian pokok bertani dan bercocok tanam. Siklus perekonomian pun berjalan dengan mulus tanpa adanya gangguan, karena memang tempat mereka sangat strategis, perairan sangat cukup mendukung, suasana sejuk dan nyaman serta pemandangan yang indah, disamping itu setiap orang atau rombongan yang akan datang ke wilayah itu dengan mudah terlihat dari perkampungan mereka, karena lokasinya yang tinggi, sehingga setiap gerak-gerik yang kelihatan dan mencurigakan dengan mudah dapat diketahui.

Kehidupan terus berjalan mengiringi roda zaman, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan akhirnya perkampungan itu telah menjadi sebuah perkampungan yang ramai dengan segala aktivitas penduduknya. Beberapa pimpinan kampung telah terjadi pergantian secara adat dan turun temurun, tetapi setelah keturunan Dalem Kertapala tidak ada yang dapat meneruskan tampuk kepemimpinan leluhurnya, maka pimpinan kampung di pimpin oleh Demang yang bernama Demang Adiwiguna. Saat itulah pertama kali pemimpin dapat dipilih secara demokrasi oleh masyarakat, dan sejak itulah Ciporang mulai dikenal dengan sebutan Dukuh Gunungjawa yang berarti Orang-orang Jawa berkumpul di Kaki Gunung. Kehidupan masyarakat Gunungjawa yang sudah terbiasa hidup damai dan memiliki sifat saling menghormati, maka siapapun pimpinannya tidak membuat mereka berpecah-belah, tetapi justru saling menghormati antara satu dengan yang lainnya.

Kecemasan dan rasa takutpun sedikit demi sedikit berkurang, bahkan akhirnya kehidupan mereka semakin merasa nyaman Pendita Anjar Padang beserta putri dan rombongannya tidak ada lagi, tetapi walaupun demikian satu orangpun belum ada yang berani melewati garis yang digoreskan oleh Pendita (Lebak Cijurang), karena mereka masih takut akan ancaman Pendita.

C. Masa Awal Kampung Gunungjawa

Seiring berjalannya waktu Gunungjawa telah berubah wajah menjadi sebuah desa yang dipimpin oleh seorang Kuwu pertamanya H. Gontang. Ia seorang yang bijaksana, disegani oleh masyarakatnya, dan iapun sangat menyayangi warganya. Menurut keterangan beberapa tokoh Gunungjawa, bahwa pada sekitar tahun 1910-an sebagai awal dari pembangunan dibidang Pendidikan, khususnya pendidikan Agama, telah di mulai kegiatan pengajaran membaca Al-Qur`an dan kitab-kitab pelajaran tentang syariat Islam secara teratur dan terarah oleh seorang ulama yang bernama Kyai Madrawi. Pada awalanya para pelajar (santri) hanya putra-putri Gunungjawa.

Hasil didikan dan binaan Kyai Madrawi sangat menggembirkan, kehidupan beragama di Gunungjawa bagitu tampak, misalnya saja setiap waktu sholat Masjid yang sangat sederhana selalu dipenuhi oleh warga masyarakat yang melaksanakan sholat berjamaah. Walaupun mata pencaharian mereka mayoritas bercocok tanam, tetapi waktu sholat dzuhur mereka pasti pulang untuk melaksanakan sholat berjamaah, setelah melaksanakan sholat di antara mereka ada yang kembali melanjutkan aktivitasnya.

Banyak di antara santri yang telah menimba ilmu dari Kyai Madrawi melanjutkan menuntut ilmu ke daerah lain, misalnya saja seorang putra Gunungjawa yang bernama Hulaemi berhasil menuntut ilmu di Pesantren Jagasara, Cidahu, pimpinan Kyai Abdul Halim. Sekitar tahun 1918 pada saat kyai Madrawi berusia lanjut, maka beliau memerintahkan muridnya yaitu Ajengan Hulaemi untuk melanjutkan misinya menyampaikan risalah dan ajaran Islam di Gunungjawa.

Kegiatan pengajian di Gunungjawa semakin maju dan banyak dikunjungi para santri dari berbagai daerah. Kehidupan islami tampak dari perilaku sehari-hari, masyarakat yang ramah dan saling menghormati, tolong-menolong di antara mereka, hampir tidak pernah terdengar adanya kesenjangan di antara mereka. Berhubung banyaknya santri yang berkunjung ke Gunungjawa mendorong Ajengan Hulaemi mendirikan Pesantren, maka pada bulan April 1920 Beliau mendirikan Pesantren Gunungjawa.

Setelah berdirinya sebuah Pesantren, maka Gunungjawa semakin luas dikenal masyarakat, keberadaan Pesantren akhirnya tersebar ke seluruh daerah, khususnya daerah Kuningan, Cirebon dan Brebes Jawa Tengah.

D. Masa Proklamasi

Rangkaian kepemimpinan H. Gontang hingga kepemimpinan Argasuwita di Desa Gunungjawa yang nyaman, damai dan sejahtera itu, rupanya harus terhenti oleh gejolak politik internasional, yaitu penjajah dari luar negeri (Belanda) yang tujuan awalnya adalah mencari rempah-rempah ke wilayah Negara Republik Indonesia, tetapi pada akhirnya justru melakukan penindasan hal ini jelas berimbas ke pelosok pedesaan.

Disusul datangnya penjajah Jepang yang memiliki tujuan sama yaitu ingin menduduki dan merebut negara Indonesia. Belanda pergi tetapi datang penjajah baru yang sama menjajah negeri ini. Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum`at Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kabar tersebut memang terlambat diterima oleh masyarakat pedesaan, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut. Baru pada tanggal 18 Agustus 1945 kabar tentang kemerdekaan Republik Indonesia ramai di dengar masyarakat Gunungjawa.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, disambut dengan suka cita, oleh seluruh pemuda, santri dan warga masyarakat, namun perasaan suka cita itupun tidak bertahan lama, pasalnya terdengar kabar bahwa setelah Jepang pergi, Belanda kembali lagi ke Tanah Air, mendengar berita tersebut maka seluruh pemuda, santri dan masyarakat Gunungjawa bertekad mempertahankan Kemerdekaan hingga tetes darah penghabisan, siap mempertahankan tanah Gunungjawa bersama-sama dengan TNI. Hal itu dibuktikan oleh para pemuda, santri dan warga masyarakat Gunungjawa, mereka selalu berusaha menghalang-halangi setiap gerak-gerik tentara Belanda. Berbagai taktik dan siasat diupayakan untuk menghambat aktivitas tentara Belanda, cara-cara yang digunakan oleh para pemuda dan masyarakat Gunungjawa untuk melawan tentara Belanda adalah:

  1. Upaya menghambat jaringan informasi tentara Belanda dengan cara menggunting dan memutuskan kabel telepon, yang ada di jalur Luragung – Ciwaru.
  2. Setiap jalan yang akan dilalui tentara Belanda dipasang jebakan dan ranjau maupun perangkap lainnya yang dapat menghambat aktivitas tentara Belanda.
  3. Sebagian pemuda ada yang menjadi mata-mata dan pengintai aktivitas tentara Belanda.

Pada masa itu, Pesantren Gunungjawa menjadi tempat persembunyian sekaligus tempat berkumpulnya para tokoh pejuang golongan Islam, dalam menyusun strategi dalam menumpas penjajah Belanda, mereka itu antara lain adalah Kyai Zahid (ayah kyai Izzuddin) pimpinan Pondok Pesantren Buntet Kabupaten Cirebon, Kyai Abdul Halim pimpinan Pondok Pesantren Jagasara Cidahu, dan Kyai Moch. Suntana seorang pimpinan Lasykar Hizbullah Kabupaten Cirebon dan sekaligus beliau adalah Kepala Desa Leuweunggajah Kec. Ciledug Kabupaten Cirebon.

Setelah penjajah Belanda terusir dari Tanah Air, mereka (Kyai Zahid, dan Kyai Abdul Halim) kembali ke tempatnya masing-masing, kecuali salah seorang dari mereka tidak kembali ke tempat asalnya Desa Leuweunggajah, beliau adalah Kyai Moch. Suntana. Beliau menetap di Gunungjawa dan mempersunting putri Gunungjawa Siti Khodijah, putri pasangan suami-istri Mbah Jangkung Kertawijaya dan Hj. Siti Suryami.

Setelah menikah dengan Siti Khodijah beliau menjadi pengajar pendidikan Agama Islam di Pesantren bersama-sama dengan Ajengan Hulaemi, karena memang beliau adalah jebolan Pesantren Jombang, Jawa Timur. Dikemudian hari beliau lebih dikenal dengan nama Kyai Badrun. Desa Gunungjawa dalam perjalanan menuju puncak kejayaan, tentunya harus diimbangi oleh semangat perjuangan membela tanah air dan adat keturunannya, walaupun rintangan terus menghadang, tetapi seluruh masyarakat Gunungjawa selalu sigap dan bersatu menghalau segala rintangan. Hal ini dibuktikan oleh warga masyarakat Gunungjawa yang terus menerus membangun desanya secara periodik dipimpin beberapa kuwu, sejak Kuwu H. Gontang hingga kepada kuwu sesudahnya.

Tercatat beberapa nama Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Gunungjawa dari masa penjajahan Belanda sampai masa Bedol Desa, yaitu:

1. H. Gontang: Tahun 1865

2. Cakradinata: 1866 - 1898

3. Argasuwita: 1898 - 1920

4. Raksasuwita: 1920 - 1946

5. Dahlan: 1946 (6 bulan)

6. Baskat: 1947 (3 bulan)

7. H. Wirya Atmaja: 1947 - 1967

E. Gunungjawa digempur Belanda dan Gerombolan DI/TII

Sebuah desa yang jauh dari kebisingan kota, terletak di kaki Gunung Sukmana, dengan tetumbuhan lebat disekitarnya, pasti lepas dari perhatian kalangan masyarakat khususnya pemuda. Padahal di Desa Gunungjawa puluhan bahkan ratusan rangka pejuang tak dikenal. Mereka gugur karena mempertahankan kemerdekaan.

Pada tahun 1947 yang silam, Belanda melancarkan Agresi I, ketika itu Belanda dengan persenjataan lengkap membombardir Kota Cirebon dan sekitarnya. Serangan mendadak itu mengagetkan penduduk setempat, antara lain penduduk Ibu Kota Kuningan, Luragung, Ciwaru dan Cibingbin. Banyak korban berjatuhan dalam serangan itu, baik dari pihak rakyat maupun tentara, tidak terkecuali di Gunungjawa yang notabene termasuk wilayah Ciwaru, dan berdekatan dengan kota Luragung dan Cibingbin.

Serangan Belanda tersebut bukan tidak beralasan, karena memang daerah-daerah tersebut dinilai sebagai basis pejuang-pejuang Jawa Barat. Selain Bandung apalagi Cirebon pertama kalinya diumumkan Kemerdekaan Indonesia oleh saudara Soedarsono (Ayah Prof. Yuwono Soedarsono), pada tanggal 16 Agustus di Desa waled-Cirebon.

Setelah mendapat serangan gencar terjadi pengungsian besar-besaran dari Cirebon ke Ciwaru dan Gunungjawa, Keputusan itu berdasarkan kesepakatan Dewan Pertahanan Keresidenan Cirebon dan Brigade V, yang sebelumnya merencanakan pengungsian itu ke daerah Bobos Mandirancan. Pasukan yang pertama datang ke Ciwaru dan sekitarnya pada awal Agustus 1947 adalah pasukan kelaskaran yang dikenal dengan nama Pasukan Istimewa (PI) berkekuatan satu bataliyon dipimpin oleh Kapten Safei dan Letnan Said. Selanjutnya ratusan pengungsi secara bergelombang berdatangan ke Ciwaru dan Gunungjawa, baik Pegawai pemerintah, tokoh masyarakat, Kepolisian Karesidenan Cirebon, dan tidak sedikit rakyat biasa turut mengungsi ke wilayah Ciwaru dan Gunungjawa. Selain dari PI pasukan kelaskaran lainnya berdatangan seperti dari Divisi Bambu Runcing (BR) dari Yogyakarta dibawah pimpinan Kolonel Sutan Akbar, yang mendapat surat tugas resmi dari Jenderal Sudirman, pasukan BR ini kebanyakan bermukim di Gunungjawa. Menyusul Pasukan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan kehadiran Bataliyon 400 tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP) pimpinan Salamun AT dan AF Wirasutisna ke wilayah Ciwaru dan sekitarnya serta mendapat sambutan masyarakat Gunungjawa.

Masyarakat Gunungjawa sangat gigih dalam mempertahankan kemerdekaan, jiwa juang dan kepatuhan terhadap Pemerintah Republik Indonesia tak pernah tergoyahkan. Belanda jengkel, Mereka bertindak! Pada suatu hari melayang-layang sebuah kapal terbang tipe capung yang bertugas sebagai pengintai di atas hutan dan perbukitan sekitar wilayah desa Gunungjawa, Cileuya, Pabuaran dan Ciwaru. Tidak lama kemudian menderu-deru tiga buah kapal Bomber. Gubug-gubug persembunyian geriliyawan di hutan-hutan dan perbukitan, juga rumah penduduk Gunungjawa dan sekitarnya yang disinyalir ditempati pasukan Hizbullah pimpinan Une dibombardir disertai peluru mitraliur. Gunungjawa saat itu banjir darah dan jerit tangis penduduk yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal mereka luluh hancur dilumat bom dan peluru ganas. Banyak pejuang dan rakyat menjadi korban tindakan diluar perikemanusiaan Militer Belanda. Tapi tindakan kejam itu tidak mematahkan semangat perlawanan warga masyarakat. Justru sebaliknya perlawanan rakyat dan geriliyawan Hisbullah kian merajalela.

Pada bulan Februari 1949 tentara Belanda ditarik dari wilayah Ciwaru, Pabuaran dan Gunungjawa, yang tersisa hanya Markas Perwakilan Belanda yang berkedudukan di Desa Segong. TNI secara bergelombang terus berdatangan dari Yogya. Jalur yang ditempuh TNI melalui jalur Cimara melalui perkampungan Indrakila (sekarang Indrahayu) dan Gunungjawa sebagian dari mereka ada yang melanjutkan perjalanan menuju Sumberjaya, karena di Desa Segong masih ada Markas Belanda, maka jalur yang lewati melalui Desa Kaduagung - Margacina - lalu tembus ke Sumberjaya. Sebenarnya mereka akan melanjutkan perjalanan ke daerah Cijambu Subang. Akhirnya wilayah Gunungjawa, Pabuaran Getasan dan Ciwaru diduduki TNI Kompi Kusuma Negara pimpinan Kapten Mustofa Sudirja.

Hal ini tercium oleh pihak Belanda. Diawali dengan melayang-layangnya sebuah kapal terbang tipe capung, perkampungan Gunungjawa dan sekitarnya termasuk Ciwaru sebagai basis persembunyian para geriliyawan dihujani peluru Kanon yang ditembakan dari Luragung tidak kurang dari 150 butir, tidak puas dengan penyergapan Belanda beralih menghujani wilayah Gunungjawa dari arah Cileuya dengan tembakan kanon yang menghancurkan perkampungan penduduk, dilakukan sekitar pukul 19.30 WIB (setelah sahalat Isya), tembakan kanon menghujani kampung Margacina. Pukul 22.00 WIB Belanda kembali menghujani dengan tembakan kanon dari Cileuya, kini giliran Desa Gunungjawa yang jadi sasaran. Gedung SR (Sekolah Rakyat) hancur lebur jadi sasaran, rumah penduduk banyak yang hancur. Tidak sedikit rakyat dan pejuang luka-luka berat maupun luka ringan, salah seorang warga yang menjadi saksi hidup saat itu terkena tembakan keganasan peluru Belanda yaitu Bapak Sarju (bapak Sahri). Sementara itu Belanda secara rutin mengadakan patroli ke desa-desa dan mengadakan penyergapan secara mendadak ke kampung-kampung yang dicurigai sebagai tempat persembunyian geriliyawan, terutama desa Gunungjawa yang dianggap basis Hisbullah pimpinan Une, penyergapan dilakukan dikala fajar menyingsing. Pada suatu siang hari pesawat terbang tipe capung kembali menghujani peluru dari atas Desa Gunungjawa.

Berikut ini adalah nama-nama korban luka berat dan ringan pada waktu terjadinya penembakan Belanda disiang hari, tepatnya hari selasa, tanggal 22 November 1947, yaitu: Bapak Sajud, Ibu Suryi Istri Kuwu Dahlan, dan Bapak Waspi.

Gunungjawa salah satu desa dari 369 desa di Kabupaten Kuningan bagian Timur, yang memiliki nilai histories tersendiri pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, penduduk Gunungjawa tidak hanya menghadapi gempuran serdadu Belanda, tetapi justru diserang pula oleh gerombolan DI/TII. Gerombolan DI/TII sering menteror penduduk, bahkan tidak segan-segan mereka membunuh penduduk yang tidak mengikuti keinginannya, tak pelak lagi rumah Kuwu Baskat (Kepala Desa) pun jadi amukan gerombolan DI/TII yang ujung-ujungnya rumah tersebut dibakar habis dan ia meninggal pada tahun 1947. Itulah rumah kedua di Gunungjawa yang dibakar setelah rumah Bapak Eman.

Perjuangan yang tidak pernah berhenti, itulah Gunungjawa, sejak pergolakan penjajah Belanda, desa kecil ini terus mengalami tekanan dan gempuran hebat, sejak Belanda pertama datang ke tanah air, dilanjutkan dengan penjajah Jepang, walaupun tidak begitu lama tetapi pergolakan Jepang tetap saja menelan korban. Jepang pergi muncul kembali Belanda untuk yang kedua kalinya, terjadi konflik tiga dimensi antara tentara Hisbullah pimpinan Une, TNI dengan gerombolan DI/TII Pimpinan Karto Soewiryo, kejadian tersebut berakibat terjadinya korban, bukan saja dari pihak-pihak konflik, tetapi berimbas kepada penduduk.

Suasana desa kian porak-poranda setelah gerombolan DI/TII membabi buta menteror perkampungan Gunungjawa, dua rumah penduduk habis dibakar dan banyak penduduk yang tidak berdosa menjadi korban keganasan gerombolan. Akibatnya banyak menelan korban jiwa, harta benda, termasuk kegiatan pendidikan menjadi terlantar.

GUNUNGJAWA CIKAL-BAKAL DESA KARANGKANCANA

A. Perpindahan dan Pergantian Nama Desa Gunungjawa ke Karangkancana

Keadaan desa yang porak-poranda, perkampungan yang sudah tidak lagi aman, kehidupan masyarakat yang semakin terancam, pendidikan anak-anak terlantar, sulit mencari pencaharian, penduduk dihantui rasa takut jika menjelang petang, sungguh sebuah desa yang mencekam dan menakutkan.

Kondisi seperti itu rupanya membuat seorang tokoh merasa terpanggil untuk mencari solusi dan segera keluar dari kemelut yang terus menjerat penduduknya Maka pada tanggal 14 September 1949 Kepala Desa Gunungjawa (Wirya Atmaja) membuat kebijakan cermat dan tepat ia memberikan ultimatum menginstruksikan kepada seluruh penduduk Desa Gunungjawa untuk melakukan evakuasi ke daerah yang dianggap aman, setelah instruksi dikeluarkan banyak di antara mereka yang mengungsi, ada yang mengungsi ke Kaduagung, Getasan, Pabuaran, Cileuya, Ciwaru, ada pula di antara mereka yang mengungsi ke kota Kuningan, bahkan tidak sedikit di antara warga masyarakat Desa Gunungjawa mengungsi ke daerah Luragung dan sekitarnya khususnya di Kampung Situ Luragung. Banyak di antara mereka yang harus rela kehilangan tempat tinggal, harta benda, sanak saudara dan meninggalkan desa tercinta. Tak elak lagi keberadaan Gunungjawa menjadi sebuah desa yang sepi dan mati, tidak tampak lagi penduduk yang berada di sana, tak terkecuali keberadaan pesantrenpun otomatis bubar, karena tidak ada lagi yang menetap disana, inilah akhir kehidupan Pesantren Gunungjawa (tanggal 4 Oktober 1949)

Atas dasar perikemanusiaan dan rasa tanggungjawab yang tinggi, maka Kepala Desa Gunungjawa Wirya Atmaja menghimpun kembali masyarakatnya. Disebarkanlah pengumuman keseluruh masyarakat Gunungjawa yang saat itu menyebar diluar desa untuk kembali ke Gunungjawa, akhirnya pada tanggal 3 Agustus 1951 masyarakat Gunungjawa mulai berkumpul ditempat yang baru, di tanah bengkok perangkat desa dengan status tanah hak pakai.

B. Pengorbanan yang patut diteladani

Untuk meresmikan perpindahan warga tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1952 para tokoh masyarakat Desa Gunungjawa diantaranya: Wirya Atmaja, Moh. Suntana (Kyai Bandrun), Nata Sukatma, Abah Jusa, dan Sastradinata, dan Yusuf mengadakan kumpulan (musyawarah) di Kampung Getasan, untuk kemudian melaksanakan rapat lanjutan sebagai tindaklanjut Musyawarah Getasan yang bertempat di Balai Desa sekitar pukul 10.00 untuk menyatakan kehendak warga, dengan isi pernyataan sebagai berikut:

1. Memindahkan kedudukan ibu kota desa Gunungjawa beserta 3 buah kampung lainnya (Margacina, Banjaran dan Jabranti/Situ wetan) ke tempat lain yang lebih aman.

2. Tempat baru yang dimaksud pada poin satu yaitu sebidang tanah bengkok yang berlokasi berada di sebelah Barat Desa Gunungjawa.

3. Pemindahan dimaksud dilakukan dengan alasan di Desa Gunungjawa sering kali didatangi gerombolan DI/TII pengacau keamanan yang selalu mengadakan berbagai tekanan kepada warga masyarakat, selain itu sering pula terjadi pertempuran-pertempuran yang dahsyat antara TNI dengan gerombolan DI/TII, sehingga warga masyarakat merasa tidak aman dan banyak yang mengungsi ke tampat lain.

4. Mengganti nama desa Gunungjawa dengan nama desa yang baru, yaitu “Karangkancana”.

5. Mengajukan perubahan status tanah bengkok dari tanah hak pakai menjadi tanah hak milik warga masyarakat.

6. Pemindahan tempat kedudukan desa Gunungjawa ke tempat baru tersebut dalam kenyataannya telah dilakukan sejak tanggal 3 Agustus 1951. (Sumber: Catatan Harian Bpk. Wirya Atmaja)

Pernyataan tersebut sebagai dasar untuk mengajukan permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan tentang “Pemindahan tempat kedudukan Desa Gunungjawa Kecamatan Ciwaru, dan permohonan Pergantian nama desa menjadi sebutan baru: KARANGKANCANA”.

Pada tanggal 30 Juli 1952 Kepala Desa Wirya Atmaja mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan dengan melampirkan hasil pernyataan kehendak warga tersebut diatas, karena hanya itulah jalan yang terbaik bagi warganya, dan hanya disanalah tempat yang dipandang aman untuk sebuah pemukiman penduduk.

Secara resmi SK Gubernur Jawa Barat terbit tanggal 28 Juli 1954 dengan SK Nomor: 1217/17-K/Reg.79/GDB/UD/54. Dengan terbitnya SK Gubernur tersebut maka Gunungjawa telah berubah menjadi wajah baru dan nama yang baru pula, yaitu Desa Karangkancana yang berada tepat sebelah barat dari tempat desa yang lama. Sebuah pengorbanan yang patut diteladani, perangkat desa rela melepas bengkoknya demi kepentingan yang lebih besar dan mulia, yaitu tempat tinggal penduduk.

Tempat baru bekas sawah bengkok perangkat desa tersebut menjadi sebuah pemukiman baru dengan nama desa “KARANGKANCANA”, (Kampung Halaman yang Bertaburkan Emas)”.