Danau MawangDanau Mawang adalah sebuah danau terbesar yang berada di Kabupaten Gowa, Secara administratif Danau Mawang terletak di wilayah Kelurahan Borongloe Kecamatan Somba Opu dengan luas danau ±2,99 km² ditambah daratan sepanjang tepian danau yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau antara 50–100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat sehingga total luas kawasan adalah +12,4 km².[1] Mawang merupakan kata dari bahasa daerah Makassar yang berarti "Terapung”. Danau Mawang memiliki tanggul yang biasanya dijadikan masyarakat sebagai tempat untuk menikmati sunset dan sunrise. Di kawasan Danau Mawang pada sore hari dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk menjala dan memancing. Tidak hanya itu di pagi dan sore hari banyak penduduk yang melakukan olahraga joging menelusuri pinggiran danau. Danau ini dikelilingi banyak pohon rindang sehingga suasananya sanagat sejuk. Untuk menemukan Danau mawang anda bisa melewati beberapa jalur yang pertama jalan poros M. Yasin Limpo, sebelum kampus UIN Alauddin belok kanan ke jalan Maccanda kemudian susuri hingga mendapatkan pertigaan dan belok kiri, Danau Mawang pun bisa diakses dari Sungguminasa kemudian menelusuri jalan Poros Malino, setelah melewati lapangan Eks Pabrik Kertas Gowa (Eks PKG) belok kanan, setelah menemukan pertigaan jalan belok kanan. Tidak lama anda akan menemukan keindahan Danau Mawang.[2] Selain sebagai objek wisata, juga tempat pemeliharaan ikan mas dan nila. Danau tersebut dulunya merupakan objek wisata yang amat menarik, karena selain pemandangannya yang indah, juga sering diadakan lomba perahu dayung maupun pertunjukan lainnya.[3] Budidaya ikan air tawar juga dilakukan di Danau Mawang karena kondisi airnya yang tidak pernah kering, ratusan ribu bibit ikan Nila yang dilepas di danau ini setiap tahunnya baik dilakukan oleh Pemerintah atau swasta yang memiliki program tentang perikanan. Saat menelusuri pinggir danau jangan heran ketika melihat banyak nelayan dengan perahu bambu rakitan berlayar di tengah-tengah danau menangkap ikan. Dan sebagai fasilitas penunjangnya Danau Mawang juga memiliki sebuah taman rekreasi yang hijau yaitu Taman Mawang yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk di sebelah selatan Danau Mawang.[2] Keadaan GeografisSecara geografis kawasan Danau Mawang terletak +7 km dari ibukota Kabupaten Gowa dan +18 km dari Kota Makassar dengan batas-batas kawasan yaitu sebagai berikut :
Peranan pemerintahBupati Gowa Adnan Purichta Ichsan sangat ingin menjadikan danau tersebut seperti tempat wisata Floating Market yang berada di Lembang Bandung. Adnan pun sudah mengutarakan kesiapannya itu kepada pihak Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWSPJ). Hal ini diutarakan pada peringatan hari air sedunia di Danau Mawang,[4] BBWSPJ akan ajukan kerjasama dengan Pemkab Gowa dan tentunya dalam bentuk MoU untuk pengelolaan Danau Mawang. Namun sebelumnya itu, kita akan kerjasama dulu dengan Pemprov Sulselndan juga Pemkab Gowa dalam hal pengadministrasian. Kerjasama pengadministrasian yang saya maksud adalah untuk mengukur luasan kawasan danau ini dulu sebagai aset.[5] LegendaMenurut kepercayaan orang Gowa, danau ini mempunyai legenda. Bermula pada abad Ke-16 di Kampung Tanrara, hidup seorang lelaki Panrita (Sakti) yang bisa dipanggil dengan nama “Panre Tanrara”. Waktu itu, Panre Tanrara memegang kekuasaan pemerintahan yang disebut Dampang. Beliau sangat dicintai rakyatnya karena memerintah secara adil dan bijaksana. Kehidupan Panre sewaktu memegang jabatan pemerintahan, hidupnya serba ada, demikian pula rakyatnya hidup makmur. Kalau orang lain diberi rezeki kekayaan senang akan tetapi, bagi Panre justru sebaliknya Ia tidak mau lagi hidup dalam kemewahan karena khawatir kalau harta terlalu banyak, ia akan lupa diri dan memerintah secara sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Pada suatu saat, Panre berubah pikiran. Ia tak ingin kaya dan ingin hidupnya menjadi orang yang termiskin agar dapat merasakan penderitaan rakyatnya dan ternyata keinginannya itu terkabul, jadilah ia orang termiskin. Pada suatu hari, Panre yang sudah jatuh miskin itu, sedang duduk seorang diri digubuknya pada tengah malam sambil bertafakkur dan memohon Kepada dewata agar rakyat yang dipimpinnya memperoleh kemakmuran dan negeri yang dipimpinnya tetap aman dan tenteram. Dalam kondisi tafakkur itu, Panre lalu menengok ke dindingnya, tiba-tiba dilihatnya seberkas cahaya lalu didekatinya. Ternyata cahaya tersebut tak lain adalah sebuah kalung emas. Setelah kalung emas itu didapatkan, Panre lalu berpikir, “Mau diapakan kalung ini. Kalau untuk menebus kemiskinan saya tak mau lagi karena usia sudah tua” Setelah lama merenung, akhirnya ia memutuskan untuk menukar kalung emas itu dengan seekor kerbau. Keesokan harinya, Panre lalu berangkat ke Jeneponto dan mengunjungi temannya bernama Karaeng Tolok yang memiliki banyak kerbau. Setelah sampai di Jeneponto, Panre lalu mengutarakan maksudnya untuk membeli seekor kerbau dengan cara membarter kalung emas dengan seekor kerbau. Melihat kilauan kalung emas tersebut, terang saja Karaeng Toloksangat tertarik. Tanpa basa basi, Karaeng Tolok langsung mengambil kalung itu dan mempersilakan Panre untuk mengambil beberapa ekor kerbau. Tetapi bagi Panre, tak ingin kerbaunya banyak, cukup satu saja. Ketika ia memasuki kandang kerbau, Panre lalu memilih. Ia melihat seekor kerbau yang sedang menengok padanya, kerbau itu lalu diambilnya, dan dibawa pulang Ke Tanrara. Rupanya kerbau yang diambil Panre itu adalah kerbau kesayangan Karaeng Tolok. Pengawal disuruh menyusul Panre. Jauh sebelum pengawal menyusul, rupanya lewat kepanritaanya Panre sudah tahu bahwa dirinya disusul, sedang kerbau yang dibawanya itu lewat kepanritaanya pula disuruh mati. Dalam sekejap kerbau itu membusuk dan dikerumuni lalat besar (Laulung). Begitu pengawal istana datang, dilihatnya kerbau itu dalam keadaan mati, akhirnya pengawal itu kembali ke istana. Begitu kembali, Panre kemudian menghidupkan kerbau itu dan berubah menjadi kerbau yang besar yang diberi nama I Tambak Laulung. (Tambak berasal dari kata Tabbala artinya banyak sedang laulung berarti lalat besar). Setelah beberapa lama di Tanrara, I Tambak Laulung ingin melakukan perjalanan ke Maros untuk menemui rekannya. I Tambak Laulung ingin berkunjung ke kediaman Karaeng Simbang yang memiliki banyak kerbau.Setelah sampai di Maros, Karaeng Simbang melihat dan langsung mengambil I Tambak Laulung. I Tambak yang sudah terlalu lama tinggal di Maros dan ingin pulang ke Tanrara, I Tambak Laulung bersama teman-temannya melakukan perjalanan yang jauh. Dalam perjalanan menuju Tanrara, I Tambak Laulung lalu menelusuri persawahan, hutan belantara, serta beberapa sungai yang dilewati. Perjalanan yang melelahkan itu sampailah disuatu tempat, namanya Mawang. Disana, I Tambak Laulung dan kawan- kawannya menemukan sebuah telaga. I Tambak Laulung dan kawan-kawannya itu kemudian berkubang di telaga itu. Karena banyak, akhirnya telaga itu berubah menjadi sebuah danau. Saat kerbau itu berkubang, banyak kerbau yang tak ingin melanjutkan perjalanan menuju Tanrara. Kerbau-kerbau itu istirahat sambil berkubangan di telaga itu dan membuat sebagian kerbau itu membangkang dan tak mau melanjutkan perjalanan ke Tanrara. I Tambak Laulung marah atas pembangkangan itu, kemudian menunduk kerbau yang membangkan itu. Banyak kerbau yang mati di telaga itu dan bangkainya terapung di atas telaga yang luas itu. Itulah sebabnya danau tersebut dinamakan “Danau Mawang” (Mawang artinya terapung). Setelah itu I Tambak Laulung dan pengikutnya yang setia menuju Tanrara. Sampai di Tanrara, I Tambak Laulung disambut hangat oleh Panre dan masyarakat Tanrara dan karena banyaknya kerbau, Panre lalu membagi-bagikan kerbau itu pada warganya. Tak lama kemudian, datanglah seekor kerbau sakti dari Bone menemui I Tambak Laulung. Kemudian kerbau sakti itu masing-masing ingin menguji kesaktiannya itu. Begitu bertemu, pertengkaran tak terelakkan, akhirnya kedua kerbau sakti itu adu tanduk selama 7 hari 7 malam. Karena lelah, akhirnya kerbau dari Bone itu tertusuk tanduk Tambak Laulung yang membuat ia mati. Begitu pula I Tambak Laulung menderita luka parah, dan tak lama kemudian mati saat perjalanan pulang di telaga tempat dia menanduk para pengikutnya yang membangkang. Setelah beberapa saat Tambak Laulung tewas, muncullah banyak kembang indah yang mengapung dan orang setempat menyebutnya tonjong (bunga teratai).[3] Referensi
|