Usia lanjut, luka dalam, cedera parah (mis. riwayat operasi saraf, pendarahan di bagian tengkorak, pergeseran garis tengah lebih dari 5mm, durasi koma >24 jam, kehilangan kesadaran >24 jam, amnesia pasca-trauma yang berlangsung dalam jangka waktu panjang), biparietal atau luka-luka memar, dan frontal atau lokasi sementara dari lesi[1]
Aspek klinis
Gejala dan tanda
Tatapan kosong dan tidak responsif; tubuh, kaki, tangan, atau kepala kaku atau bergetar; mendengar suara aneh; mengecap rasa aneh; melihat, merasakan, atau membau hal tidak nyata; ketidakmampuan berbicara atau memahami perkataan[2]
Obat anti-kejang (mis. phenytoin) Pengobatan profilaksis dengan antiepileptic drugs (AEDs)[3]
Epilepsi pascatrauma (atau juga biasa disingkat PTE dari Bahasa Inggrisnya Post Traumatic Epilepsy) adalah salah satu bentuk epilepsi yang disebabkan oleh kerusakan otak karena adanya trauma fisik pada bagian otak atau yang biasa disebut cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury atau TBI). Sekitar 5% dari epilepsi dan 20% dari epilepsi terstruktur termasuk ke dalam kategori PTE. PTE juga merupakan penyebab epilepsi onset baru paling umum di kalangan orang dewasa yang masih berusia muda.[1]
Klasifikasi
Kejang yang muncul setelah terjadinya cedera otak dikenal sebagai kejang pascatrauma (post-traumatic seizures atau PTS). Namun tidak semua kasus PTS akan berlanjut pada PTE, karena PTE adalah kondisi kejang yang kronis.[4][5] PTE berbeda dari kejang pascatrauma non-epilepsi berdasarkan waktu terjadinya kejang. PTE terjadi sekitar seminggu setelah seseorang mengalami trauma fisik.[6] Kejang yang terjadi dalam jangka seminggu setelah seseorang mengalami trauma fisik merupakan akibat langsung dari luka, sementara PTE terjadi tanpa adanya sebab atau pemicu secara khusus.[7]
Penyebab
Belum diketahui pasti apa yang menyebabkan beberapa pasien dengan cedera otak menderita PTE, namun ada pasien yang tidak. Namun, berbagai faktor diduga mempengaruhi seperti tingkat keparahan dan tipe cedera, ada atau tidaknya kejang selama seminggu pertama, dan faktor genetik.[5]
Faktor genetik
Faktor genetik diduga mempengaruhi terjadinya PTE. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa 47,7% pasien dengan cedera otak yang memiliki genotipe CT IL-1β rs1143634 dan 19,2% pasien dengan genotipe CT A1AR rs10920573 menderita PTE.[9] Meski begitu, penelitian juga menemukan bahwa orang yang memiliki anggota keluarga penderita PTE tidak meningkatkan risiko dirinya terkena PTE, hal itu membuktikan bahwa faktor genetik bukanlah faktor pengaruh yang kuat.[5]
Tingkat keparahan cedera
Semakin parah trauma fisik otak yang dialami seseorang akan semakin besar kemungkinan orang tersebut akan menderita PTE.[10] Bukti-bukti menunjukkan bahwa orang dengan cedera otak yang tergolong ringan jarang menderita PTE, sementara banyak orang dengan cedera otak berat yang menderita PTE.[11] Penelitian menunjukkan bahwa risiko 30-tahun untuk seorang pasien menderita PTE adalah 2,1% untuk penderita cedera ringan, 4,2% untuk penderita cedera sedang, dan 16,7% untuk cedera berat (dapat dilihat di diagram di bagian awal subbab).[8][12]
Tipe cedera
Tipe dari cedera otak yang dialami juga mempengaruhi terjadinya PTE. Pasien yang menderita penekanan fraktur tengkorak, trauma kepala dalam, kejang awal (kejang yang terjadi dalam jangka waktu seminggu setelah trauma), dan luka intraserebral dan subdural karena adanya TBI, lebih besar kemungkinannya menderita PTE. Penelitian membuktikan bahwa 30% pasian penderita hal-hal tersebut juga menderita PTE.[10] Lebih khusunya, sekitar 50% pasien penderita trauma kepala dalam juga menderita PTE.[13][11]
Kejang pascatrauma
Risiko orang terkena PTE meningkat jika orang tersebut pernah menderita PTS sebelumnya.[11] Hal itu disebabkan kebanyakan faktor risiko pebyebab PTE dan PTS sama.[14] Meski begitu, penelitian mengatakan bahwa meski tidak memandang kesamaan faktor-faktor risiko penyebab tersebut, PTS dapat meningkatkan risiko terkena PTE sebesar 25%.[15]
Pengobatan
Obat antiepilepsi (AED) biasanya diberikan kepada pasien dengan gejala kejang.[12] Namun, obat-obat tersebut hanya mengobati saat terjadi kejang dan tidak mengurangi frekuensi sang pasien menderita epilepsi ketika berhenti mengkonsumsi obat tersebut (hanya penyembuhan sesaat).[16] AEDs seperti karbamazepin dan valproate adalah yang paling umum digunakan dalam pengobatan PTE; fenitoin terkadang juga digunakan namun dapat meningkatkan efek samping seperti pikiran yang terganggu.[17] Obat-obat lain yang umum digunakan adalah clonazepam, fenobarbital, primidon, gabapentin, dan ethosuximida.[4] Untuk pasien yang sudah tidak bisa ditangani melalui obat-obatan dapat melakukan operasi untuk membuang bagian otak yang menyebabkan terjadi epilepsi.[17] Namun operasi untuk penderita epilepsi tipe PTE biasanya lebih sulit[17] dan biasanya tidak akan terlalu berpengaruh pada kondisi penderita (tidak membaik).[13]
^Evaristo Montalvo MD; Selim R. Benbadis MD (4 Juni 2014). "Understanding Post-traumatic Epilepsy" (dalam bahasa Inggris). Epilepsy Foundation. Diakses tanggal 1 Februari 2020.
^ abDing K, Gupta PK, Diaz-Arrastia R. (2016). Chapter 14: Epilepsy after Traumatic Brain Injury (dalam bahasa Inggris). CRC Press/Taylor and Francis Group, Boca Raton (FL).Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^ abAnnegers JF, Hauser WA, Coan SP, Rocca WA (Januari 1998). "A population-based study of seizures after traumatic brain injuries". New England Journal of Medicine. 338 (1): 20–4. doi:10.1056/NEJM199801013380104. PMID9414327.
^ ab
Pitkänen A, McIntosh TK (2006). "Animal models of post-traumatic epilepsy". Journal of Neurotrauma. 23 (2): 241–261. doi:10.1089/neu.2006.23.241. PMID16503807.
^ ab
Agrawal A, Timothy J, Pandit L, Manju M (2006). "Post-traumatic epilepsy: An overview". Clinical Neurology and Neurosurgery. 108 (5): 433–439. doi:10.1016/j.clineuro.2005.09.001. PMID16225987.