Jalur kereta api Tasikmalaya–Singaparna adalah salah satu jalur kereta api nonaktif di Indonesia, tepatnya berada di wilayah Tasikmalaya, Jawa Barat yang secara administratif berada dalam wilayah aset Daerah Operasi II Bandung.
Sejarah
Pengajuan konsesi
Pada bulan Oktober 1890, K. van Horck mengajukan permohonan pembangunan lajur kereta api dari Stasiun Tasimalaya menuju Singaparna kepada pemerintah. Namun usulannya ditolak melalui surat keputusan pemerintah nomor 7 tanggal 21 November 1890.[2]
Setelah ditolak pemerintah, K. van Horck mengajukan permohonan kedua pada 23 Desember 1890. Kali ini lajurnya menuju aliran kiri Sungai Ciwulan dekat Mangunreja.[3] Permohonannya dikabulkan pemerintah dengan surat keputusan pemerintah nomor 17 tanggal 6 Februari 1891. Namun K. van Horck tidak langsung membangunnya sehingga pemerintah memberikan tenggang waktu untuk memulai pembangunan hingga 6 Februari 1893 berdasarkan surat keputusan pemerintah nomor 21 tanggal 11 Maret 1892.[2]
Meskipun telah diberikan tenggang waktu, K. van Horck tak kunjung membangun jalur kereta api tersebut sebagaimana yang telah diusulkan sebelumnya. Pada akhirnya, pemerintah membatalkan permohonan K. van Horck tersebut.[2]
Pada tanggal 31 Desember 1898, Myer mengajukan permohonan konsesi pembangunan kereta api lajur Tasikmalaya–Singaparna dengan simpangan-simpangannya. Beberapa simpangan tersebut ada simpangan Singaparna–Cigadog, Singaparna–Peuteuyjaya, dan Padayungan–Cicariang–Cibeuti.[2]
Pemerintah memberikan izin terhadap konsesi yang diajukan Myer berdasarkan surat keputusan pemerintah nomor 4 tanggal 7 Juni 1899. Seperti halnya K. van Horck sebelumnya, Myer juga ternyata tidak langsung membangun. Sampai-sampai pemerintah memperpanjang izin sebanyak empat kali untuk membangun, namun Myer tetap tidak membangunnya juga. Akhirnya izin membangun tersebut diserahkan pada Mr Th B Plyete.[2]
Lagi-lagi, Mr Th B Plyete ternyata tidak kunjung membangun hingga tahun 1904. Atas hal tersebut, pemerintah mencabut izin pembangunan jalur kereta api Tasikmalaya–Singaparna.[2] Pada akhirnya, pemerintah melalui StaatsspoorwegenWesterlijn yang melaksanakan pembangunan tersebut.[4][2]
Dekade 1910-an
Pembangunan dimulai pada bulan Maret 1910, dengan panjang 17,8 km.[2] Awalnya, pembangunan jalur ini akan sampai di Mangunreja dan Cibeuti melalui pedalaman Sukaraja. Namun karena penduduknya sangat sedikit, topografi yang berbukit-bukit, dan keharusan membangun jembatan yang melintasi Sungai Ciwulan, membuat rencana itu pun batal.[2][3]
Pembangunan dilengkapi dengan 12 tempat pemberhentian, yang di mana jarak antara satu dengan stasiun/halte yang lainnya berjarak sekitar 1.200 m.[2][3] Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan jalur ini pada tahun 1910 sebesar F. 205.783,80, sedangkan keseluruhan biaya yang digunakan sampai selesai pembangunan pada tahun 1911 yaitu F. 610.248,01.[2] Alasan dibalik rendahnya anggaran yang dikeluarkan karena pemerintah menggunakan bahan bekas dari pembangunan jalur Batavia–Karawang. Bahan itu berupa besi untuk bangunan atas dan jembatan.[2][3] Jalur ini secara resmi dibuka pada tanggal 1 Juni 1911.[4][2]
Karakteristik jalur ini hampir mirip dengan jalur kereta api Secang–Yogyakarta dimana melintas di wilayah pemukiman masyarakat Tasikmalaya, pembangunan jalur ini bertujuan untuk melayani para pedagang kerajinan anyaman bambu khas Singaparna.[5]
Dekade 1940 s.d. 1950-an
Pada masa pendudukan Jepang (1943), jalur ini mengalami pembongkaran yang menyebabkan ditutup pula jalur ini.[6][7] Perlu diketahui pula, bahwasanya jalur ini pernah menjadi salah satu jalur yang akan direaktivasi oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia pasca pembongkaran, tetapi hal ini tidak dapat terlaksana.[8]
Rute
Rute jalur kereta api Tasikmalaya–Singaparna dimulai di sebelah barat Stasiun Tasikmalaya, dari jalur 1 Stasiun Tasikmalaya, Rel berbelok ke arah selatan menyebrang Jalan Cimulu dan Jalan Rasamala, Tawang, Tasikmalaya. Lalu rel masuk ke Jalan dr. Sukardjo terus ke arah selatan. Mulai di sini rel kereta api berada di sisi jalan berdampingan dengan kendaraan bermotor seperti di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah.
Selepas Jalan Dr. Sukardjo, Rel melintasi bagian depan Masjid Agung Tasikmalaya dan berbelok ke arah barat memasuki jalan Yudanegara. Dulunya, tepat di selatan Masjid Agung Tasikmalaya ini berdiri Stasiun Tasikmalaya alun-alun.
Setelah stasiun, rel berlanjut melalui sisi Jalan Yudanegara, yang masih berbagi dengan Kendaraan bermotor, kemudian belok ke arah selatan lagi memotong Jalan Pasar Wetan, Cihideung, Tasikmalaya.
Setelah lurus ke arah selatan beberapa ratus meter, rel berbelok lagi ke arah timur memasuki Jalan Cihideung Balong dan mengikuti Jalan Margaluyu berbelok ke arah Selatan lalu masuk ke Jalan K.H. Z. Mustafa. Sepanjang jalan ini, Rel masih berada di sisi jalan berbagi dengan kendaraan bermotor hingga tiba di persimpangan padayungan.
Di sini rel berbelok ke arah barat lalu keluar dari jalan dan kemudian berada berdampingan di sisi jalan mengikuti ruas Jalan Provinsi Tasikmalaya-Singaparna-Garut hingga tiba di Pasar Singaparna. Di pasar ini, Rel berbelok ke arah selatan sedikit masuk ke Stasiun Singaparna yang kini sudah menjadi bangunan Polsek Singaparna.
Sebenarnya jika lintas ini aktif kembali, jalur kereta api Tasikmalaya-Singaparna memiliki potensi wisata yang besar. Karena banyaknya landmark yang dilewati dan adanya segmen sepanjang ± 5-6 kilometer berada di atas jalan raya seperti di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah.
^Bruin, Jan de (2003). Het Indische Spoor In Oorlogstijd: de spoor- en tramwegmaatschappijen in Nederlands-Indië in de vuurlinie, 1873-1949. Uquilair B.V.
^Nusantara, Telaga Bakti; Perkeretaapian, Asosiasi (1997). Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 2. Bandung: Angkasa.
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.