Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus.
K.H.Hisyam Abdul Karim (8 Agustus 1909 – 12 Januari 1989) adalah seorang ulama berkebangsaan Indonesia.
Riwayat Hidup
Hisyam Abdul Karim dilahirkan pada 8 Agustus 1909 di Kabupaten Purbalingga, Hindia Belanda, sebagai putra dari Abdul Kariem, seorang Kepala Dusun Sukarawah yang berada di Desa Kalijaran.[1][2] Hisyam Abdul Karim bin Abdul Kariem bin Irsyad bin Abdul Rohman bin Singadipa.
Pendidikan
Kiai Hisyam pernah mengenyam pendidikan formal setingkat SD, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau Europeesche Lagere School (ELS) yang masing-masing didirikan sejak 1914 dan 1917. Selain sekolah, beliau juga rajin ngaji kepada kiai di kampungnya. Kemudian beliau berguru kepada Kiai Dahlan di desa Kali Wangi Mrébét dan Kiai Zuhdi Di Pondok Leler Banyumas[3].
Kecintaan terhadap ilmu agama yang telah terpupuk sejak kecil mendorong beliau untuk pergi dari Purbalingga menuju Jampes, sebuah dusun di Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri Jawa Timur. Di tempat ini beliau berguru pada seorang ulama yang dikaruniai ilmu ladunni, yaitu Kiai Dahlan Jampes dan Kiai Ihsan al-Jampasi[4]. Selama delapan tahun di sana, keilmuan Kiai Hisyam semakin dalam terutama di bidang falak atau astronomi.
Merasa belum cukup menimba ilmu di Jampes, Kiai Hisyam melanjutkan pengembangan keilmuan agamanya dengan yantri di Pondok Pesantren Buntet Cirebon untuk mendalami ilmu qiroatul Qur'an kepada Kiai Yusuf. Selesai dari Ponpes Buntet, Kiai Hisyam melanjutkan pengembaraannya untuk memperdalam al Qur'an kepada Kiai Nuh Pager Aji Cilongok.
Ponpes Roudlotus Sholichin
Pada tahun 1927 Kiai Hisyam menikah dengan seorang gadis bernama Rumiyah putri dari seorang Carik Desa Kalijaran dan selang dua tahun berikutnya, atas restu guru-gurunya, pada 2 Februari 1929 atau Rabu kliwon, 22 Rajab 1347 Kiai Hisyam akhirnya mendirikan pondok pesantren Sukawarah yang juga dikenal dengan nama Pondok Pesantren Roudlotus Sholichin. Pada masa-masa inilah beliau mendalami Thoriqoh kepada Kiai Rifa'i Sokaraja.
Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, pondok pesantren Kalijaran atau Roudlotush Sholichin, bukan hanya menjadi tempat ngaji berbagai macam kitab karya ulama-ulama salaf, tapi juga jadi tempat untuk mengkonsolidasikan perjuangan merebut kemerdekaan sekaligus tempat pengkaderan para pejuang. Berbekal kanuragan serta kejadugan beliau, para kiai dan ribuan santri berada satu barisan dengan beliau di masa penjajahan. Namun di balik itu semua, beliau terkenal sebagai ulama yang murah senyum, lucu namun sangat dalam isi dakwahnya.
Kecintaan Kyai Hisyam terhadap bangsa, negara dan agama, juga beliau tunjukkan dalam dedikasinya di NU. Mbah Hisyam adalah Rois Syuriah pertama di PCNU Purbalingga dan tercatat sebagai Kiai yang “ngesuhi” organisasi Islam terbesar ini selama tiga periode, 1973-1975, 1975-1978, dan 1978-1983. Kiai Hisyam wafat pada Hari Kamis Kliwon 12 Januari 1989 Masehi atau 4 Jumadil Akhir 1409 Hijriyah dan mewariskan semangat perjuangan untuk agama dan bangsa yang terpatri di anak cucu dan menantu serta murid-murid beliau yang tercermin dengan hadirnya ribuan pelayat untuk memberikan penghormatan terakhir pada ayah, kakek, dan guru mereka.
Pondok pesantren Kalijaran atau Roudlotus Sholichin yang dirintis Kyai Hisyam, kini dikelola secara gotong royong oleh keturunan beliau, satu di antaranya adalah cucu beliau bernama Siti Atikoh, istri dari Ganjar Pranowo.
Karya
Terjemah Hidayatus Shibyan (Nadzom Jawa)
Irsyadul 'Awwam Fii Bayaani Diinil Islam - Jilid 1, 2 dan 3 (Nadzom Jawa)
Terjemah Khoridatul Bahiyyah (Nadzom Jawa)
Terjemah Qoshidah Burdah (Nadzom Jawa)
Terjemah Syair Khashoishul 'Asyarah (Nadzom Jawa)
Syair Tamba Ati
TAMBA ATI
Karya Mbah Hisyam 'abdulkarim
Tamba ati iku sanga ing wernane
Siji maca qur'an mikir ing maknane
Pindo aja wareg-wareg ing mangane
Telu nangis mbengi nobati dosane
Papat sregep shalat tahajud mbengine
Lima sregep ngadep para 'ulamane
Nenem ngudi halaling sandang pangane
Pitu aja kakehen omong lahane
Wolu aja kakehen rerubungane
Sanga aja nitik khabar awurane
Iki sanga lakoni sekabehane
Insya-a llaah lemes lan lembut atine
Kehidupan pribadi
Hisyam menikah dengan istri pertamanya, Rumiyah, asal Desa Kalijaran pada tahun 1927, dan dikaruniai lima orang anak.[1][5] Ia kemudian menikah untuk yang kedua kalinya dengan dan dikaruniai lima orang anak. Dengan istri pertama, ia mendirikan Pondok Pesantren Roudlotus Sholichin Sukawarah, Kalijaran Purbalinggan. Sementara dengan istri ke dua, ia mendirikan pondok pesantren Salafiyah Karangasem.[1][5] Ia merupakan kakek mertua dari Ganjar Pranowo melalui cucunya Siti Atiqoh Supriyanti.[5]