Delik aduan

Dalam hukum Indonesia, delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban. Maka dari itu, polisi tidak dapat berinisiatif untuk menindaklanjuti suatu kasus seperti dalam delik biasa, dan dalam delik aduan korban dapat mencabut laporannya jika permasalahan berhasil diselesaikan tanpa menempuh jalur hukum.

Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut adalah delik yang hanya dapat diproses jika ada pengaduan. Contohnya tertera dalam Pasal 284, 287, 293, 310, 332, 322, dan 369 KUHP. Dalam kasus ini, semua pihak yang terkait dengan kasusnya harus dituntut. Contohnya, dalam kasus pasal 284 mengenai perzinahan, apabila seorang istri mendapati suaminya berselingkuh, ia tidak dapat hanya menuntut selingkuhannya saja, tetapi suaminya juga harus ditindak dan harus dilaporkan oleh orang yang bersangkutan (tidak dapat diwakilkan).[1] Sementara itu, delik aduan relatif merupakan delik yang biasanya tidak menjadi delik aduan, tetapi dapat menjadi delik aduan jika dilaporkan oleh orang lain seperti yang ditetapkan dalam Pasal 367 KUHP. Pasal-pasal yang merupakan delik aduan relatif di dalam KUHP adalah Pasal 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam kasus ini, orang yang bersalah dapat dituntut secara selektif dan tidak semuanya harus dilaporkan serta dapat dilaporkan oleh siapapun, tidak harus oleh korbannya.[1]

Pengaduan hanya dapat diajukan dalam waktu enam bulan semenjak pelapor mengetahui bahwa kejahatan telah terjadi, atau dalam waktu sembilan bulan apabila ia tinggal di luar Indonesia (seperti yang diatur oleh Pasal 74 ayat 1 KUHP). Pasal 75 KUHP juga menyatakan bahwa pengaduan dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah pengajuan aduan. Pengaduan yang telah dicabut pada umumnya tidak dapat diajukan lagi.

Catatan kaki

  1. ^ a b Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut?, dari situs hukumonline.com, diakses 4 Januari 2018.