Harian Rakyat adalah sebuah surat kabar Indonesia yang diterbitkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dari tahun 1951 hingga 1965.[1] Motto Harian Rakyat adalah “Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!”. Harian Rakyat dikelola oleh Njoto sebagai anggota dewan redaksi dan Mula Naibaho sebagai pemimpin redaksi.
Sejarah
Awal mula
Harian Rakyat pertama kali terbit pada tanggal 31 Januari 1951, dan pada awalnya bernama Suara Rakyat. Pada masa kejayaannya, Harian Rakyat merupakan surat kabar politik paling populer yang pernah terbit di Indonesia, dengan sirkulasi rata-rata 23.000 eksemplar pada tahun 1950-an dan 1960-an.[2] Koran ini dijual dengan harga eceran dan langganan masing-masing Rp 0,60 dan Rp 14,5 per bulan.
Larangan
Dengan gaya konfrontatifnya, Harian Rakyat selalu menentang pihak-pihak lain dan penguasa. Karena pesannya dianggap melanggar aturan yang diberlakukan oleh pemerintah saat itu, Harian Rakyat sempat dilarang. Larangan pertama terjadi selama 23 jam, antara tanggal 13 September 1957, pukul 21.00 dan 14 September 1957, pukul 20.00. Surat kabar lainnya, seperti Indonesia Raya, Bintang Timur, Pemuda Merdeka, Djiwa Baru, Pedoman, Keng Po, dan Java-bode, serta tiga kantor berita: Antara, PIA, dan INPS juga dilarang pada periode yang sama.[3]
Larangan tersebut diulangi pada tanggal 16 Juli 1959, selama satu bulan karena surat kabar tersebut menerbitkan pernyataan CC PKI pada tanggal 3 Juli, yang berjudul “Penilaian sesudah satu tahun Kabinet Kerdja, Komposisi, tidak mendjamin pelaksanaan program 3 pasal, perlu segera diretul”. Pada tanggal 2 Agustus 1959, sebulan setelah pelarangan, Harian Rakyat kembali terbit.[4] Pada tanggal 2 November 1959, surat kabar ini kembali dilarang oleh Penguasa Perang. Kali ini, alasannya tidak begitu jelas. Hal ini menyebabkan perluasan peredaran Harian Rakyat yang dipimpin oleh petinggi PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan para aktivis PKI lainnya, langsung turun ke jalan.[4] Pada tanggal 9 Desember 1959, Harian Rakyat kembali dilarang karena memuat berita tentang “Tjeramah Njoto di gedung SBKA” yang dimuat pada 24 November 1959. Alasan pelarangan juga tidak begitu jelas, sehingga menimbulkan protes. Setelah mendapat tekanan, Harian Rakyat akhirnya diizinkan, dan terbit kembali pada tanggal 23 Desember 1959.[5] Pada tanggal 3 Februari 1961, surat kabar ini kembali dilarang di wilayah Jakarta Raya alasan pelarangan tersebut adalah pidato sambutan dari ketua PKI D.N. Aidit pada ulang tahun ke-10 Harian Rakyat. Dalam pidatonya, Aidit mengangkat masalah demokrasi dan kebebasan politik. Menurut Penguasa Perang, hal ini dapat mengganggu stabilitas politik di Indonesia.[6]
Penutupan
Setelah peristiwa Gerakan 30 September, semua harian yang terbit di Jakarta dilarang, kecuali Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang dimiliki oleh militer. Pada tanggal 3 Oktober 1965, Harian Rakjat akhirnya berhenti terbit. Tidak hanya dibubarkan, semua anggota PKI dan aktivis yang mendukung koran ini diburu, ditangkap, dipenjara, bahkan dibunuh.[7] Kata-kata terakhir dari editor kepada para pembacanya adalah “Banyak-banyak terimakasih, sekalian para pembaca!”[6]
Gaya Jurnalisme
Gaya jurnalisme yang diusung oleh Harian Rakyat adalah 'jurnalisme konfrontasi' dengan bahasa yang meledak-ledak.[8] Editorialnya bersifat konfrontatif, sehingga menimbulkan konflik dengan media lain.[8][9] Ia selalu mengambil sikap yang berani dan ofensif terhadap lawan-lawannya. Gaya bahasanya yang sederhana, lincah, dan lugas - sesuai dengan ajaran Marxisme dan Leninisme - mudah dipahami oleh para petani dan buruh yang menjadi basis dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI).[10]
Harian Rakyat dapat dipandang sebagai pembela Manifesto Politik (Manipol) Soekarno. Sementara koran-koran sayap kanan atau konservatif tidak terlalu peduli dengan manifesto tersebut, Harian Rakyat menjadi corong propaganda manifesto tersebut. Harian Rakyat tetap anti-imperialis, dan menganggap koran-koran sayap kanan telah menghina Soekarno karena tidak mendukung manifesto.[11]Harian Rakyat mengambil sikap tidak akan menerbitkan tulisan apa pun yang bertentangan dengan ide-ide revolusi.[12]
Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan (2008). Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merekasumba.
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994). Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Taufik Rahzen, dkk. (2007). Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007). Yogyakarta: I.Boekoe.
Arif Zulkifi, dkk. (2014). Seri Buku Tempo: Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.