Hanna Reitsch (29 Maret 1912 – 24 Agustus 1979) adalah pilot wanita paling populer di Jerman. Ia lahir pada tanggal 29 Maret 1912 di Hirschberg, Silesia (sekarang bernama Jelenia Góra di Polandia).
Kehidupan pribadi
Keluarganya tergolong kelas menengah atas. Reitsch memulai latihan terbangnya pada tahun 1932 di Sekolah Gliding di Grunau dan menjalankan karier pilotnya sampai ia bergabung dengan Luftwaffe pada bulan September 1937.
Di Luftwaffe, Reitsch mengetes pesawat Junkers Ju 87 Stuka dan Dornier Do 17. Dengan prestasinya tersebut, ia mendapatkan medali Iron Cross Second Class dari Hitler pada 28 Maret 1941.[1]:166, 170–171 Reitsch juga merupakan pilot wanita pertama yang menjadi pilot helikopter,[2]:119–123 Reitsch adalah salah satu dari sedikit pilot yang mengendarai helikopter kendali penuh pertama di dunia, Focke-Achgelis Fa 61.[2]:123 Dengan ini, ia mendapatkan Military Flying Medal. Prestasi-prestasi yang dicetak olehnya dan skill pilotnya membuatnya menjadi bintang propaganda Nazi.
Reitsch diminta untuk mencoba pesawat-pesawat keluaran terbaru Jerman pada Perang Dunia 2. Salah satu pesawat yang Reitsch coba adalah pesawat tempur jet Me 163 Komet pada tahun 1942. Namun dalam tes kelima nya, ia mengalami crash landing dan harus dirawat di rumah sakit selama 5 bulan. Selanjutnya, Reitsch mendapatkan medali Iron Cross First Class karena insiden tersebut.
Karier militer
Pada tanggal 28 Februari 1944, Reitsch menyampaikan idenya untuk operasi bunuh diri untuk Hitler di Berchtesgaden. Operasi ini membutuhkan "Seorang lelaki yang rela berkorban untuk menyelamatkan negaranya". Hitler menyetujuinya dan projek ini diserahkan kepada Jenderal Günther Korten. 70 sukarelawan telah dikumpulkan untuk menjadi pilot bom glider manusia.[2]:193 Setelah itu ia didatangi oleh SS-Obersturmbannführer Otto Skorzeny dan dibentuklah Skuadron Leonidas. Mereka memodifikasi bom terbang V-1 agar dapat dikendalikan dan dinaiki oleh manusia. Bom V-1 dimodifikasi memiliki 1 atau 2 tempat duduk dan tidak memiliki mekanisme untuk mendarat. Namun projek ini tidak pernah masuk ke masa operasional dan "momen menentukan sudah terlewatkan".[2]:198
Pada hari-hari terakhir Hitler, Greim diangkat sebagai pemimpin Luftwaffe yang baru karena Goering dianggap berkhianat. Greim dan Reitsch datang ke Fuhrerbunker untuk menemui Hitler dengan datang menggunakan pesawat yang mendarat di landasan pacu darurat yang dibuat di dekat Gerbang Bramdenburg, Mereka datang pada tanggal 26 April 1945, dimana pasukan Soviet sudah menguasai pusat kota Berlin. Setelah bertemu Hitler, Greim dan Reitsch diberikan masing-masing satu kapsul sianida untuk bunuh diri jika perlu, dan Reitsch menerimanya. Setelah itu mereka pergi menggunakan pesawatnya tadi dan terbang melalui landasan pacu darurat yang sama. Greim memerintahkan agar Luftwaffe menyerang pasukan Soviet di Potsdamer Platz dan memastikan Himmler agar dihukum karena melakukan negosiasi tidak resmi dengan Sekutu Barat. Karena takut Hitler melarikan diri dengan pesawat yang dipiloti oleh Reitsch, pasukan Soviet mencoba menembak jatuh pesawat itu, tetapi gagal menembak jatuhnya dan pesawat berhasil lepas landas.
Setelah itu, Reitsch bersama Greim ditangkap oleh Sekutu dan diwawancarai oleh opsir intelejen Amerika. Reitsch ditahan selama 8 bulan dan Greim bunuh diri. Sementara itu, nasib keluarga Reitsch sungguh tragis, ketika keluarganya mendengar rumor bahwa para pengungsi akan dipindahkan ke rumah aslinya, sebagian dari para pengungsi takut karena rumah mereka ada di wilayah pendudukan Soviet. Maka dari itu, ayah Reitsch bunuh diri setelah membunuh semua anggota keluarganya yang ada bersama dia pada saat itu. Setelah perang, pada tahun 1960 Reitsch mendirikan sekolah gliding di Ghana, tempat dimana ia bekerja untuk Kwame Nkrumah.[3] Setelah perang Reitsch melanjutkan kariernya sebagai penerbang dan berhasil mencetak prestasi-prestasi seputar penerbangan lagi.
Wawancara terakhir
Dalam wawancara pada tahun 1970 yang dilakukan oleh fotografer-jurnalis Yahudi asal Amerika yang bernama Ron Laytner. Reitsch mengemukakan bahwa walaupun tentara besar Jerman menjadi lunak, ia tidak pernah malu untuk mengatakan tentang kepercayaannya dengan Nazi. Ia juga masih memakai medali Iron Cross yang diberikan oleh Adolf Hitler. Reitsch mengatakan bahwa di Jerman sudah tidak ada lagi orang yang ditemukan memilih Hitler. Reitsch meninggal karena serangan jantung pada umur 67 tahun tanggal 27 Agustus 1979 sebagai seorang lajang.[4][5] Ada spekulasi bahwa kematiannya bukan dikarenakan serangan jantung, tetapi karena ia bunuh diri menggunakan kapsul sianida yang diberikan Hitler sebelumnya. Namun, otopsi tidak dilakukan, atau lebih tepatnya tidak ada laporan mengenai pemeriksaan jasadnya.[6]
Buku karangan Hanna Reitsch
Fliegen, mein Leben. 4th ed. Munich: Herbig, 2001. ISBN3-7766-2197-4 (Otobiografi)
Ich flog in Afrika für Nkrumahs Ghana. 2nd ed. Munich: Herbig, 1979. ISBN3-7766-0929-X (judul asli: Ich flog für Kwame Nkrumah).
Das Unzerstörbare in meinem Leben. 7th ed. Munich: Herbig, 1992. ISBN3-7766-0975-3.
Höhen und Tiefen. 1945 bis zur Gegenwart. Munich: Heyne, 1984. ISBN3-453-01963-6.
Höhen und Tiefen. 1945 bis zur Gegenwart. 2nd expanded ed. Munich/Berlin: Herbig, 1978. ISBN3-7766-0890-0.
Dalam kultor populer
Reitsch telah diperankan oleh aktris berikut ini dalam berbagai film dan acara televisi.
^"Hanna Reitsch, Test Pilot for Hitler". Washington Post. 1 September 1974. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-20. Diakses tanggal 7 July 2008. Aviation pioneer Hanna Reitsch, 67, who flew the last plane out of burning Berlin before the fall of the Nazis in 1945, died Aug. 24, the West Germany radio has reported.
^Eric Brown's Book "Wings On My Sleeve – The World's Greatest Test Pilot Tells His Story", pp. 113–114