Janin menurut IslamJanin menurut Islam adalah sesuatu yang berada di dalam rahim perempuan setelah terjadinya pembuahan. Keberadaan janin merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang fase pertumbuhannya dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Hak janin dalam Islam telah ada sebelum penciptaannya oleh Allah hingga masa kehamilan. Islam menganggap gugur kandungan dan tindakan yang membahayakan kondisi ibu yang sedang hamil secara fisik dan psikis sebagai kejahatan yang dikenai hukuman atasnya sesuai syariat Islam. HakikatAjaran Islam menetapkan pengertian yang luas mengenai janin. Sesuatu yang disebut janin adalah keberadaan baru yang ada setelah masa pembuahan di dalam rahim perempuan.[1] Penjelasan janin di dalam Al-Qur'an pada dasarnya merupakan pembukitan dari Allah bahwa Al-Qur'an berasal dari-Nya. Persoalan janin di dalam Al-Qur'an menjadi salah satu tanda dari kekuasaan Allah. Perkaranya tidak hanya berkaitan dengan kehamilan, tetapi lebih khusus ke embriologi.[2] Fase pembentukanFase pembentukan janin telah dijelaskan dalam ajaran Islam. Penjelasannya ada di dalam Al-Qur'an sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad. Fase pembentukan ini merupakan bagian dari informasi mengenai penciptaan manusia. Ayat yang menjelaskannya adalah Surah As-Sajdah ayat 7–10.[3] Dalam ajaran Islam, roh telah diberikan kepada tubuh janin setelah berusia 4 bulan. Pada usia ini, bentuk janin telah menjadi manusia.[4] Dtak jantung janin akan dapat didengar menggunakan alat medis ketika usianya telah mencapai 6 bulan.[5] HakHak pra-penciptaanAllah telah menetapkan hak kepada janin sebelum janin itu sendiri diciptakan oleh-Nya. Hak ini berupa pendidikan. Isyarat atas hak ini antara lain pada Surah Al-Isra' ayat 32. Pada ayat ini, Allah melarang manusia untuk mendekati zina. Allah juga menyatakan alasannya bahwa zina adalah perbuatan buruk yang keji.[6] Ayat ini menjelaskan bahwa penciptaan janin harus dari hubungan pasangan yang sah dan bukan melalui perzinaan.[7] Hak sebagai anakJanin dalam hukum Islam memiliki hak-hak yang harus dipenuhi karena statusnya sebagai manusia. Hak-hak ini berhak diterimanya tanpa ada batasan meskipun kehidupannya masih bergantung dengan ibunya.[8] Hak pertumbuhan janin merupakan bagian dari perhatian Islam terhadap perlindungan hak anak.[9] Keselamatan janin juga diperhatikan di dalam ajaran Islam. Nafkah kepada para istri yang telah menerima talak ketiga dari suaminya harus tetap diberikan ketika dalam kondisi hamil. Pemberian nafkah ini diberikan khusus kepada janin, karena hak sebagai istri sendiri telah gugur.[10] Ajaran Islam telah memberikan tindakan yang harus dilakukan untuk memberi stimulasi kepada janin. Ini merupakan bagian dari psikologi Islam. Stimulasi ini diberikan kepada otak bayi. Caranya dengan membacakan Al-Qur'an.[11] Dianjurkan pembacaan Al-Qur'an dilakukan sendiri oleh ibu si janin, karena janin sangat mengenal suara ibunya sehingga terjalin hubungan kedekatan antara ibu dan anak.[12] Janin akan memiliki perasaan tenteram ketika Al-Qur'an dibacakan dan suaranya terdengar olehnya, terutama dari suara orang tuanya.[13] Kejahatan atas janinKejahatan terhadap janin termasuk jenis tindakan kejahatan kepada jiwa yang belum sempurna. Tindakan ini terjadi ketika seseorang memukul bagian tubuh dari wanita yang sedang hamil. Pukulan ini dianggap kejahatan bila dilakukan pada bagian perut, punggung, pinggang, kepala maupun anggota tubuh lainnya dari ibu hamil. Tindakan kejahatan ini juga termasuk tindakan membentak, meneriaki, dan menaku-nakuti ibu hamil dengan ucapan ingin membunuh atau memukulnya. Tindakan-tindakan ini dinyatakan sebagai kejahatan ketika janin di dalam tubuh ibunya mengalami gugur kandungan. Status ini berlaku baik janin itu hidup atau mati setelah gugur kandungan. Tindakan ini memiliki status yang sama dengan aborsi.[14] Tindakan aborsi memiliki indikasi yang kuat dilarang di dalam Islam. Ini berdasarkan beberapa firman Allah, antara lain Surah Al-Baqarah ayat 228, dan Surah Al-Isra' ayat 31 dan 33.[15] Tindakan aborsi di dalam Islam oleh para fukaha mengalami perbedaan pendapat. Pendapat ini utamanya berbeda pada penetapan hukum aborsi sebelum bayi berusia 40 hari. Perbedaan pendapat terjadi oleh para fukaha dari mazhab Syafi'i, mazhan Hambali, mazhab Hanafi, dan mazhab Maliki.[16] Pelaku aborsi juga menerima sanksi atas perbuatannya. Pengaturan mengenai aborsi termasuk dalam fikih jinayah. Sanksi yang diberikan atas tindakan aborsi juga ditentukan oleh waktu diadakannya aborsi dan kondisi janin setelah dikeluarkan.[17] Referensi
|