Eko Pece yang memiliki nama asli Eko Supriyanto (lahir 26 November 1970)[1] adalah penari, koreografer, dan dosen berkebangsaan Indonesia. Namanya mulai dikenal secara internasional saat ditunjuk oleh penyanyi Madonna untuk menjadi penata tari untuk 268 kali konsernya di berbagai negara. Pertunjukan Lion King di Teater BroadwayNew York, Amerika Serikat juga tak lepas dari sentuhan karyanya. Eko juga terlibat sebagai penata tari untuk ajang Miss World yang diselenggarakan di Bali (2013) dan Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta dan Palembang.[2]
Latar belakang
Eko Supriyanto lahir di Astambul, Kalimantan Selatan, 26November1970, tetapi dibesarkan di Magelang, Jawa Tengah. Darah seni mengalir dari kakeknya, Djojoprayitno, penari wayang orang Sri Wedari (Solo) 1960-an. Usia 7 tahun, Eko belajar silat dan tari Jawa dari kakeknya dan ketika kakeknya meninggal, ia melanjutkan belajar dari 2 guru tari setempat: Kahari dan Alit Maryono. Di bangku SMP, Eko mulai belajar tari rakyat Kuda Lumping dan Kubro Siswo.[3]
Eko masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI 1990-1997) Surakarta mendalami tari Jawa dengan S. Maridi dan S. Ngaliman, belajar tari-tarian daerah lain dan koreografi antara lain, dari Soenarno dan S. Pamardi. Di luar kampus, ia berguru ke Suprapto Suryodarmo dan Sardono W. Kusumo. Dia aktif membuat koreografi sejak mahasiswa. Dua kali ia tampil dalam Indonesian Dance Festival (IDF) dengan Lah (1994) dan Leleh (1996) yang mengantarkannya ke American Dance Festival (ADF 1997) di Durham, North Carolina dan Asia Pacific Performance Exchange (APPEX 1997) di Los Angeles, Amerika Serikat. Kemudian Eko melanjutkan kuliah di Department World Arts and Culture di University of California, Los Angeles (UCLA), California (1998-2001).
Di UCLA, Eko belajar teknik tari modern, improvisasi, dan koreografi dari David Rousseve, Simone Forti, Victoria Marks, dan Angelia Leung. Di samping itu ia aktif terlibat dalam APPEX (1999, 2001) berkolaborasi dengan seniman dari berbagai wilayah Asia dan Amerika Serikat. Di Los Angeles pula Eko bertemu dengan sutradara opera Peter Sellars yang melibatkannya sebagai penari dan koreografer dalam Le Grand Macabre (1998) yang dipentaskan di Chatelet Theatre di Paris dan Covent Garden, London (1999). Eko juga pernah menjadi penari penyanyi pop Amerika Serikat, Madonna dalam Madonna’s “Drowned World” Tour (2001) ke Eropa dan Amerika Serikat.[4]
Karier
Usai menyelesaikan studi Master of Fine Arts dari University of California, Los Angeles (UCLA), Eko kembali ke tanah air dan terlibat sebagai penari Opera Diponegoro (2002) Sardono W. Kusumo; menari dalam Shakti (2002) karya Maxine Haepner (Kanada) di Teater Utan Kayu, Jakarta, tampil di Pasar Tari Kontemporer (Pekanbaru, Riau), dan Asian Contemporary Dance Festival (Osaka). Tahun 2003, Eko mendirikan Solo Dance Studio dan berkarya bagi almamaternya: Prang Buta (2003) untuk Festival Seni Surabaya. Tahun yang sama ia tampil di Festival Kesenian Yogyakarta, dan lagi dalam opera Peter Sellars Love Cloud (2003) untuk Theatro Picolo, di Venezia, Italia.
Tahun 2004, Eko menggarap Dhaup untuk STSI Surakarta; 2005 menerima Hibah Seni Kelola untuk menggarap Opera Ronggeng dan terlibat sebagai penari dan penata tari dalam film-tari Garin Nugroho bertajuk Opera Jawa (2005) yang tahun 2008 ditata kembali sebagai pertunjukan panggung (Iron Bed) untuk pentas di Theatre Spectacle, Zurich. Tahun 2006, Eko terlibat kembali dalam produksi opera Peter Sellars Flowering Tree (2006) yang dipentaskan perdana di Wina, Austria untuk New Crowned Hope Festival memperingati 250 tahun Mozart. Tahun 2008, Eko menjadi koreografer film-tari Garin Nugroho lainnya, Generasi Biru, yang menampilkan band rock Indonesia Slank. Tahun 2009 diundang sebagai “artist in residence” MAU Forum di Auckland, Selandia Baru dan tampil sebagai penari dalam The Tempest karya Lemi Ponifasio.