GE Aerospace, dulunya GE Aviation, adalah sebuah anak perusahaan dari General Electric yang berkantor pusat di Evendale, Ohio (suatu daerah dipinggiran Cincinnati). GE Aviation merupakan pemasok atas mesin pesawat di dunia dan menawarkan mesin untuk sebagian besar pesawat komersial. GE Aviation merupakan bagian dari GE Technology Infrastructure, perusahaan itu sendiri merupakan bagian utama dari konglomerat General Electric, salah satu perusahaan terbesar di dunia. Divisi ini dioperasikan dengan nama General Electric Aircraft Engines atau GEAE sampai September 2005.
General Electric telah memiliki sejarah panjang dalam produksi turbin uap, tercatat mulai awal dekade 1900an. Pada tahun 1903, GE mempekerjakan Sanford Alexander Moss, yang pada saat itu sedang memulai pengembangan turbocharger. Hal ini pun nantinya mengarah pada beberapa penerbangan bersejarah dalam 10 tahun kedepan. Penggunaan turbocharger awalnya sangat terbatas, namun setelah Perang Dunia II, turbocharger pun menjadi peralatan wajib di semua pesawat militer. Saat perusahaan lain berkonsentrasi membuat supercharger sederhana, yang dikendalikan oleh mesin itu sendiri, GE menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mengembangkan supercharger yang dikendalikan oleh aliran udara, dan tentu saja menghasilkan performa yang lebih baik.
Ini membuat GE menjadi mitra ideal dalam mengembangkan mesin jet, termasuk saat mesin jet W.1 buatan Frank Whittle didemonstrasikan ke Hap Arnold pada tahun 1941.[6] Di mana akhirnya lisensi produksi resmi dikeluarkan pada bulan September, dan beberapa mesin jet W.1 yang telah ada, dikirim ke pemerintah A.S. untuk dipelajari, dan akhirnya dijual ke A.S dengan nama I-A. GE dengan segera memproduksi versi terbaru dari I-A, dengan meluncurkan I-16, yang diproduksi secara terbatas mulai tahun 1942, serta I-40 yang diluncurkan pada tahun 1944, yang akhirnya dipilih menjadi mesin jet untuk P-80 Shooting Star, pesawat tempur pertama Amerika Serikat.
Awalnya, produksi mesin jet dilakukan di pabrik Syracuse, New York (turbin uap) dan Lynn, Massachusetts (supercharger), tetapi tidak lama, semua produksi lebih difokuskan di pabrik Lynn, dan pabrik Syracuse nantinya akan ditutup.[7] Pada tanggal 31 Juli 1945, pabrik Lynn menjadi divisi "Aircraft Gas Turbine". GE juga tercatat telah berulang kali gagal mengirimkan mesin jet ke Angkatan Laut dan Udara A.S sesuai jadwal. Sehingga produksi mesin jet I-40 (sekarang dikenal sebagai J33) diserahkan oleh GE ke Allison Engines, pada tahun 1944.[8]
Ekspansi ke Militer dan Sipil
Keterlambatan pengiriman ini mengarah ke debat internal mengenai masa depan GE di bisnis mesin pesawat. Walaupun begitu, insinyur di pabrik Lynn tetap melanjutkan pengembangan mesin baru, TG-180, yang nantinya lebih dikenal dengan nama J35.
Pada tahun 1946, GE kembali mengalokasikan dana untuk mengembangkan versi lebih besar dari TG-180, dengan nama TG-190 (nantinya lebih dikenal dengan nama General Electric J47), yang banyak mendapat pesanan dari beberapa negara, sehingga pabrik kedua resmi dibuka di dekat Cincinnati. Tercatat, lebih dari 30.000 unit J47 berhasil diproduksi hingga tahun 1956. Pada tahun 1957, J47 dikembangkan lebih lanjut oleh Patrick Clarke dan akhirnya menghasilkan J73, serta J79. J79 pun menjadi produk paling laris dan total 17.000 unit J79 berhasil diproduksi oleh GE di pabrik-pabriknya di seluruh dunia. GE dan Lockheed yang saat itu berhasil mengembangkan mesin jet J79 dan pesawat tempur F-104 Mach 2, pun menerima Collier Trophy tahun 1958, untuk "pencapaian teknik luar biasa dalam dunia dirgantara ". Kesuksesan GE lainnya dalam memproduksi mesin jet, antara lain T58, T64, J85, F404.
Pada tahun 1964, mesin jet TF39,[9] mengikuti lelang mesin untuk pesawat C-5 Galaxy, melawan mesin lain buatan Curtiss-Wright dan Pratt & Whitney, dan hasilnya TF39 dipilih sebagai pemenang lelang tersebut pada tahun 1965. Inipun mengarah pada pembuatan versi sipil dari TF39, yakni CF6,[10] yang ditawarkan untuk pesawat Lockheed L-1011 dan McDonnell Douglas DC-10. Walaupun nantinya Lockheed mengganti mesinnya ke Rolls-Royce RB211, DC-10 tetap menggunakan mesin CF6.
Kesuksesan GE lainnya adalah saat GE dipilih untuk memasok mesin pesawat S-3 Viking dan Fairchild Republic A-10 Thunderbolt II, dan akhirnya menghasilkan TF34 yang nantinya dikenal dengan nama CF34, yang sampai sekarang masih banyak digunakan oleh maskapai-maskapai lokal di seluruh dunia.[11]
Pada awal dekade 1970an, GE juga dipilih untuk mengembangkan mesin helikopter, yang akhirnya menghasilkan T700, yang telah dikembangkan lebih jauh menjadi CT7.
Kemitraan
Pada tahun 1974, GE membuat perjanjian dengan Snecma, untuk membentuk CFM International, yang tujuannya memproduksi mesin pesawat berukuran sedang (nantinya dikenal sebagai CFM56). Pabrik baru pun dibangun di [12]Evendale, Ohio untuk memproduksi CFM56 ini. Awalnya penjualan mesin ini sangat sulit, hingga muncul wacana pembatalan produksi. Tapi akhirnya pada bulan Maret 1979, beberapa maskapai mulai memesan mesin CFM56 ini untuk menggantikan mesin jet di pesawat Douglas DC-8 milik mereka.[13] Hingga bulan Juli 2010, CFM International tercatat telah mengirimkan 21.000 unit mesin CFM56, dengan rata-rata produksi sebanyak 1.250 per tahun.[14]