Jojogan adalah desa di kecamatan Watukumpul, Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia.
Sejarah
Penamaan/nomenklatur Desa Jojogan berdasarkan adat istiadat secara turun temurun sejak zaman Kerajaan Mataram Jojogan memiliki arti kata “Tujuan” asal dari kalimat “Jog-jogan” atau dalam Bahasa Jawa “Anjog-anjogan” artinya “Desa dimana kebanyakan orang luar daerah singgah atau menetap di dalamnya dan berhasil dalam kehidupannya”. Dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang Jojogan tetap dilestarikan.
Pada masa lalu, Desa Jojogan termasuk kedalam wilayah Desa Cikadu, di bawah kepemimpinan Lurah Truna Kepet dan Lurah Elas sekitar 1864 s/d 1907 dengan sebutan Desa, Cikadu Wetan dan Cikadu Kulon.
Pada masa kepemimpinan Lurah Elas sekitar tahun 1908 terjadi pemekaran wilayah, dimana sebutan Cikadu Wetan menjadi Desa Cikadu, dan yang tadinya dengan sebutan Cikadu Kulon menjadi Desa Jojogan.
Geografi
desa jojogan memiliki iklim sejuk dengan curah hujan yang tinggi.
disebelah Utara berbatasan dengan desa Bodas, Watukumpul, Pemalang, disebelah selatan berbatasan dengan desa Sirau, Karangmoncol, Purbalingga, disebelah timur berbatasan dengan desa Cikadu, Watukumpul, Pemalang, disebelah barat berbatasan dengan desa Majalangu, Watukumpul, Pemalang
Pemerintahan
Daftar kepala Desa Jojogan
- Nala Merta 1908 - 1918
- Nursan 1918 - 1925
- Sokhani 1925 - 1932
- Singa Sahid 1932 - 1939
- Jalil 1939 - 1945
- Karnen 1945 - 1975
- Suhadi 1975 - 1994
- Wasduri 1994 - 2002
- Nuryono 2002 - 2012
- Tardi 2012 - 2018
- Irman Faozi 2018 - sekarang.
Pembagian administratif
- Dusun Patrol
- Dusun Kali tengah
- Dusun Bulus
- Dusun Kali gondang
- Dusun Jingkang
- Dusun Sindu
- Dusun Bayur
- Dusun Kemantren
- Dusun Simenyan
- Dusun Sidomulyo
- Dusun Sidomakmur.
Ekonomi
Desa Jojogan memiliki andalan disektor UMKM Konveksi. Sementara di sektor pariwisata, Desa Jojogan memiliki tempat wisata seperti bukit pabungan yang terletak di dusun jingkang dan berbatasan dengan Desa cikadu yang dikelola oleh pemerintah desa dan bekerja sama dengan penduduk setempat. Wisatata religi yang menjadi destinasi selanjutnya masih dalam tahap perencanan. Selain itu desa jojogan menyelenggarakan sebuah festival yang bernama festival bumi jojogan yang sukses diselenggarakan sejak tahun 2019, dalam festival tersebut diadakan berbagai kegiatan seperti : penerbangan 1000 lampion secara masal penyembelihan wedus kendit, ziarah makam leluhur, sedekah bumi, dan penampilan kesenian ebeg. pemerintah desa jojogan berharap geliat ekonomi masyarakat desa semakin kuat dengan adanya program yang dibuat dan mampu menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung.
Budaya
Kesenian
Kesenian di Desa Jojogan bermula pada tahun 1995 tepatnya di bulan Juli berdiri sebuah kesenian yang bertakjub budaya yaitu, kesenian wayang kulit dengan nama “Seni Kawawitan Mukti Laras”. Wayang kulit didirikan pertama kali oleh saudara Muhammad Nasir dan Sumeri, Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata ‘Ma Hyang’ yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah Bahasa Jawa yang bermakna ‘bayangan’, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Selang berjalannya waktu pertujukan dilakukan baik di lokal daerah maupun di luar daerah dirasa peminat kesenian tersebut semakin berkurang karena perkembangan zaman dan mulai bermasukannya budaya luar ke warga Desa Jojogan. Oleh karena itu kedua pendiri ini bersepakat untuk menambah sebuah kesenian baru dalam prosesi pagelaran wayang ini dengan dipadukan kesenian kuda kepang pada tahun 1997, kesenian tari kuda kepang ini diajarkan oleh Sumeri, dengan formasi 11 pemain gamelan dan 5 orang penari kuda kepang. Pada tahun 1998 untuk pertama kalinya kesenian ini dipakai di luar kecamatan untuk memeriahkan acara hajatan (pesta/syukuran) pribadi masyarakat maupun dari pihak pemerintahan.
Sekitar tahun 2000 kesenian ini melakukan re-generasi (pembaruan) pada bagian penari dengan 4 orang penari yang baru dan lebih muda dari generasi yang dibentuk tahun 1997. Namun re-generasi yang pertama ini mengalami sebuah kendala yang menjadikan re-generasi pertama ini menjadi bubar atau fakum dan berhenti menjadi penari kuda kepang di kesenian ini pada tahun 2004, dan untuk mengisi kekosongan formasi ini digantikan kembali pada penari generasi pertama.
Selang bertambahnya usia penari kuda kepang di kesenian ini dari pihak dalam (internal) organisasi mere-generasi penari kembali tahap kedua dengan digantikan oleh 10 orang penari pada tahun 2009 dengan berganti nama menjadi “Seni Laras Putra Banawati” sampai pada tahun 2015 penari pada generasi ini tersisa hanya 3 orang, dikarenakan beberapa masalah pada masing-masing penari. Pada tahun 2015 demi menjaga keutuhan dan pelestarian budaya di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, pihak organisasi mere-generasi penari kembai pada tahap ketiga dengan formasi baru 3 Putra dan 1 Putri, dan 3 penari Putri yang masih aktif dikesenian ini.
Sampai saat ini pada tahun 2017 jumlah penari di kesenian ini berjumlah 7 orang, dirasa nama yang kurang tepat dengan kejadian-kejadian yang sering berkurangnya penari pada kesenian ini diubahlah nama pada menjadi “Kesenian Kuda Kepang Putra Rogojati” dengan makna Rogojati sendiri adalah nama seorang leluhur yang menjadi orang pertama yang membangun (babat) di Desa Jojogan, dengan mengganti nama tersebut menjadi tanda terima kasih atau mengenang leluhur yang telah gugur memperjuangkan tanah lahir kami dan dengan nama tersebut menjadi sebuah restu sendiri untuk tetap melestarikan dan memajukan kesenian budaya asli di jawa, dan menjadi poros setiap kesenian kuda kepang yang ada di pulau Jawa.
Pranala luar