DialitaDialita adalah sebuah kelompok paduan suara Indonesia berbasis di Jakarta yang terbentuk tahun 2011.[1] Anggota paduan suara ini terdiri dari perempuan yang keluarganya pernah menjadi tahanan politik pada masa Orde Baru, serta termasuk pula tahanan politik dari masa itu.[2] SejarahGagasan awal untuk membentuk Dialita timbul pada tahun 2011. Uchikowati Fauzia, pimpinan kelompok paduan suara ini sekarang, saat itu sedang membantu rekan-rekannya sesama tahanan politik pasca kejadian G30S yang sedang dalam kesusahan. Mereka kemudian mengalami kesulitan finansial, dan kemudian ide untuk membuat kelompok paduan suara ini muncul ketika mereka sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga sambil bersenandung.[2] Kelompok ibu-ibu ini kemudian mengajak Martin Lapanguli, seorang lulusan sekolah musik di Yogyakarta yang pernah dibuang ke Pulau Buru, untuk melatih mereka bernyanyi.[1] Pada awalnya, kelompok ini hanya menyanyikan lagu-lagu nasional dan lagu daerah. Satu tahun kemudian, Dialita menyajikan lagu-lagu yang pernah hidup di penjara-penjara dan diciptakan oleh para tahanan politik. Berbagai lagu yang muncul di penjara ini dinyanyikan dan tidak pernah ditulis. Utati dan Mudjiati, dua anggota paduan suara, berjasa mengumpulkan arsip dokumentasi dan penulisan ulang lagu-lagu penjara tersebut.[2] Perkembangan musikPerkembangan musik Dialita sangat dipengaruhi oleh komposisi para penyanyinya. Seluruh anggotanya merupakan perempuan. Kebanyakan anggotanya adalah perempuan yang keluarganya pernah menjadi tahanan politik pada masa Orde Baru, sementara dua di antara mereka, Utati dan Mudjiati, pernah turut dipenjara di Bukit Duri bersama Pramoedya Ananta Toer.[2] Dalam lagu-lagunya, Dialita cenderung bersikap kritis terhadap imperialisme dan kolonialisme. Hal ini ditunjukkan antara lain melalui kegemaran mereka membawakan lagu berjudul Viva Ganefo, yang ditulis oleh Asmono Martodipoero. Uchikowati sendiri mengakui bahwa kegemaran menyanyi lagu ini berasal setelah mengetahui bahwa arti lagu berbahasa Spanyol ini mengandung "... perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme".[2] Latihan bernyanyi mereka dibantu oleh Martin Lapanguli, seorang lulusan sekolah musik asal Yogyakarta yang pernah turut diasingkan ke Pulau Buru.[1] Aransemen untuk lagu-lagu Dialita banyak dibantu oleh sejumlah musisi seperti Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Leilani Hermiasih (Frau), Nadya Hatta, Sisir Tanah, serta Keroncongan Agawe Santosa.[3][4] DiskografiAlbum pertama Dialita diberi judul Dunia Milik Kita dirilis pada tahun 2016 sebagai hasil dari kolaborasi antara Indonesian Visual Art Archive, netlabel Yes No Wave, Kedai Kebun Forum, serta Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Manusia (Pusdema) Sanata Dharma. Album ini berisi 10 lagu:[3]
PenerimaanPada bulan Mei 2019, Dialita menerima Penghargaan Hak Asasi Manusia Gwangju dari Yayasan Memorial 18 Mei di Korea Selatan. Lim Seon-suk, ketua dari yayasan tersebut, menyatakan bahwa lagu-lagu Dialita "...menyampaikan pesan kedamaian dan solidaritas, dengan harapan bahwa pesan tersebut mampu mengajarkan masyarakat tentang masa lalunya, terutama generasi muda."[5] LegasiDialita menjadi subjek utama dalam film dokumenter Rising From Silence (2016) karya Shalahuddin Siregar. Kelompok ini juga menjadi subjek tambahan dalam film Shalahuddin yang lain berjudul Song for My Children.[6] Rising From Silence memenangkan Piala Citra pada tahun 2016 untuk kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik serta kategori Best Short Documentary dalam Freedom Film Festival tahun 2018.[7][8] Referensi
|