Global Asia Prima Coalindo Mining
PT Global Asia Prima Coalindo Mining (disingkat GAPCO) adalah nama dari sebuah perusahaan tambang batubara yang berlokasi di Palangkaraya, Kabupaten Barito Utara (Barut), Kalimantan Tengah.[1] Daerah operasi termasuk Muara Teweh dan Buntok, Kalimantan Tengah serta Samboja, Kalimantan Timur.[2] Perusahaan ini berafiliasi dengan Global Asia Pasific Corporation dan mulai beroperasi di Barito Utara pada tahun 2005 saat mendapatkan izin Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi batubara pada sekitar areal dengan luas sekitar 3.858 hektare di wilayah Desa Lemo I, Dusun Tangocin, Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara pada izin tahap satu melalui Surat Keputusan (SK) Pemerintah Provinsi.[3][4][5] Izin pada tahun 2005 berlaku dalam jangka waktu dua tahun, dan diperpanjang dengan izin pada tahun 2007 yang berlaku selama setahun hingga 8 Agustus 2008.[5] Namun pada tahun 2008 perusahaan ini gagal mendapatkan izin eksplorasi dan tanahnya kini digarap oleh PT Yastra Energi.[4] KontroversiIzinPada 3 Maret 2006 dilayangkan surat dari Dr Ir Simon F Sembiring yang saat itu menjabat sebagai Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi untuk mencabut Keputusan Bupati Barut Nomor 188.45/389/2005 tanggal 22 September tentang pemberian izin PT Gapco karena wilayah Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B) eksplorasi dinilai tumpang tindih dengan perjanjian untuk PT Asmin yang ditandatangani 31 Mei 1999 dan dengan PT SMM 20 November 1997.[5] Berdasarkan keterangan dari Gubernur Kalteng A Teras Narang wewenang pengalihan mengenai penciutan wilayah, perubahan pemegang saham, tahapan kegiatan, dan pengakhiran perjanjian (terminasi) masih berada pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Pemprov Kalteng tak dapat mendukung kebijakan menerbitkan KP kepada PT Gapco.[5] Sehingga SK pemberian KP kepada PT Gapco, oleh A Teras Narang diminta untuk ditinjau kembali.[5] Sementara Pius Ginting dari Walhi mengatakan bahwa perusahaan perusahaan tambang ini telah melanggar UU No. 4/2009 mengenai mineral dan tambang batu bara yang menyebutkan bahwa perusahaan tambang harus mempertimbangkan aspirasi komunitas lokal.[4] Ia meminta meminta Komnas HAM menyelidiki pelanggaran hak azasi manusia.[4] PembunuhanPada tahun 2007 Manager Operasional PT Gapco, Diro Kushartato, ditusuk dibagian dadanya oleh dua orang tidak dikenal di Jalan Sengaji Hulu Muara Teweh, dan meninggal dunia saat dilarikan ke RSUD Muara Teweh.[6][7] Perusahaan ini secara terbuka menawarkan uang hadiah sebesar 1 juta rupiah bagi warga yang dapat memberi informasi pembunuh pegawainya tersebut, dan 25 juta rupiah bagi informan yang mengenal pelaku hingga siap menjadi saksi di pengadilan.[6] Menurut keterangan polisi motif dari pembunuhan korban berkaitan dengan aktivitas perusahaan selama ini di daerah Muara Teweh, Barito Utara.[6] Situs resmi perusahaan memuat foto foto korban sebagai kenangan.[8] Masalah tanahPada bulan Februari 2013, Menang Jaya, penduduk di Barito Utara yang mengaku menjadi bagian dari Komunitas Dayak datang ke Jakarta untuk mencari perlindungan dari Komnas HAM terkait masalah tanah dengan beberapa perusahaan batubara.[4] Menang sendiri dipenjara selama enam bulan saat melakukan protes dengan penduduk di bulan Juni 2012 dan protes pecah menjadi konflik dengan penduduk lain yang mendukun perusahaan.[4] Menang mengklaim sejak tahun 2005 perusahaan ini telah beroperasi tanpa izin pemilik tanah dan tidak membayar kompensasi padanya, menurutnya tanah keluarganya tereksplorasi sebanyak 200 hektare.[4] Padahal PT Gapco telah berjanji untuk membayar kompensasi, tetapi tidak dipenuhi karena gagal mendapatkan izin pada tahun 2008 .[4] Masyarakat Barut pun mempertanyakan izin PT Gapco [5] Rujukan
Pranala luar |