Ita Martadinata Haryono
Ita Martadinata Haryono (21 Maret 1980 – 9 Oktober 1998) adalah seorang aktivis HAM Indonesia yang tewas dibunuh secara misterius, tak lama sebelum ia berencana bersaksi di Sidang PBB terkait pemerkosaan massal di Indonesia pada masa Reformasi. Latar belakangKerusuhan Mei 1998 adalah penjarahan dan pemerkosaan yang mengandung sentimen rasial dan secara khusus menarget etnis Tionghoa-Indonesia. Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat ada 168 korban kekerasan seksual massal yang melapor sampai 3 Juli 1998 (152 dari Jakarta dan sekitarnya, 16 dari Solo, Medan, Palembang dan Surabaya).[1] Ita Martadinata, seorang siswi kelas III SMA Paskalis yang kala itu berusia 18 tahun, adalah salah satu korban pemerkosaan. Akan tetapi, Ita adalah satu-satunya korban yang berani bersuara, memberi konseling untuk sesama korban, dan menyatakan siap bertestimoni di sidang PBB.[2] PembunuhanIa ditemukan mati dibunuh oleh Suryadi alias Otong alias Bram, pada 9 Oktober 1998 di kamarnya di Jakarta Pusat. Perutnya, dada dan lengan kanannya ditikam hingga sepuluh kali, lehernya disayat,[3] dan alat kelaminnya ditancap kayu.[4] Hal ini terjadi hanya tiga hari setelah Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan beberapa organisasi hak-hak asasi manusia lainnya mengadakan konferensi pers, menjelaskan bahwa beberapa orang dari anggota tim ini telah menerima surat ancaman akan dibunuh apabila mereka tidak segera menghentikan bantuan mereka terhadap investigasi internasional atas perkosaan, pembunuhan, dan pembakaran atas sejumlah perempuan Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998.[5] Pihak yang berwajib mengumumkan bahwa kematian Ita hanyalah suatu kejahatan biasa, yang dilakukan oleh seorang pecandu obat bius yang ingin merampok rumah Ita, namun tertangkap basah, sehingga kemudian ia membunuh gadis itu.[2] Pemberitaan media massa saat itu membingkai pembunuhan Ita Martadina sebagai peristiwa insidental dan mengorek kehidupan personalnya, alih-alih membuat hubungan dengan fakta rencana Ita untuk bersaksi di Amerika.[6] Ita dan ibunya, Wiwin Haryono, berencana akan segera berangkat ke Amerika Serikat dengan empat korban Kerusuhan Mei 1998 lainnya sebagai bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, untuk memberikan kesaksian di Sidang PBB di hadapan Kongres Amerika Serikat tentang tragedi itu. Ita dan ibunya diketahui cukup banyak terlibat dalam memberikan konseling kepada para korban kerusuhan tersebut.[7] Berdasarkan alasan itu, Tim Relawan berpendapat bahwa peristiwa ini sesungguhnya dimaksudkan sebagai ancaman kepada mereka yang terlibat di dalam aktivitas kemanusiaan ini untuk menghentikan kegiatan mereka.[8] PeninggalanPada 13 Mei 2021, perkumpulan sosial Boen Hiang Tong di kawasan pecinan Semarang mendedikasikan sebuah sinci (papan arwah) untuk Ita Martadinata, untuk mengenang hidup dan perjuangannya.[9] Sinci Ita diletakkan di sebelah sinci yang didedikasikan untuk Gus Dur, mantan presiden Indonesia yang selama masa pemerintahan singkatnya telah mengakui, melindungi, dan menghargai kelompok etnis minoritas Tionghoa.[9] Lihat pulaReferensi
|