Dustira Prawiraamidjaya
Mayor Dustira Prawiraamidjaya (25 Juli 1915 – 17 Maret 1946) adalah seorang dokter militer yang bertugas di resimen 9 divisi siliwangi berpangkat Mayor. Dia merupakan seorang anak dari keluarga ningrat, ayahnya bernama Raden S. Prawiraamidjaya.[butuh rujukan] KarierMengawali pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, lalu melanjutkan sekolahnya di Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung). Kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta yaitu Geneeskundige Hogeschool atau Ika Daigaku pada zaman penjajahan Jepang.[1] Pada 1945, ketika terjadi revolusi di Surabaya pada 10 November, semua mahasiswa tingkat akhir, termasuk Dustira bertekad turut berjuang tetapi tidak diijinkan oleh tentara. Para mahasiswa Ika Daigaku dibolehkan ikut berperang dengan catatan mengikuti pelatihan terlebih dahulu selama 2 minggu di Tasikmalaya. Setelah 2 minggu digembleng dalam pendidikan, Dustira ditugaskan membantu keamanan di sisi Siliwangi (sekarang menjadi Kodam Siliwangi) oleh Badan Keamanan Rakyat. Dia ditugaskan di front Padalarang, Cililin dan Batujajar.[butuh rujukan] Pertempuran terus berlangsung pasca kemerdekaan, karena sekutu menginginkan kembali lagi menguasai Indonesia. Saat ini dengan segala keterbatasan persediaan obat dan peralatan Dustira yang telah lulus menjadi dokter sekuat tenaga berusaha membantu. Selain membantu para korban perang, pada Maret 1946 terjadi kecelakaan kereta api yang menewaskan ratusan jiwa. Dustira yang mengalami kelelahan dan terpukul dengan banyaknya korban. Sedangkan ia sendiri tidak dapat menolong dengan optimal karena keterbatasan dalam suasana perang. "Dalam kondisi tersebut, Dustira jatuh sakit dan dirawat di RS. Immanuel Bandung, tetapi akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia pada 17 Maret 1946. Dia dimakamkan di Astana Anyar dan pada tahun 1973 makamnya dipindahkan ke Cikutra.[butuh rujukan] ReferensiPranala luar
|