Taihō (大鳳code: ja is deprecated , "Feniks yang Agung") adalah sebuah kapal induk dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Kapal ini memiliki dek penerbangan berlapis baja yang pertama di Jepang saat itu. Kapal ini diharapkan bisa bertahan di bawah gempuran bom, torpedo, atau tembakan peluru dan bisa terus beroperasi secara efektif.
Kapal ini dirakit di daerah Kawasaki, Kobe, Jepang pada 10 Juli 1941, dan baru diluncurkan pada 7 April 1943. Taihō secara resmi digunakan pada 7 Maret 1944 setelah melewati serangkaian uji coba di Laut Pedalaman Jepang.
Taihō secara resmi ditugaskan pada tanggal 7 Maret 1944. Setelah beberapa minggu diuji coba di Laut Pedalaman Jepang, ia dikirim ke Singapura dan tiba disana pada 5 April. Taihō kemudian pindah ke Lingga, sebuah pelabuhan angkatan laut dari Sumatra, di mana ia bergabung dengan kapal induk veteran Shōkaku dan Zuikaku di Divisi Induk Pertama dan Satuan Tugas Bergerak Pertama.
Ketiga kapal induk tersebut terlibat dalam bertugas sampai dengan berlatih peluncuran pesawat dan operasi pemulihan. Selain itu, ketiga kapal induk ini bertindak sebagai sasaran serangan udara mock yang dipentaskan dari lapangan udara Singapura oleh pesawat mereka sendiri.
Pada tanggal 15 April, Wakil Laksamana Jisaburo Ozawa resmi mentransfer posisi kapal bendera dari Shōkaku menjadi Taihō, yang memiliki fasilitas ruang komando yang lebih ekstensif. Tak lama kemudian, Satuan Tugas Bergerak Pertama berangkat dari Lingga dan tiba pada 14 Mei di Tawi-Tawi (lepas Kalimantan), di mana armada langsung bisa mengisi bahan bakar dengan tidak dimurnikan minyak mentah Pulau Tarakan dan menunggu eksekusi rencana Kantai Kessen ("pertempuran yang menentukan") yang dikenal sebagai Operasi A-GO.
Nasib
Pada 19 Juni 1944, Taihou merupakan salah satu dari sembilan kapal induk Jepang yang terlibat dalam Pertempuran Laut Filipina. Wakil Admiral Jizaburo Ozawa menggunakan strategi yang disebut sebagai 'Outrange'.
'Outrange' merupakan sebuah strategi dimana kesembilan kapal induk tersebut mengirim pesawat-pesawatnya dari jarak yang sangat jauh ke arah armada Amerika yang sudah diketahui lokasinya sebelumnya oleh kelimapuluh pesawat fighter 'Zero' dari Pangkalan Guam yang sudah lebih dulu menyerang Task Force 58 milik Amerika.
Namun, radar yang dimiliki Amerika dapat mendeteksi kedatangan pasukan udara Jepang lebih dulu 240 km dari tempat mereka. Sehingga TF-58 dapat segera bereaksi dan mencegat mereka di titik 110 km dari tempat mereka; keberhasilan mereka mencegat pasukan udara Jepang juga karena adanya keterlambatan 10 menit yang fatal dari pasukan Jepang yang memutuskan untuk memutar lebih dulu untuk mengatur formasinya.
Dalam pertempuran udara ini, Taihou mengirim 16 pesawat tempur 'Zero', 17 pesawat pembom tukik 'Suisei', dan 9 pesawat pembom torpedo 'Tenzan' pada gelombang kedua pengiriman pasukan udara. Tanpa disadarinya, kapal selam Amerika USS Albacore yang sudah mendeteksi keberadaan Armada Ozawa sejak awal telah berada di posisi strategisnya untuk menembakkan enam torpedo ke arah Taihou. Satu torpedo gagal sampai karena dihalangi lajunya oleh satu fighter Taihou yang sempat melihat laju torpedo tersebut dan menenggelakan dirinya untuk meledakkan torpedo itu.[2]
Empat torpedo lainnya meleset, tetapi satu torpedo berhasil mengenai Taihou dan membuat retak tangki sumber bahan bakarnya serta membuat macet elevator yang ada di antara dek penerbangannya dan hangar dek bagian teratasnya.
Seiring dengan semakin turunnya posisi Taihou karena air laut yang mulai membanjiri badannya, semakin bercampurlah air laut itu dengan bahan bakar kapal serta bensin untuk pesawat. Setelah beberapa penanganan yang dianggap perlu, Ozawa memutuskan untuk kembali melanjutkan pengiriman pasukan udara Taihou sampai dengan dua gelombang berikutnya.
Ia tak menyadari bahwa penguapan gas dari bensin pesawat yang sebelumnya tumpah semakin lama semakin parah dan pekat akibat struktur desain dalam hangar Taihou yang tertutup rapat. Apalagi ditambah dengan kesalahan kepala kru kontrol kerusakan yang memerintahkan untuk membuka semua ventilasi yang tersedia, yang justru mempercepat penyebaran gas tersebut ke seluruh sudut ruang yang ada di dalam Taihou.
Enam setengah jam setelah torpedo tersebut mengenainya, sebuah ledakan kejut di dalam Taihou memicu ledakan lebih besar dari gas yang sudah menyebar tersebut. Bahkan ledakannya sampai membuat dek penerbangannya sempat lepas dan terangkat sebentar, serta membuat Taihou lumpuh total dan hanya tinggal menunggu maut menjemputnya.
Ozawa berniat mati bersama dengan Taihou untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya, tetapi ia dicegah oleh anak buahnya dan dibawa ke Haguro, yang menjadi kapal bendera pengganti Taihou untuk sementara. Setelah berhasil dibawa ke Haguro, Ozawa kembali melihat Taihou meledak sekali lagi dengan sangat hebatnya sampai menggetarkan laut dan langit di perairan tersebut dan sebelum akhirnya tenggelam bersama dengan 1650 kru kapalnya di tempat itu.[3][4][5] Dia tenggelam di titik 12°05′N138°12′E / 12.083°N 138.200°E / 12.083; 138.200.
Catatan kaki
^ abcdKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Conway's
Evans, David, ed. (1986). The Japanese Navy in World War II; Ozawa in the Pacific: A Junior Officer's Experience by Minoru Nomura. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press.
Friedman, Norman (1981). Naval Radar. Conway Maritime Press.