Dahagi di HMS BountyPeristiwa dahagi di atas kapal Angkatan Laut Kerajaan Britania, HMS Bounty, terjadi di Pasifik Selatan pada 28 April 1789. Para awak pendahagi di bawah pimpinan Penjabat Letnan Fletcher Christian merebut kendali kapal dari nakhoda mereka, Letnan William Bligh, dan meninggalkan sang nakhoda terkatung-katung di tengah laut bersama 18 awak kapal yang setia padanya dalam sebuah perahu barkas tanpa atap. Sebagian pendahagi menetap di Tahiti dan selebihnya menetap di Pulau Pitcairn, sementara Letnan Bligh berhasil memandu barkas mengarungi samudra sejauh 3.500 mil laut (4.000 mil atau 6.500 km) hingga berlabuh dengan selamat, dan mulai melakukan upaya hukum untuk menyeret para pendahagi ke pengadilan. Bounty bertolak dari Inggris pada 1787 dengan misi mengumpulkan dan mengangkut bibit pohon sukun dari Tahiti ke Hindia Barat. Sebagian besar awak kapal memanfaatkan masa labuh Bounty selama lima bulan di Tahiti untuk tinggal di darat dan bergaul dengan masyarakat pribumi Tahiti. Tindakan ini terbukti berdampak buruk terhadap kedisiplinan mereka. Hubungan antara Letnan Bligh dan para awak Bounty memburuk semenjak ia dengan kejam menghukum, mengecam, dan mencerca mereka, terutama Fletcher Christian. Tiga minggu setelah kembali berlayar, Fletcher Christian dan para awak lain memaksa Letnan Bligh untuk turun dari kapal. Dua puluh lima awak tetap tinggal di atas kapal, termasuk beberapa awak yang setia pada Letnan Bligh namun dipaksa tinggal, dan beberapa awak lain yang urung berlayar bersama Letnan Bligh karena terbatasnya daya tampung barkas. Letnan William Bligh tiba di Inggris pada bulan April 1790, dan tak lama kemudian Kelaksamanaan Britania pun memberangkatkan HMS Pandora dengan misi membekuk para pendahagi. Empat belas pendahagi tertangkap di Tahiti dan dikurung di atas Pandora, tetapi rombongan yang bersembunyi di Pulau Pitcairn bersama Fletcher Christian tidak kunjung ditemukan. Dalam pelayaran pulang ke Inggris, Pandora melanggar Karang Penghalang Besar. Kecelakaan itu menewaskan 31 awak Pandora dan 4 awak Bounty yang ditahan. Sepuluh tahanan yang sintas tiba di Inggris pada bulan Juni 1792 dan dihadapkan ke Mahkamah Militer; 4 orang dinyatakan bebas, 3 orang diberi pengampunan, dan 3 orang lainnya dijatuhi hukuman gantung. Rombongan yang dipimpin Fletcher Christian tetap buron di Pulau Pitcairn sampai 1808; kala itu, tinggal John Adams yang masih hidup. Para pendahagi (termasuk Fletcher Christian) dan para lelaki Polinesia yang ikut bersama mereka, terus-menerus bertikai dan saling bunuh; hanya Ned Young dan John Adams yang selamat. Ned Young meninggal dunia akibat penyakit asma pada 1800. Tidak ada tindakan hukum apa pun dari pemerintah Britania terhadap John Adams. Keturunan dari para pendahagi dan perempuan-perempuan Tahiti yang ikut bersama mereka, masih menetap di Pulau Pitcairn sampai abad ke-21. Pandangan umum yang menilai Letnan Bligh sebagai sesosok monster congkak dan menganggap Fletcher Christian sebagai korban dari keadaan, sebagaimana yang ditampilkan dalam film-film tentang peristiwa ini, telah disanggah oleh para sejarawan akhir abad ke-20 dan abad ke-21 yang menampilkan Letnan Bligh sebagai pribadi yang lebih simpatik dan menyoroti pribadi Fletcher Christian secara lebih kritis. Latar belakangMisi HMS BountyHis Majesty's Armed Vessel (HMAV) Bounty, atau His Majesty's Ship (HMS) Bounty, dibuat pada 1784 di galangan kapal Blaydes di Hull, Yorkshire sebagai sebuah kapal angkut batu bara yang diberi nama Bethia. Nama kapal diganti setelah dibeli oleh Angkatan Laut Kerajaan seharga £1.950 pada bulan Mei 1787.[1] Kapal bertiang tiga ini memiliki panjang keseluruhan 91 kaki (28 m), lebar terjauh 25 kaki (7,6 m), dan tonase sebesar 230 ton burthen.[2] Persenjataan kapal terdiri atas empat pucuk meriam sangga empat pon laras pendek dan sepuluh pucuk lela setengah pon, ditambah senjata-senjata api jinjing semisal senapan lontak.[3] Karena digolongkan oleh Kelaksamanaan Britania ke dalam peringkat cutter, yakni golongan kapal perang yang terkecil, maka Bounty hanya dinakhodai oleh seorang perwira berpangkat letnan, bukan oleh seorang perwira berpangkat kapten, sehingga nakhoda menjadi satu-satunya aparat militer dari golongan perwira di atas kapal. Kapal-kapal golongan cutter juga tidak dikawal oleh detasemen Marinir yang sewaktu-waktu dapat dikerahkan oleh nakhoda untuk mempertahankan kewibawaannya.[4][n 1] Bounty sengaja dibeli untuk dipakai mengangkut bibit pohon sukun dari Tahiti (kala itu disebut "Otaheite"), sebuah pulau Polinesia di Pasifik Selatan, ke wilayah-wilayah jajahan Britania di Hindia Barat. Ekspedisi ini dipromotori oleh Royal Society dan dipersiapkan oleh Sir Joseph Banks, presiden Royal Society. Sir Joseph Banks dan para pemilik perkebunan di Karibia sependapat bahwa sukun dapat tumbuh dengan baik di sana, sehingga dapat dijadikan sumber pangan murah bagi budak-budak belian.[8] Bounty diubah suai di bawah pengawasan Sir Joseph Banks di Galangan Kapal Deptford yang berlokasi di Sungai Thames. Kabin besar yang lazimnya digunakan sebagai bilik nakhoda, diubah menjadi semacam rumah tanaman yang mampu menampung sekitar seribu pot bibit pohon sukun, lengkap dengan jendela-jendela kaca, lubang-lubang pencahayaan di langit-langit, serta lapisan timbal pada permukaan geladak dan saluran air guna mencegah pemborosan air segar.[9] Luasnya tempat yang tersita untuk kepentingan misi di atas kapal kecil ini menyebabkan para perwira dan anak buah kapal terpaksa hidup berdesak-desakan sepanjang pelayaran.[10] William BlighAtas persetujuan Sir Joseph Banks, jabatan pemimpin ekspedisi dipercayakan kepada Letnan William Bligh,[11] pelaut kawakan yang pernah menyertai Kapten James Cook dalam pelayaran ketiga sekaligus pelayaran terakhirnya (1776–1780), selaku nakhoda muda atau kepala navigasi di atas HMS Resolution.[n 2] William Bligh lahir di Plymouth pada 1754 dalam sebuah keluarga yang turun-temurun berkecimpung di bidang bahari dan kemiliteran; Laksamana Sir Richard Rodney Bligh adalah saudara sepupu generasi ketiga dari William Bligh.[11][12] Keikutsertaannya, pada usia 21 tahun, dalam pelayaran Kapten Cook sudah merupakan suatu kehormatan besar, meskipun William Bligh merasa jerih payahnya kurang dihargai dalam catatan resmi ekspedisi itu.[14] Dengan berakhirnya Perang Kemerdekaan Amerika pada 1783, kekuatan tempur Angkatan Laut Kerajaan pun disusutkan, dan William Bligh harus bersedia dirumahkan dengan gaji sebesar setengah dari jumlah yang diterimanya bila berlayar.[15] Setelah cukup lama menganggur, William Bligh menerima pekerjaan temporer dalam dinas Angkatan Laut Niaga Britania, dan pada 1785 menjadi nakhoda Britannia, sebuah kapal niaga milik Duncan Campbell, paman dari istrinya.[16] William Bligh menerima tugas bergengsi menakhodai pelayaran Bounty pada 16 Agustus 1787, dengan pengorbanan finansial yang cukup besar; upah yang ia terima selaku letnan hanya sebesar empat shilling sehari (£70 setahun), jauh lebih kecil daripada upah £500 setahun yang ia terima selaku nakhoda Britannia. Karena terbatasnya jumlah perwira kapal yang diizinkan turut serta dalam pelayaran Bounty, William Bligh diwajibkan pula untuk merangkap tugas bendahara kapal.[17][18] Surat perintah berlayar yang ia terima berisi perintah untuk melayarkan kapal memasuki perairan Samudra Pasifik lewat Tanjung Horn, dan bilamana telah menyelesaikan pengumpulan bibit pohon sukun, ia diperintahkan melayarkan kapal ke arah barat, melewati Selat Endeavour, menyeberangi Samudra Hindia dan Samudra Atlantik, sampai berlabuh di Hindia Barat. Andai tak ada aral melintang, mungkin saja Bounty telah berhasil menyelesaikan sebuah pelayaran sirkumnavigasi.[19] Awak kapalAwak Bounty berjumlah 46 orang, terdiri atas 44 aparat Angkatan Laut Kerajaan Britania (termasuk Letnan Bligh), dan dua orang botanis dari kalangan sipil. Letnan Bligh secara langsung membawahi para perwira kapal yang ditunjuk oleh Navy Board (dewan pengurus harian Angkatan Laut Kerajaan Britania) dan diketuai oleh Nakhoda Muda John Fryer.[20] Perwira-perwira kapal lainnya meliputi serang, juru bedah, tukang kayu, dan juru tembak.[21] Selain dua orang mualim dan dua orang perwira muda (ahli madya), ikut pula beberapa perwira muda kehormatan yang lazim dijuluki "tuan-tuan muda", yakni taruna-taruna magang dari keluarga bangsawan yang bercita-cita menjadi perwira Angkatan Laut Kerajaan. Tuan-tuan muda ini dimasukkan ke dalam daftar awak kapal sebagai kelasi mahir (kelasi dua), tetapi ditempatkan pada bilik yang sama dan diberi perlakuan yang sama dengan para perwira muda.[22] Sebagian besar awak Bounty adalah orang-orang pilihan Letnan Bligh atau titipan orang-orang penting. Juru Tembak William Peckover dan Juru Senjata Joseph Coleman berpengalaman berlayar bersama Kapten Cook dan William Bligh di atas HMS Resolution;[23] sementara beberapa awak lain pernah berlayar bersama William Bligh di atas Britannia. Salah satunya adalah Fletcher Christian, pelaut berumur 23 tahun, putra keluarga kaya dari Cumberland, keturunan bangsawan Manx. Fletcher Christian lebih memilih menjadi pelaut ketimbang memenuhi harapan keluarganya untuk berkarier di bidang hukum.[24] Ia sudah dua kali berlayar bersama William Bligh ke Hindia Barat, dan keduanya sudah seakrab guru dan murid. Hubungan baik inilah yang telah menempa Fletcher Christian menjadi seorang juru navigasi yang mahir.[25] Fletcher Christian bersedia bekerja tanpa bayaran, selaku salah satu dari "tuan-tuan muda" di atas Bounty;[26] sebagai gantinya, Letnan Bligh mengizinkan Fletcher Christian menempati salah satu kabin yang diperuntukkan bagi mualim bergaji.[25] Salah seorang tuan muda titipan adalah Peter Heywood, remaja berusia 15 tahun yang juga berasal dari keluarga bangsawan Manx dan masih terhitung kerabat jauh Fletcher Christian. Peter Heywood meninggalkan sekolah pada umur 14 tahun untuk magang selama setahun di atas HMS Powerful, sebuah kapal latih di perairan pelabuhan Plymouth.[27] Ia dititipkan pada Letnan Bligh oleh seorang kenalan baik keluarga Heywood, Richard Betham, yakni ayah mertua Letnan Bligh sendiri.[22] Kedua botanis atau "juru taman", dipilih oleh Sir Joseph Banks. Juru Taman David Nelson, adalah seorang veteran dari ekspedisi ketiga James Cook yang sudah pernah ke Tahiti dan sedikit banyak menguasai bahasa pribumi Tahiti. [28] Juru Taman Bantu William Brown, adalah seorang mantan perwira muda yang pernah terlibat dalam pertempuran laut melawan Prancis.[23] Kedua perwira muda, Thomas Hayward dan John Hallett, adalah orang-orang titipan Sir Joseph Banks.[29] Secara keseluruhan, awak Bounty merupakan sekumpulan anak muda yang mayoritas berusia di bawah 30 tahun;[30] Letnan Bligh berumur 33 tahun pada saat kapal bertolak dari Inggris. Para awak tertua di atas kapal adalah William Peckover yang berumur 39 tahun, pernah ikut serta dalam ketiga-tiga pelayaran Kapten Cook, dan Lawrence Lebogue, mantan juru tinggi (pengurus layar kapal) Britannia, yang setahun lebih tua dari William Peckover.[31] Para awak termuda adalah John Hallett dan Peter Heywood, kedua-duanya baru berumur 15 tahun ketika berangkat meninggalkan Inggris.[32] Bilik tidur di atas kapal dibagi-bagi menurut jabatan. Letnan Bligh, yang harus merelakan kabin besar,[32] menempati bilik tidur pribadi yang terhubung dengan ruang makan atau pantri di lambung kanan kapal, sementara John Fryer menempati sebuah kabin kecil di lambung kiri kapal. Juru bedah, Thomas Huggan, beserta perwira-perwira kapal lainnya, dan Nelson si juru taman menempati bilik-bilik mini di geladak bawah,[33] sementara para mualim dan perwira muda, bersama tuan-tuan muda menempati bilik di belakang ruang makan nakhoda yang disebut kokpit; sebagai perwira junior atau calon perwira, mereka diizinkan menggunakan geladak penggal.[20] Awak kapal selebihnya menempati bilik agil, sebuah ruangan tanpa jendela dan ventilasi seluas 36 x 22 kaki (11 x 6,7 m) dengan tinggi 5 kaki 7 inci (1,7 m).[34]
EkspedisiMenuju Tanjung HornPada 15 Oktober 1787, Bounty bertolak dari Deptford menuju Spithead di Selat Inggris, tempat kapal akan berlabuh sambil menunggu terbitnya surat perintah berlayar.[36][n 3] Cuaca buruk memperlambat kedatangan kapal di Spithead sampai dengan 4 November. Letnan Bligh sudah tidak sabar untuk cepat-cepat bertolak meninggalkan Inggris agar dapat mencapai Tanjung Horn sebelum berakhirnya musim panas yang berlangsung singkat di belahan bumi selatan,[38] namun Kelaksamanaan Britania tidak memprioritaskan pelayaran Bounty sehingga surat perintah berlayar Letnan Bligh baru terbit tiga minggu kemudian. Ketika akhirnya diizinkan berlayar meninggalkan Inggris pada 28 November, Bounty tertahan tiupan angin sakal yang menghalanginya keluar dari perairan Spithead sampai dengan 23 Desember.[39][40] Karena terancam gagal berlayar memutari Tanjung Horn, Kelaksamanaan Britania memberi izin kepada Letnan Bligh untuk mengalihkan pelayaran Bountry, bila perlu, ke rute alternatif menuju Tahiti lewat Tanjung Harapan.[41] Begitu kapal berlayar dan rutinitas di atas kapal mulai berjalan, Letnan Bligh pun mulai menerapkan disiplin ketat ala James Cook dalam urusan sanitasi dan makan minum. Menurut sejarawan yang mengkaji ekspedisi ini, Sam McKinney, Letnan Bligh menerapkan aturan-aturan ini "secara fanatik, tak henti-hentinya mencereweti kebersihan kapal dan makanan yang disajikan bagi awak kapal."[42] Ia mengganti jadwal tugas jaga tradisional angkatan laut, yakni jadwal dua regu yang berganti-gantian bertugas setiap empat jam, dengan jadwal tiga regu yang masing-masing bertugas selama empat jam diselingi waktu istirahat selama delapan jam.[43] Sebagai olahraga dan hiburan bagi awak kapal, ia menyelenggarakan kegiatan bermain musik dan menari secara teratur.[44] Isi laporan Letnan Bligh kepada Campbell dan Banks menunjukkan kepuasannya; ia tidak pernah menjatuhkan hukuman karena, menurut isi laporannya, "Baik anak buah maupun perwira kapal mudah diatur dan ramah tamah, riang gembira, dan raut kepuasan terlihat jelas di wajah setiap orang".[45] Satu-satunya hal yang menjengkelkan sampai dengan saat laporan itu ditulis adalah tingkah laku Juru Bedah Thomas Huggan, yang menurut Letnan Bligh adalah seorang pemalas dan pemabuk yang jorok.[44] Hubungan akrab antara Letnan Bligh dan Fletcher Christian sudah terbina sejak kapal mulai berlayar. Perlakuan istimewa dari Letnan Bligh menimbulkan kesan bahwa Fletcher Christianlah yang menduduki posisi nomor dua dalam struktur kepemimpinan kapal, bukannya John Fryer.[46][n 4] Pada 2 Maret, Letnan Bligh meresmikan posisi itu dengan mengangkat Fletcher Christian menjadi penjabat letnan.[48][n 5] Hanya sedikit tanda-tanda kekecewaan yang diperlihatkan oleh John Fryer terkait kenaikan jabatan juniornya itu, tetapi hubungannya dengan Letnan Bligh terus memburuk sejak saat itu.[51] Seminggu setelah pengangkatan Fletcher Christian, atas desakan John Fryer, Letnan Bligh memerintahkan pelaksanaan hukuman dera terhadap Matthew Quintal, yang diganjar 12 kali dera karena "bersikap kurang ajar dan membangkang",[47] dan dengan demikian menggagalkan harapan Letnan Bligh untuk menyelesaikan pelayaran Bounty tanpa hukuman-hukuman semacam itu.[52] Pada 2 April, ketika Bounty mendekati Tanjung Horn, angin ribut dan gelombang tinggi mulai berkecamuk dalam cuaca buruk yang menurut laporan Letnan Bligh, "lebih parah daripada yang pernah saya lihat ... badai yang disertai hujan es dan salju".[53] Angin kencang meniup mundur kapal; dan pada 3 April, kapal telah tertiup semakin jauh ke arah utara, lebih jauh dibanding posisi kapal dari Tanjung Horn pada beberapa minggu sebelumnya.[54] Letnan Bligh berulang kali berusaha melayarkan kapal menerobos badai dan gelombang, tetapi berulang kali pula terdesak mundur. Pada 17 April, ia mengumumkan kepada awak kapal yang sudah kehabisan tenaga bahwa laut telah mengalahkan mereka, oleh karena itu kapal akan berputar haluan dan berlayar menuju Tanjung Harapan. Pengumuman ini "disambut dengan penuh suka cita oleh semua orang di atas kapal", tulis Letnan Bligh.[55] Dari Tanjung Harapan ke Samudra PasifikPada 24 Mei 1788, Bounty membuang sauh di Valsbaai, sebelah timur dari Tanjung Harapan, dan berlabuh selama lima minggu untuk menjalani reparasi dan mengisi kembali perbekalan.[56] Dalam suratnya yang dikirim ke Inggris, Letnan Bligh menegaskan bahwa ia dan segenap awak kapal berada dalam keadaan sehat walafiat, dibanding awak kapal-kapal lain, dan berharap agar kelebihan ini dicatat sebagai sebuah prestasi tersendiri.[57] Selama pelayaran, Letnan Bligh pernah meminjamkan sejumlah uang kepada Fletcher Christian. Sejarawan Greg Dening menduga bahwa tindakan ini merenggangkan hubungan mereka karena menimbulkan rasa cemas dan bahkan rasa benci dalam hati Fletcher Christian.[58] Dalam uraiannya tentang pelayaran ini, Caroline Alexander menyebutkan bahwa pinjaman itu adalah "suatu tindakan yang didasari oleh rasa persahabatan", tetapi selalu saja diungkit-ungkit oleh Letnan Bligh agar tidak dilupakan Fletcher Christian.[57] Setelah bertolak dari Valsbaai pada 1 Juli, Bounty melakukan pelayaran panjang mengarungi Samudra Hindia menuju pelabuhan persinggahan berikutnya, Teluk Adventure di Tasmania. Mereka melewati Île Saint-Paul, sebuah pulau kecil dan terpencil yang tak berpenghuni namun memiliki sumber air bersih dan sumber air panas. Keberadaan pulau ini sudah diketahui Letnan Bligh dari keterangan pelaut-pelaut terdahulu, tetapi ia tidak melakukan pendaratan di pulau itu. Suhu udara terasa dingin membeku, sebagaimana suhu udara di kawasan Tanjung Horn; pengamatan untuk keperluan navigasi pun sulit dilakukan; namun berkat kecakapan Letnan Bligh, pada 19 Agustus, Mewstone Rock yang terletak di ujung barat daya Tasmania telah tampak di cakrawala, dan dua hari kemudian, kapal akhirnya membuang sauh di Teluk Adventure.[59] Awak Bounty memanfaatkan masa labuh di Teluk Adventure untuk memulihkan diri, memancing, mengisi kembali tahang-tahang persediaan air, dan menebang pohon. Awak kapal juga menjalin hubungan baik dengan penduduk pribumi.[59] Tanda-tanda awal ketidakakuran antara Letnan Bligh dan para perwira kapal tampak ketika Sang Nakhoda berbantah-bantahan dengan Tukang Kayu William Purcell terkait cara-cara memotong kayu.[60][n 6] Letnan Bligh segera memerintahkan William Purcell untuk kembali ke atas kapal. Karena membangkang perintahnya, Letnan Bligh menahan jatah makan William Purcell. Letnan Bligh melaporkan bahwa tindakan itu "langsung membuatnya insaf".[60] Pertikaian berikutnya terjadi dalam pelayaran dari Tasmania menuju Tahiti. Pada 9 Oktober, John Fryer menolak untuk menandatangani buku-buku catatan kapal sebelum Letnan Bligh menerbitkan selembar sertifikat berisi pernyataan bahwa ia telah bertugas tanpa cela sepanjang pelayaran. Letnan Bligh tidak termakan gertakannya. Ia segera mengumpulkan seluruh awak kapal dan membacakan Pasal-Pasal Perang di hadapan mereka. Tindakannya ini tak ayal membuat John Fryer menyerah.[62] Ia juga bertikai dengan Juru Bedah Thomas Huggan, karena terapi buang darah yang dilakukan Si Juru Bedah secara kurang cermat terhadap Kelasi Mahir James Valentine guna mengobati penyakit asmanya justru mengakibatkan Si Kelasi tewas akibat infeksi darah.[63] Untuk menutupi kesalahannya, Si Juru Bedah melaporkan kepada Letnan Bligh bahwa James Valentine tewas akibat mengidap skorbut,[64] sampai-sampai Letnan Bligh merasa perlu mengeluarkan simpanan obat-obatan dan ramuan antiskorbut milik pribadinya, kemudian membagi-bagikannya kepada seluruh awak kapal.[65] Saat itu, Thomas Huggan sudah nyaris tidak mampu bergerak akibat kebanyakan menenggak minuman keras, sampai akhirnya Letnan Bligh menyita seluruh persediaan minuman kerasnya. Thomas Huggan sempat kembali bertugas; sebelum Bounty mencapai Tahiti, ia memeriksa seluruh awak kapal untuk mencari tanda-tanda penyakit kelamin, tetapi tidak seorang pun yang didapatinya mengidap penyakit itu.[66] Bounty membuang sauh di Teluk Matavai, Tahiti, pada 26 Oktober 1788, setelah berlayar menempuh jarak sejauh 27.086 mil laut (50.163 km; 31.170 mil).[67] TahitiTindakan pertama Letnan William Bligh setibanya di Tahiti adalah memastikan terjalinnya hubungan kerja sama dengan para penguasa pribumi. Kepala suku tertinggi di Tahiti, Tynah, masih mengenali Letnan Bligh yang pernah singgah di Tahiti 15 tahun sebelumnya sebagai anggota rombongan ekspedisi Kapten Cook, dan menyambutnya dengan hangat. Letnan Bligh mempersembahkan hadiah-hadiah kepada para kepala suku dan menyampaikan bahwa junjungan mereka, "Raja George", hanya mengharapkan hadiah balasan berupa bibit-bibit pohon sukun. Para kepala suku dengan gembira bersedia memenuhi permintaan yang sepele ini.[68] Letnan Bligh menugaskan Fletcher Christian untuk memimpin pendaratan serombongan awak kapal yang bertugas meramu campuran tanah untuk pot-pot bibit pohon sukun.[69] Baik di darat maupun di atas kapal, tugas para awak kapal selama lima bulan masa labuh Bounty di Tahiti relatif cukup ringan. Mereka juga menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi; banyak yang gemar bergonta-ganti pasangan—18 perwira dan anak buah kapal, termasuk Fletcher Christian, harus dirawat karena terjangkiti penyakit kelamin[70]—sementara sisanya hidup bersama pasangan tetap.[71] Fletcher Christian menjalin hubungan dekat dengan seorang perempuan Polinesia bernama Mauatua, yang diberinya nama "Isabella", seperti nama seorang mantan kekasihnya yang berasal dari Cumberland.[72] Letnan Bligh tetap menahan diri,[73] tetapi memaklumi perilaku bawahannya, dan tidak merasa heran bahwa mereka jatuh dalam cobaan pada saat-saat "godaan untuk menuruti hawa nafsu benar-benar melampui batas nalar".[74] Meskipun demikian, ia mengharapkan mereka untuk tetap menjalankan tugas secara efisien, dan merasa kecewa melihat para perwira kapal semakin lama semakin lalai dan lamban. Dengan geram, dalam suratnya ia menulis: "Saya kira perwira-perwira rendahan yang teledor dan tidak berguna semacam mereka tidak pernah ada di atas kapal seperti sekarang ini".[70] Thomas Huggan wafat pada 10 Desember. Menurut Letnan Bligh, kematiannya "disebabkan oleh terlalu sering mabuk dan sangat enggan berolahraga ... ia tidak pernah dapat dibujuk mengitari geladak setengah lusin putaran sekali jalan, sepanjang pelayaran".[75] Meskipun diistimewakan, Fletcher Christian tidak luput dari amarah Letnan Bligh. Ia kerap dipermalukan oleh Sang Nakhoda—kadang-kadang di hadapan awak kapal dan orang-orang Tahiti—baik karena kedapatan maupun hanya karena disangka bermalas-malasan,[70] sementara hukuman-hukuman berat dijatuhkan kepada para awak kapal yang lalai dalam tugas sehingga mengakibatkan hilang atau tercurinya peralatan kapal. Hukuman dera, yang jarang terjadi dalam pelayaran menuju Tahiti, kini semakin sering diterapkan.[76] Pada 5 Januari 1789, tiga orang awak kapal—Charles Churchill, John Millward, dan William Muspratt—melakukan desersi, membawa lari sebuah perahu kecil, senjata, dan amunisi. William Muspratt baru saja didera karena teledor. Di antara barang-barang Churchill yang tertinggal di atas kapal, didapati selembar daftar nama awak kapal yang oleh Letnan Bligh ditafsirkan sebagai nama orang-orang yang mungkin terlibat dalam rencana desersi itu—di kemudian hari Sang Nakhoda mengungkapkan bahwa nama Fletcher Christian dan Peter Heywood juga ikut tercantum di dalamnya. Letnan Bligh dapat diyakinkan bahwa orang kepercayaannya tidak berencana untuk melakukan desersi, dan permasalahan itu tidak diperpanjang lagi. Churchill, John Millward, dan William Muspratt terciduk tiga minggu kemudian, dan didera sekembalinya mereka ke atas kapal.[76] Semenjak bulan Februari, kegiatan semakin ditingkatkan; lebih dari 1.000 bibit pohon sukun ditanam ke dalam pot dan dimuat ke dalam kabin besar di atas kapal.[77] Kapal pun mulai diperbaiki dalam rangka pelayaran pulang. Pekerjaan ini dilakukan oleh para awak kapal yang justru menyesali waktu keberangkatan yang sudah di depan mata, dan kehidupan nyaman bersama orang-orang Tahiti yang akan segera mereka tinggalkan. Letnan Bligh sudah tidak sabar untuk segera bertolak, tetapi sebagaimana yang dicermati Richard Hough dari catatannya, ia "gagal mengantisipasi reaksi para bawahannya terhadap kekejaman dan beratnya kehidupan di laut ... sesudah hidup dalam kebejatan dan menuruti hawa nafsu selama lima bulan di Tahiti".[78] Pekerjaan rampung pada 1 April 1789, dan empat hari kemudian, dilepas dengan ucapan perpisahan yang menyentuh hati oleh Tynah beserta permaisurinya, Bounty pun bertolak meninggalkan pelabuhan.[77] Pelayaran pulangDalam sejarah Bounty yang mereka susun, baik Richard Hough maupun Caroline Alexander meyakini bahwa para awak kapal belum memasuki tahap menuju dahagi, sedalam apa pun penyesalan yang mereka rasakan karena meninggalkan Tahiti. Catatan perjalanan Serang Bantu James Morrison mendukung keyakinan mereka.[79][80][n 7] Peristiwa-peristiwa yang menyusul kemudian, menurut dugaan Richard Hough, timbul akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tiga minggu sejak keberangkatan, manakala kemarahan dan sikap tidak toleran Letnan Bligh mencapai tahap paranoid. Fletcher Christian secara khusus dijadikan bulan-bulanannya, tetapi tampaknya senantiasa bersabar menanggung pelampiasan amarah Sang Nakhoda.[82] Letnan Bligh, yang tidak menyadari dampak dari perilakunya itu terhadap para perwira dan anak buah kapal,[14] dengan cepat melupakan perbuatannya dan berusaha untuk kembali berbincang-bincang seperti biasa.[79] Pada 22 April 1789, Bounty membuang sauh di Nomuka yang terletak di Kepulauan Ramah (sekarang Tonga) dengan maksud untuk mengambil kayu, air, dan perlengkapan-perlengkapan lain di tempat perhentian terakhir dalam jadwal pelayaran itu sebelum mencapai Selat Endeavour.[83] Karena pernah berkunjung ke pulau itu bersama Kapten Cook, Letnan Bligh mengetahui bahwa perilaku pribumi pulau itu sewaktu-waktu dapat saja berubah tanpa diduga-duga. Ia menugaskan Fletcher Christian untuk memimpin kegiatan pengambilan air dan membekalinya dengan senapan-senapan lontak, tetapi disertai perintah untuk meninggalkan persenjataan di dalam perahu bilamana akan turun ke pantai.[83] Rombongan yang dipimpin Fletcher Christian terus-menerus diserang dan ditakut-takuti namun tidak berdaya untuk membela diri karena dilarang menggunakan senjata. Ia kembali ke kapal tanpa merampungkan tugasnya, dan dicaci maki oleh Letnan Bligh dengan sebutan "berandal pengecut terkutuk".[84] Kekacauan berikutnya yang terjadi di pantai mengakibatkan tercurinya sebuah jangkar kecil dan sebilah beliung, sehingga John Fryer dan Fletcher Christian sekali lagi harus menanggung cercaan dari Letnan Bligh.[85] Guna mendapatkan kembali barang-barang yang hilang itu, Letnan Bligh sempat menyandera kepala suku pulau itu di atas kapal, tetapi usahanya sia-sia belaka. Ketika ia akhirnya memerintahkan awak kapal untuk kembali berlayar, baik jangkar maupun beliung itu tak kunjung didapatkan kembali.[86] Pada 27 April, Fletcher Christian akhirnya merasa putus asa, tertekan dan dongkol.[87][n 8] Suasana hatinya memburuk ketika Letnan Bligh menuduhnya mencuri persediaan buah-buah kelapa yang disimpan khusus untuk Sang Nakhoda. Letnan Bligh menghukum seluruh awak kapal atas tindakan pencurian ini dengan menghentikan jatah rum dan mengurangi setengah dari jatah makan mereka.[88][89] Karena sudah tidak tahan lagi, Fletcher Christian mulai berencana untuk membuat rakit yang dapat ia gunakan untuk melarikan diri ke salah satu pulau dan berusaha hidup bersama orang-orang pribumi. Kayu yang ia perlukan dapat ia peroleh dari William Purcell.[87][90] Rasa tidak puas yang dipendamnya pada akhirnya diketahui oleh rekan-rekannya sesama perwira kapal. Dua orang dari antara tuan-tuan muda, George Stewart dan Ned Young, berusaha membujuknya agar tidak melakukan desersi; Ned Young meyakinkannya bahwa hampir semua awak kapal akan mendukungnya jika ia merebut kapal dan menyingkirkan Letnan Bligh.[91] George Stewart memberi tahu bahwa para awak kapal sudah "siap menghadapi segala kemungkinan".[87] DahagiPenyerobotan kapalPada pagi buta 28 April 1789, Bounty berada pada posisi kira-kira 30 mil laut (56 km; 35 mil) di sebelah selatan Pulau Tofua.[92] Setelah terjaga hampir semalam suntuk, Fletcher Christian telah membulatkan tekadnya untuk bertindak. Dari perbincangannya dengan Ned Young dan Stewart, ia menyimpulkan bahwa kemungkinan besar para anak buah kapal akan mendukungnya, dan setelah melakukan pendekatan terhadap Matthew Quintal dan Isaac Martin, ia dapat memastikan dukungan dari sejumlah nama tambahan. Dengan bantuan orang-orang ini, Fletcher Christian dapat menyerobot kendali atas geladak utama dalam waktu singkat; para awak kapal yang mempertanyakan tindakannya diperintahkan untuk tutup mulut.[93] Sekitar pukul 05:15, Fletcher Christian turun ke geladak bawah, mengusir John Hallett (yang sedang tidur di atas peti penyimpanan senapan-senapan lontak milik kapal), dan membagi-bagikan senjata kepada para pengikutnya sebelum bergegas ke bilik Letnan Bligh.[94] Tiga orang membekuk Sang Nakhoda dan mengikat tangannya sambil mengancam akan membunuhnya jika ia berteriak minta tolong;[95] Letnan Bligh "berteriak senyaring mungkin meminta bantuan".[96] Teriakannya membangunkan John Fryer, yang dari biliknya melihat para pendahagi mendorong-dorong Letnan Bligh keluar dari biliknya. Para pendahagi memerintahkan John Fryer untuk "tidur kembali dan tutup mulut kalau tak ingin mampus".[94] Letnan Bligh dibawa ke geladak penggal, kedua tangannya terikat tali. Ujung tali itu digenggam oleh Fletcher Christian sambil mengayun-ayunkan sebilah sangkur;[97] beberapa laporan menyebutkan bahwa Fletcher Christian menggantungkan sebutir batu duga pada lehernya sehingga ia dapat melompat keluar dan menenggelamkan diri seandainya aksi dahagi itu gagal.[94] Awak kapal lainnya yang terbangun karena mendengar keributan itu segera meninggalkan bilik dan bergegas mencari sumber kericuhan. Pada tahap ini masih belum jelas siapa yang aktif atau tidak aktif terlibat dalam peristiwa dahagi itu. Richard Hough menduga bahwa sudah tentu "setiap orang sedikit banyaknya mengeluarkan suara keras; baik untuk menyumpahi, mengumpat, atau sekadar bersuara keras karena terbawa suasana".[97] Letnan Bligh tak henti-hentinya berteriak, menuntut untuk dibebaskan, kadang-kadang ia menyerukan perintah kepada orang-orang tertentu sambil menyebut nama mereka, lain daripada itu ia hanya menyerukan perintah secara umum kepada seluruh awak kapal untuk "pukul jatuh Christian!"[98] John Fryer sempat diizinkan naik ke geladak penggal untuk berbicara dengan Fletcher Christian, tetapi kemudian dipaksa turun di bawah todongan ujung sangkur; menurut keterangan John Fryer, Fletcher Christian berkata padanya, "aku sudah seperti di neraka beberapa minggu ini. Perbuatan Kapten Bligh sendiri yang membuatnya seperti ini."[94] Mula-mula Fletcher Christian ingin menghanyutkan Letnan Bligh dalam joli-joli Bounty yang kecil, bersama dengan Juru Tulis Nakhoda John Samuel, dan kedua perwira muda yang setia kepadanya, yakni Thomas Hayward dan John Hallett. Perahu kecil ini ternyata tidak laik laut, sehingga Fletcher Christian memerintahkan agar diturunkan sebuah perahu kapal yang lebih besar, dengan daya tampung sekitar sepuluh orang. Meskipun demikian, Fletcher Christian dan para pendukungnya ternyata salah perhitungan, karena mengira tindakan dahagi hanya akan ditentang oleh segelintir awak kapal. Ternyata sekurang-kurangnya setengah dari awak kapal bersikeras untuk ikut berlayar bersama Letnan Bligh, sehingga perahu terbesar di kapal, yakni sebuah barkas sepanjang 23 kaki (7 m), terpaksa diturunkan ke laut untuk menampung mereka.[99] Para pendukung Letnan Bligh pun bergegas mengumpulkan barang-barang bawaan mereka dan membawanya turun ke perahu. John Fryer termasuk di antara awak kapal yang setia pada nakhoda, tetapi atas persetujuan Letnan Bligh, ia meminta untuk tetap tinggal dengan harapan dapat merebut kembali kapal itu dari para pendahagi,[94] namun Fletcher Christian memerintahkannya untuk turun ke barkas. Tak lama kemudian, barkas sudah disesaki oleh lebih dari 20 orang, sementara beberapa orang lainnya masih berusaha untuk ikut menumpang. Fletcher Christian memerintahkan Tukang Kayu Bantu Charles Norman, Tukang Kayu Bantu Thomas McIntosh, dan Juru Senjata Joseph Coleman, untuk kembali ke atas kapal, karena menganggap kehadiran mereka sangat diperlukan jika ia hendak melayarkan Bounty dengan jumlah awak yang sudah sangat berkurang. Keduanya naik ke kapal dengan enggan sambil memohon Letnan Bligh agar tetap ingat bahwa mereka naik ke kapal karena dipaksa. Letnan Bligh menenangkan mereka dengan berkata, "jangan khawatir, Buyung, aku akan membela kalian kalau sudah sampai ke Inggris".[100] Samuel membawa serta buku catatan perjalanan, surat-surat tugas, dan dokumen-dokumen bendahara kapal yang disimpan nakhoda, tetapi ia diperintahkan untuk meninggalkan peta-peta dan bagan-bagan peta yang disusun Letnan Bligh, hasil jerih payahnya selama 15 tahun berlayar.[94] Barkas dibekali dengan pasokan makanan dan minuman yang kira-kira cukup untuk lima hari,[101] sekstan, kompas dan tabel-tabel nautika, serta kotak alat pertukangan William Purcell. Di saat-saat terakhir, para pendahagi melemparkan empat bilah kelewang ke barkas.[94] Dari keseluruhan awak Bounty—44 orang sepeninggal Thomas Huggan dan James Valentine—19 orang turun ke barkas, sehingga perahu itu sarat sampai ke batas yang membahayakan keselamatan penumpang, karena lambung timbul hanya tersisa 7 inci.[101] 25 orang yang tetap tinggal di atas Bounty terdiri atas para pelaku dahagi yang telah memperlengkapi diri dengan senjata, para awak yang setia pada nakhoda namun dipaksa tinggal, dan awak lain yang tidak dapat ikut berlayar dengan Letnan Bligh karena keterbatasan daya tampung barkas. Sekitar pukul 10:00, tambang penghubung barkas dengan kapal ditetak putus; beberapa saat kemudian, Letnan Bligh memerintahkan agar layar dibentangkan. Mereka bermaksud untuk berlayar ke Pulau Tofua yang letaknya dapat diamati di cakrawala berkat kepulan asap yang membumbung ke angkasa dari gunung apinya.[102] Pelayaran William Bligh dengan perahu barkasLetnan Bligh berharap dapat mengambil air dan makanan di pulau Tofua, kemudian meneruskan pelayaran ke pulau Tongatapu untuk meminta bantuan Raja Poulaho (yang ia kenal dalam kunjungannya ke pulau itu bersama Kapten Cook) untuk menyiapkan perahu agar dapat berlayar ke Hindia Timur Belanda.[103] Tatkala berlabuh di Tofua, rombongan Letnan Bligh bertemu dengan orang-orang pribumi yang mula-mula bersikap ramah namun lambat laun berubah garang. Pada 2 Mei, empat hari setelah berlabuh, Letnan Bligh menyadari bahwa mereka akan diserang. Ia memerintahkan anak buahnya untuk kembali berlayar, tepat sebelum orang-orang Tofua merampas tambang pengikat buritan perahu dan berusaha menariknya ke pantai. Letnan Bligh dengan tenang membimbing anak buahnya kembali ke perahu dengan membawa perbekalan. Karena hendak merebut kembali tali buritan dari orang-orang Tofua, Juru Mudi John Norton turun ke laut; ia langsung diserbu dan dirajam hingga tewas.[104] Barkas lolos ke laut lepas, dan para awaknya yang terguncang oleh peristiwa pembunuhan itu segera mempertimbangkan kembali rencana-rencana mereka. Pendaratan di Tongatapu atau pulau-pulau lain mungkin saja akan berujung dengan tindak kekerasan yang sama; peluang terbaik mereka untuk selamat, menurut perhitungan Letnan Bligh, adalah berlayar langsung menuju Kupang, permukiman orang Belanda di pulau Timor, dengan memanfaatkan perbekalan yang ada di dalam perahu.[n 9] Pelayaran menuju Kupang akan menempuh jarak sejauh 3.500 mil laut (6.500 km atau 4.000 mil) ke arah barat, melintasi Selat Endeavour, dan oleh karena itu persediaan makanan harus dijatah sebanyak satu ons roti dan seperempat pin air minum untuk tiap-tiap orang dalam sehari. Rencana ini disepakati dengan suara bulat.[106][107] Keadaan alam sangat tidak bersahabat. Perahu berlayar di bawah guyuran hujan dan amukan badai, sementara gelombang-gelombang setinggi gunung terus-menerus mengancam keselamatan seisi perahu.[108] Bilamana matahari bersinar, Letnan Bligh menulis dalam catatan harian perjalanannya bahwa hal itu "memberi kami kesenangan sebagaimana musim dingin selama satu hari di Inggris".[109] Letnan Bligh berusaha untuk terus menulis dalam buku catatan perjalanannya sepanjang pelayaran. Ia melakukan pengamatan, menggambar sketsa, dan membuat peta selama berlayar ke barat. Untuk membangkitkan semangat para penumpang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika berlayar, menyuruh mereka bernyanyi, dan kadang-kadang berdoa bersama.[110] Pelayaran Letnan Bligh dengan perahu barkas ini adalah pelayaran pertama bangsa Eropa melewati Kepulauan Fiji.[111] Mereka tidak berani singgah di kepulauan itu karena sudah mendengar kabar tentang praktik kanibalisme penduduknya.[112][n 10] Pada 17 Mei, Letnan Bligh mencatat, "keadaan kami sungguh-sungguh sengsara; selalu basah kuyup, dan menggigil kedinginan ... tanpa satu pun tempat bernaung dari terpaan cuaca".[114] Seminggu kemudian, langit tampak cerah dan burung-burung terlihat beterbangan di angkasa, pertanda bahwa mereka sudah dekat dengan daratan.[115] Pada 28 Mei, gugusan Karang Penghalang Besar telah terlihat; Letnan Bligh menemukan celah yang dapat dilalui dan berhasil melayarkan barkas memasuki perairan laguna yang teduh.[116] Petang hari itu, ia melabuhkan barkas di sebuah pulau kecil yang ia namakan Pulau Pemulihan (bahasa Inggris: Restoration Island). Para penumpang barkas menemukan banyak sekali kerang dan buah buni di pulau itu, lalu menyantapnya dengan lahap.[117][118] Selama empat hari berikutnya, rombongan itu berlayar menuju perairan utara laguna, sadar bahwa tindak-tanduk mereka tidak lepas dari pengamatan penduduk pribumi di daratan Benua Australia.[119] Perselisihan mulai timbul dalam rombongan itu; akibat berdebat sengit dengan William Purcell, Letnan Bligh menyambar sebilah kelewang dan menantang Si Tukang Kayu untuk bertarung. John Fryer menyuruh Cole untuk membekuk Letnan Bligh, tetapi ia tidak berkutik ketika Letnan Bligh mengancam akan membunuhnya jika berani ikut campur.[120] Pada 2 Juni, barkas melewati Tanjung York, ujung utara Benua Australia. Letnan Bligh mengalihkan haluan ke arah barat daya, dan mengemudikan barkas melalui perairan yang dipenuhi gumuk, terumbu, beting, dan pulau-pulau kecil. Jalur yang mereka tempuh tidak melewati Selat Endeavour, tetapi sebuah selat lain yang lebih sempit di sebelah selatan. Di kemudian hari, selat sempit ini dinamakan Selat Pangeran Wales. Pada pukul 20:00 malam itu, mereka akhirnya memasuki Laut Arafura,[121] masih 1.100 mil laut (2.000 km; 1.300 mil) jaraknya dari Kupang.[122] Delapan hari berikutnya adalah hari-hari terberat sepanjang pelayaran barkas, dan pada 11 Juni, banyak penumpang barkas yang sudah nyaris pingsan. Keesokan harinya, garis pantai pulau Timor telah terlihat. "Aku tidak mampu menggambarkan betapa besarnya rasa sukacita yang meliputi kami karena beroleh karunia melihat pulau itu," tulis Letnan Bligh.[123] Pada 14 Juni, sambil mengibarkan selembar bendera Union Jack yang dibuat ala kadarnya, mereka berlayar menghampiri dermaga pelabuhan Kupang.[114] Setibanya di Kupang, Letnan Bligh melaporkan peristiwa dahagi yang mereka alami kepada pejabat setempat, dan mengirimkan sepucuk surat kepada istrinya. Dalam surat itu ia menulis, "ketahuilah, Sayangku Betsey, aku telah kehilangan Bounty ..."[124] Juru Taman Nelson yang tidak tahan dengan kerasnya iklim Kupang akhirnya meninggal dunia.[125] Pada 20 Agustus, sisa rombongan berangkat menuju Batavia (sekarang Jakarta) untuk menunggu kapal yang akan berlayar ke Eropa;[126] Juru Masak Thomas Hall meninggal di Batavia, setelah jatuh sakit selama berminggu-minggu.[127] Letnan Bligh berhasil mendapatkan surat pas bagi dirinya, Juru Tulis Nakhoda John Samuel, dan Bujang Nakhoda John Smith. Ketiganya berangkat meninggalkan Batavia pada 16 Oktober 1789.[128] Empat anggota rombongan yang tersisa—Mualim William Elphinstone, Juru Mudi Peter Linkletter, Tukang Jagal Robert Lamb, dan Juru Bedah Bantu Thomas Ledward—semuanya meninggal dunia di Batavia atau mungkin pula meninggal dalam pelayaran pulang ke Inggris.[129][130] Bounty di bawah pimpinan Fletcher ChristianSetelah ditinggalkan rombongan penumpang perahu barkas yang dipimpin Letnan Bligh, Fletcher Christian membagi barang-barang yang ditinggalkan anggota rombongan Letnan Bligh kepada awak kapal yang tersisa dan membuang semua bibit pohon sukun ke laut.[131] Ia menyadari bahwa Letnan Bligh mungkin saja berhasil bertahan hidup sehingga dapat mengadukan peristiwa dahagi itu, lagi pula ketidakpulangan Bounty ke Inggris akan memicu tindakan pencarian, dan Tahiti adalah tempat pertama yang akan ditelusuri. Oleh karena itu, Fletcher Christian melayarkan Bounty menuju sebuah pulau kecil yang bernama Tubuai, sekitar 450 mil laut (830 km; 520 mil) dari selatan Tahiti.[132] Pulau Tubuai ditemukan dan dipetakan seadanya oleh Kapten Cook. Selain satu selat sempit, pulau itu sepenuhnya dikelilingi terumbu karang dan, menurut perkiraan Fletcher Christian, akan mudah untuk dipertahankan bilamana diserang dari laut.[133] Bounty berlabuh di Tubuai pada 28 Mei 1789, akan tetapi masyarakat pribumi pulau itu menunjukkan sikap permusuhan. Ketika searmada kecil perahu perang pribumi dikayuh menghampiri kapal, Fletcher Christian menembakkan empat pucuk meriam untuk menghalau mereka. Sekurang-kurangnya selusin penyerang tewas terbunuh, sementara sisanya kocar-kacir membubarkan diri. Tidak termakan gertakan penduduk pribumi, Fletcher Christian beserta serombongan awak bersenjata menjelajahi pulau itu, dan merasa pulau itu cukup layak untuk ditinggali.[134] Meskipun demikian, untuk mendirikan sebuah permukiman yang permanen, mereka membutuhkan tenaga kerja pribumi dan perempuan untuk dijadikan pendamping hidup. Tempat yang paling memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan tenaga kerja pribumi dan kaum perempuan adalah Tahiti, sehingga Bounty kembali ke Tahiti pada 6 Juni. Untuk memperdaya para kepala suku Tahiti demi kepentingan mereka, Fletcher Christian mengarang cerita bahwa ia, Letnan Bligh, dan Kapten Cook telah mendirikan sebuah permukiman baru di Aitutaki. Nama besar Kapten Cook membuat para kepala suku dengan murah hati menyumbangkan ternak dan barang-barang lain. Pada 16 Juni, Bounty berlayar kembali ke Tubuai membawa banyak perbekalan beserta 30 orang laki-laki dan perempuan Tahiti, beberapa di antaranya ikut berlayar karena telah teperdaya.[135][136] Selama dua bulan berikutnya, Fletcher Christian dan rombongannya bekerja keras membangun permukiman di Tubuai. Mereka mulai membangun sebuah kampung yang dikelilingi parit pertahanan dan menamakannya "Fort George", dari nama raja Inggris. Kampung ini akan mereka gunakan sebagai kubu pertahanan bilamana diserang dari darat maupun laut.[135] Fletcher Christian berusaha membina hubungan baik dengan kepala-kepala suku di Tubuai, tetapi kehadiran rombongannya di pulau itu tidak disambut baik.[137] Warga Fort George terus-menerus bersengketa dengan penduduk pribumi, terutama menyangkut harta benda dan kaum perempuan. Sengketa ini berpuncak pada sebuah pertempuran yang berakibat tewasnya 66 warga pribumi dan banyak korban luka-luka.[138] Perselisihan mulai timbul di kalangan para awak Bounty, dan Fletcher Christian pun merasa kewibawaannya selaku pemimpin mulai runtuh. Ia menggelar sebuah pertemuan untuk membahas rencana-rencana selanjutnya dan melakukan pemungutan suara. Delapan awak kapal tetap setia pada Fletcher Christian, yakni para pendahagi garis keras, tetapi enam belas awak kapal ingin kembali ke Tahiti dan mengadu peruntungan mereka di sana. Fletcher Christian menerima hasil pemungutan suara ini; dan bilamana sudah menurunkan mayoritas awak kapal di Tahiti, ia berencana untuk "berlayar ke mana saja angin bertiup, dan ... mendarat di pulau pertama yang dihampiri kapal. Mengingat segala sesuatu yang telah kuperbuat, tidak mungkin lagi aku menetap di Tahiti".[137] Perpecahan kelompok pendahagiKetika Bounty kembali ke Tahiti pada 22 September, sambutan yang diterima para awaknya tidak lagi seramah yang sudah-sudah. Dari keterangan para awak sebuah kapal Inggris yang menyinggahi pulau itu, orang-orang Tahiti akhirnya menyadari bahwa cerita tentang pendirian permukian di Aitutaki oleh Kapten Cook dan Letnan Bligh hanyalah akal-akalan Fletcher Christian belaka, dan Kapten Cook ternyata sudah lama meninggal.[139] Fletcher Christian khawatir orang-orang Tahiti akan menyerang mereka, sehingga tidak berlama-lama berlabuh di Tahiti. Dari 16 awak kapal yang berniat menetap di Tahiti, hanya 15 orang yang ia izinkan mendarat; Joseph Coleman ditahan untuk tetap tinggal, karena Fletcher Christian membutuhkan keahliannya sebagai juru senjata.[140] Malam hari itu, Fletcher Christian mengundang sejumlah orang Tahiti untuk bersenang-senang di atas Bounty, sebagian besar di antaranya adalah kaum perempuan. Ketika semua orang sedang asyik berpesta, Fletcher Christian menebas tambang jangkar dan berlayar meninggalkan perairan Tahiti membawa serta para tamunya.[141] Joseph Coleman berhasil meloloskan diri dengan cara terjun ke laut dan berenang sampai ke pantai.[140] Di antara orang-orang Tahiti yang diculik Fletcher Christian terdapat enam orang perempuan tua. Mereka diturunkan di Pulau Mo'orea, tak jauh dari Tahiti, karena Fletcher Christian menganggap mereka tidak berguna.[142] Bounty kini berlayar membawa sembilan orang pendahagi—Fletcher Christian, Ned Young, Matthew Quintal, William Brown, Isaac Martin, John Williams, William McCoy, John Mills, dan John Adams (yang dikenali oleh para awak kapal dengan nama "Alexander Smith")[143]—dan 20 orang Polinesia, 14 orang di antaranya adalah perempuan.[144] Keenam belas awak Bounty yang tinggal di Tahiti mulai membina kehidupan mereka di tempat yang baru.[145] Sekelompok awak kapal, dipimpin oleh James Morrison dan Thomas McIntosh, mulai mengerjakan sebuah sekunar yang mereka namakan Resolution, seperti nama kapal Kapten Cook.[146] Morrison bukan seorang pendahagi garis keras; ketimbang menunggu dibekuk, ia berniat untuk berlayar dengan sekunar itu ke Hindia Timur Belanda dan menyerahkan diri kepada pemerintah di sana, dengan harapan tindakan ini akan membuktikan ketidakbersalahannya. Kelompok yang dipimpin James Morrison tetap mempertahankan rutinitas dan tata tertib kapal, sampai-sampai setiap hari minggu mereka beribadah bersama-sama.[147][n 11] Di lain pihak, Churchill dan Matthew Thompson memilih menjalani hidup mereka dengan bermabuk-mabukan dan menuruti hawa nafsu yang pada akhirnya membuat keduanya tewas terbunuh. Churchill dibunuh oleh Thompson, dan Thompson dibunuh oleh kawan-kawan pribumi Churchill.[149] Awak kapal selebihnya, seperti Stewart dan Peter Heywood, menjalani hidup berumah tangga dengan tenang; Peter Heywood menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari bahasa Tahiti.[145] Ia berpakaian seperti orang pribumi, dan memenuhi tubuhnya dengan tato sesuai dengan adat istiadat Tahiti.[150] GanjaranMisi HMS PandoraKetika Letnan Bligh mendarat di Inggris pada 14 Maret 1790, berita tentang peristiwa dahagi sudah lebih dahulu tersiar sehingga ia disambut laksana seorang pahlawan. Pada bulan Oktober 1790, dalam sidang mahkamah militer yang digelar untuk mengusut kerugian akibat hilangnya HMS Bounty, ia dibebaskan secara terhormat dari tanggung jawab atas hilangnya kapal itu, dan dianugerahi kenaikan pangkat menjadi kapten berdinas. Selain itu, Letnan Bligh juga memperkarakan William Purcell dengan dakwaan lalai dan membangkang selama bertugas; mantan tukang kayu HMS Bounty itu pun diberi surat teguran resmi.[151][152] Pada bulan November 1790, Kelaksamanaan Britania memberangkatkan pergata HMS Pandora di bawah pimpinan Kapten Edward Edwards dengan misi membekuk para pendahagi dan membawa mereka pulang ke Inggris untuk diadili.[153] Pandora tiba di Tahiti pada 23 Maret 1791, dan dalam hitungan hari sudah berhasil menahan keempat belas awak Bounty yang masih hidup, baik yang ditangkap maupun yang menyerahkan diri.[154] Kapten Edwards tidak membedakan antara para pelaku dahagi dan awak kapal yang mengaku terpaksa tetap tinggal di atas Bounty;[155] semuanya dijebloskan ke dalam kurungan khusus yang dibangun di atas geladak penggal HMS Pandora; kurungan ini dijuluki "Kotak Pandora".[156] HMS Pandora berlabuh di Tahiti selama lima minggu, menunggu Kapten Edwards yang berusaha mencari keterangan mengenai keberadaan Bounty; usaha Kapten Edwards menemui jalan buntu. Pandora akhirnya bertolak dari Tahiti pada 8 Mei, untuk mencari Fletcher Christian dan HMS Bounty di antara ribuan pulau di Pasifik Selatan.[157] Selain beberapa batang layar di Pulau Palmerston, tidak ada jejak lain yang ditinggalkan kapal buron itu.[158] Kapten Edwards melanjutkan usaha pencarian sampai dengan bulan Agustus, kemudian memutar haluan ke arah barat dan berlayar menuju Hindia Timur Belanda.[159] Pada 29 Agustus 1791, Pandora melanggar tepi luar gugusan Karang Penghalang Besar. Para tahanan di dalam "Kotak Pandora" diabaikan karena awak kapal sibuk berusaha mencegah karamnya kapal. Setelah Kapten Edwards memberi perintah untuk meninggalkan kapal, barulah juru senjata Pandora bergegas membuka belenggu para tahanan, tetapi kapal telanjur tenggelam sebelum semua tahanan dilepaskan dari belenggu. Peter Heywood dan sembilan orang tahanan lain berhasil selamat, tetapi empat awak Bounty—George Stewart, Henry Hillbrant, Richard Skinner, dan Sumner—tenggelam bersama 31 orang awak Pandora. Para penyintas, termasuk sepuluh tahanan yang tersisa, selanjutnya berlayar ke Kupang dengan sebuah perahu tanpa atap. Jalur pelayaran mereka nyaris sepenuhnya meniru jalur yang ditempuh Kapten Bligh dua tahun sebelumnya. Kaki dan tangan para tahanan diikat hampir sepanjang waktu sampai perahu itu berlabuh di Kupang pada 17 September.[160][161] Para tahanan dikurung selama tujuh pekan, mula-mula di dalam rumah tahanan namun kemudian dipindahkan ke atas sebuah kapal Kompeni Belanda, sebelum akhirnya diberangkatkan ke Bandar Kaapstad di Tanjung Harapan.[162] Pada 5 April 1792, para tahanan diberangkatkan ke Inggris dengan kapal perang Britania, HMS Gorgon, dan tiba di Portsmouth pada 19 Juni. Mereka dipindahkan ke kapal jaga HMS Hector sambil menunggu disidang. Kesepuluh tahanan yang akan disidang adalah tiga awak pendukung Letnan Bligh yang dipaksa tinggal—Joseph Coleman, Thomas McIntosh, dan Charles Norman—yakni orang-orang yang dijanjikan akan dibela oleh Letnan Bligh, si buta pemain biola, yakni Michael Byrne (atau "Byrn"), Peter Heywood, James Morrison, dan empat orang pelaku dahagi, yakni Thomas Burkett, John Millward, Thomas Ellison, dan William Muspratt.[163] Kapten Bligh, yang telah diberi tugas mengepalai pelayaran HMS Providence dalam rangka mengangkut bibit pohon sukun untuk kedua kalinya, telah bertolak dari Inggris pada bulan Agustus 1791,[164] sehingga tidak dapat mengikuti proses persidangan.[165] Sidang, putusan, dan pidanaSidang mahkamah militer dibuka pada 12 September 1792 di atas kapal HMS Duke yang sedang berlabuh di pelabuhan Portsmouth, oleh Laksamana Madya Lord Hood, Panglima Pangkalan Portsmouth, selaku hakim ketua.[166] Sanak saudara Peter Heywood mendatangkan beberapa orang penasihat hukum yang ahli di bidangnya untuk mendampinginya dalam proses peradilan;[167] di antara para terdakwa selain Peter Heywood, hanya William Muspratt yang didampingi penasihat hukum.[168] Para penyintas yang ikut berlayar dengan Kapten Bligh bersaksi menentang para mantan rekan mereka; kesaksian Thomas Hayward dan John Hallett secara khusus memberatkan Peter Heywood dan James Morrison, yang mengaku tidak pernah berniat melakukan dahagi dan datang ke Pandora untuk menyerahkan diri secara sukarela.[169] Majelis hakim tidak meragukan kesaksian Joseph Coleman, Thomas McIntosh, Charles Norman, dan Michael Byrne; keempat-empatnya dibebaskan dari segala dakwaan.[170] Pada 18 September, enam terdakwa yang tersisa diputus bersalah melakukan tindak pidana dahagi dan diganjari hukuman mati dengan cara digantung, majelis hakim merekomendasikan pengampunan terhadap Peter Heywood dan James Morrison setelah "menimbang dari berbagai segi".[171] Pada 26 Oktober 1792, Peter Heywood dan James Morrison mendapatkan pengampunan dari Raja George III dan dibebaskan. Melalui pengacaranya, William Muspratt berhasil mendapatkan penundaan eksekusi dengan mengajukan petisi memprotes aturan mahkamah militer yang menghalanginya untuk menghadapkan Charles Norman dan Michael Byrne sebagai saksi yang dapat meringankan pihaknya.[172] Ia masih menunggu tindak lanjut dari petisi itu ketika Thomas Burkett, Thomas Ellison dan John Millward dieksekusi mati dengan cara digantung pada batang layar kapal HMS Brunswick di galangan kapal Portsmouth pada 28 Oktober. Beberapa berita mengklaim bahwa ketiga terpidana mati itu terus-menerus menyatakan dirinya tidak bersalah sampai saat-saat terakhir,[173] sementara berita lain mengisahkan tentang "keteguhan hati mereka yang ... membuat semua orang kagum melihatnya".[174] Sejumlah berita yang kurang sedap juga muncul di media massa, yakni kecurigaan bahwa "uang telah membeli nyawa bagi beberapa orang, sementara yang lain justru berkorban nyawa karena miskin."[175] Berita bahwa Peter Heywood mewarisi harta kekayaan yang besar ternyata tidak benar; meskipun demikian, Greg Dening berpendapat bahwa "pada akhirnya kelas sosial atau relasi atau kedekatanlah yang menjadi penentu nasib."[175] Pada bulan Desember, William Muspratt menerima kabar bahwa hukumannya telah dibatalkan, dan pada 11 Februari 1793, ia juga mendapatkan pengampunan serta dibebaskan.[176] KesudahanSebagian besar dari kesaksian yang disampaikan dalam sidang mahkamah militer itu mencela sikap Kapten Bligh—ketika ia sampai ke Inggris pada bulan Agustus 1793, setelah berhasil mengangkut bibit pohon sukun ke Hindia Barat dengan kapal Providence, opini di kalangan militer maupun masyarakat umum sudah berbalik menentang dirinya.[177] Ia tidak disambut dengan hangat di Kelaksamanaan Britania tatkala menyerahkan laporan pelayarannya, dan dirumahkan dengan setengah gaji selama 19 bulan sebelum diberi penugasan berikutnya.[178] Menjelang akhir 1794, Edward Christian, saudara Fletcher Christian yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum, menerbitkan Appendix (lampiran penjelasan) atas berita acara sidang mahkamah militer, yang oleh media massa diberitakan bertujuan "memperlunak perilaku Fletcher Christian beserta para pendahagi, dan menyudutkan Kapten Bligh sebagai seorang penjahat".[179] Citra Kapten Bligh kian terpuruk setelah Juru Tembak William Peckover, yang berpihak padanya ketika peristiwa dahagi berlangsung, mengakui bahwa banyak dari dakwaan terhadap Kapten Bligh dalam Appendix itu memang benar.[180] Kapten Bligh menakhodai HMS Director dalam Pertempuran Camperdown pada bulan Oktober 1797 dan HMS Glatton dalam Pertempuran Kopenhagen pada bulan April 1801.[14] Pada 1805, ketika menakhodai HMS Warrior, ia dihadapkan ke sidang mahkamah militer akibat berkata-kata kasar kepada para perwiranya, dan diberi surat peringatan resmi.[181] Pada 1806, ia diangkat menjadi Gubernur New South Wales di Australia; setelah dua tahun bertugas, ia dibekuk dan didepak dari jabatannya oleh sekelompok perwira militer dalam peristiwa Pemberontakan Rum. Sekembalinya ke Inggris, Kapten Bligh dinaikkan pangkatnya menjadi laksamana muda pada 1811 dan kemudian menjadi laksamana madya pada 1814, tetapi tidak pernah lagi diberi tugas berlayar. Ia meninggal saat berusia 63 tahun, pada bulan Desember 1817.[14] Kedua pelaku dahagi yang menerima pengampunan, yakni Peter Heywood dan James Morrison, kembali bertugas dalam dinas Angkatan Laut Kerajaan Britania. Peter Heywood menjadi orang dekat Laksamana Hood, dan pada 1803, saat baru berusia 31 tahun, telah berhasil mendapatkan pangkat kapten. Setelah menjalani kariernya dengan cemerlang, ia meninggal pada 1831.[177] James Morrison menjadi seorang kepala juru tembak, dan pada 1807, dinyatakan hilang dalam peristiwa karamnya HMS Blenheim di Samudra Hindia. William Muspratt diyakini bekerja sebagai seorang pramugara kapal Angkatan Laut Kerajaan Britania dan meninggal pada atau sebelum tahun 1798. Awak Bounty lainnya yang juga tampil dalam persidangan—John Fryer, William Peckover, Joseph Coleman, Thomas McIntosh dan lain-lain—menghilang dari perhatian khalayak ramai sampai dengan berakhirnya proses peradilan.[182] Pulau PitcairnBermukimSetelah bertolak dari Tahiti pada 22 September 1789, Fletcher Christian mula-mula melayarkan Bounty ke arah barat dalam rangka mencari tempat persembunyian yang aman, tetapi kemudian terbersit gagasan dalam benaknya untuk menetap di Pulau Pitcairn yang terletak jauh di sebelah timur Tahiti; keberadaan pulau ini sudah pernah dilaporkan pada 1767, tetapi lokasi persisnya tidak pernah dipastikan. Setelah mencari selama berbulan-bulan, Fletcher Christian akhirnya menemukan pulau itu pada 15 Januari 1790, 188 mil laut (348 km; 216 mil) di sebelah timur lokasi yang pernah dilaporkan.[183] Kekeliruan pencatatan garis bujur pulau ini menjadi salah satu faktor yang mendorong para pendahagi untuk menetap di Pulau Pitcairn.[184] Setelah kapal berlabuh, awak kapal segera membongkar muatan dan mempreteli sebagian besar tiang dan tonggak kapal untuk digunakan di darat.[180] Bounty selanjutnya dibakar dan dihancurkan pada 23 Januari, mungkin atas kesepakatan bersama guna mencegah keberadaannya diketahui atau mungkin pula diam-diam dibakar oleh Matthew Quintal tanpa persetujuan yang lain—dengan demikian tidak ada lagi sarana untuk keluar dari pulau itu.[185] Pulau Pitcairn ternyata sangat layak bagi para pendahagi untuk dijadikan tempat persembunyian—tidak berpenghuni, dan nyaris tidak dapat didatangi, memiliki makanan yang berlimpah, sumber air bersih, dan tanah yang subur.[183] Untuk sementara waktu para pendahagi dan orang-orang Tahiti hidup berdampingan dengan damai. Fletcher Christian hidup berkeluarga dengan Isabella. Pasangan ini menurunkan seorang putra yang diberi nama Thursday October Christian, dan beberapa orang anak lagi.[186] Kewibawaan Fletcher Christian selaku pemimpin lambat laun meredup, dan ia sendiri semakin hari semakin tenggelam dalam lamunan dan penyesalan diri.[187] Lambat laun, ketegangan dan persaingan mulai timbul akibat tindakan orang-orang Eropa yang memperlakukan orang-orang Tahiti seperti hak milik mereka, khususnya kaum perempuan yang, menurut Caroline Alexander, "diedarkan dari satu 'suami' ke 'suami' lain".[185] Pada bulan September 1793, ketegangan dan persaingan ini memuncak menjadi tindak kekerasan, manakala lima orang pendahagi—Fletcher Christian, John Williams, Isaac Martin, John Mills, dan William Brown—tewas di tangan orang-orang Tahiti dalam serangkaian aksi pembunuhan terencana yang dilaksanakan dengan cermat. Fletcher Christian dibunuh saat sedang menggarap ladangnya. Mula-mula ia ditembak dan kemudian dijagal dengan menggunakan kapak; konon kata-kata terakhir yang diucapkannya adalah "oh, dear" (astaga).[188][n 12] Pertikaian terus berlangsung, dan pada 1794, enam orang laki-laki Tahiti tewas dibunuh para janda pendahagi ataupun akibat saling bunuh.[190] Dua dari empat pendahagi yang tersisa, yakni Ned Young dan John Adams, mengambil alih kepemimpinan dan berhasil menenangkan keadaan. Akan tetapi kedamaian kembali terusik oleh ulah mabuk-mabukan William McCoy dan Matthew Quintal setelah William McCoy berhasil menyuling arak dari sejenis tumbuhan di pulau itu.[183] Beberapa orang perempuan mencoba meninggalkan pulau itu dengan menggunakan perahu buatan mereka, tetapi mereka tidak berhasil melayarkan perahu buatan ala kadarnya itu. Kehidupan berlanjut dalam ketegangan sampai William McCoy bunuh diri pada 1798. Setahun kemudian, ketika Matthew Quintal mengancam akan membunuh dan mengacau, John Adams dan Ned Young membunuhnya, sehingga ketenteraman pun akhirnya dapat dipulihkan.[191] Ditemukan kembaliSetelah Ned Young meninggal dunia karena sakit asma pada 1800, John Adams mengambil alih tanggung jawab untuk memperhatikan pendidikan dan kesejahteraan sembilan perempuan dan 19 kanak-kanak yang tersisa. Dengan menggunakan Alkitab milik kapal Bounty, ia mengajari mereka baca tulis dan agama Kristen, serta memelihara ketenteraman di pulau itu.[184] Seperti inilah keadaan di Pulau Pitcairn pada bulan Februari 1808, manakala para awak kapal pemburu anjing laut Amerika yang bernama Topaz secara tidak sengaja sampai ke Pulau Pitcairn, mendarat, dan mendapati sekelompok masyarakat yang sudah berkembang subur kala itu.[192] Kabar penemuan Topaz baru sampai ke Inggris pada 1810, tetapi diabaikan oleh Kelaksamanaan Britania yang sedang sibuk berperang melawan Prancis. Pada 1814, dua kapal perang Britania, HMS Briton dan HMS Tagus, menyinggahi Pitcairn di luar rencana. Thursday October Christian dan putra Ned Young yang bernama George ikut serta menyongsong kedatangan kedua kapal itu[193]—para nakhoda Briton dan Tagus, yakni Sir Thomas Staines dan Philip Pipon, melaporkan bahwa putra Fletcher Christian memperlihatkan "raut muka yang memancarkan kebaikan hati, semua ciri wajah seorang Inggris yang jujur".[194] Ketika turun ke darat, mereka mendapati masyarakat berjumlah 46 jiwa yang sebagian besar berusia muda di bawah pimpinan John Adams.[194] Kedua nakhoda kapal perang itu memahami dengan jelas bahwa kesejahteraan warga Pulau Pitcairn sepenuhnya bergantung pada John Adams.[195] Setelah menerima laporan Sir Thomas Staines, Kelaksamanaan Britania memutuskan untuk tidak mengambil tindakan apa-apa. Pada tahun-tahun berikutnya, banyak kapal menyinggahi Pulau Pitcairn dan mendengarkan berbagai cerita dari John Adams mengenai pendirian permukiman di pulau itu.[195] John Adams meninggal dunia pada 1829, dan dikenang sebagai bapak pendiri dan pemimpin sekelompok masyarakat yang pada abad berikutnya sering digembar-gemborkan sebagai contoh dari hasil penerapan tata susila zaman Victoria.[183] Dari tahun ke tahun, banyak artefak Bounty yang diangkat kembali dan dijual oleh warga Pulau Pitcairn sebagai cenderamata; pada 1999, sebuah konsorsium lembaga-lembaga akademik dan sejarah Australia membentuk "Proyek Pitcairn" untuk menyurvei dan mendokumentasikan seluruh sisa-sisa Bounty di situsnya, sebagai bagian dari kajian terperinci mengenai perkembangan permukiman di pulau itu.[196] Dampak budayaAnggapan bahwa William Bligh adalah seorang tiran yang pongah berawal dari Appendix yang ditulis Edward Christian pada 1794.[197] Selain catatan perjalanan William Bligh, tulisan tentang peristiwa dahagi di atas Bounty yang pertama kali diterbitkan adalah buku karya Sir John Barrow yang diterbitkan pada 1831. Sir Barrow adalah salah seorang kenalan akrab keluarga Heywood; dalam bukunya, peran Peter Heywood agak diperlunak, sementara kekejaman Bligh sengaja ditonjolkan.[198] Buku ini pula yang memunculkan legenda bahwa Fletcher Christian tidak meninggal di Pulau Pitcairn, tetapi berhasil pulang ke Inggris dan pernah terlihat oleh Peter Heywood di Plymouth, sekitar tahun 1808–1809.[199] Keterangan yang ditulis pada 1870 oleh putri tiri Peter Heywood, Diana Belcher, semakin mempermulus citra Peter Heywood dan Fletcher Christian dan, menurut Caroline Alexander, "mengekalkan ... banyak kebohongan yang telah berhasil menyusup masuk ke dalam kisah tentang peristiwa dahagi ini".[198] Selain banyak buku dan artikel, ada pula lima buah film tentang peristiwa dahagi ini yang diproduksi pada abad ke-20. Yang pertama adalah sebuah film bisu produksi Australia pada 1916 yang kini telah musnah.[200] Yang kedua, juga produksi Australia, adalah sebuah film keluaran 1933 yang berjudul In the Wake of the Bounty, film layar lebar pertama yang dibintangi oleh Errol Flynn, pemeran tokoh Fletcher Christian.[200] Dampak film ini terkalahkan oleh Mutiny on the Bounty, film produksi MGM pada 1935 yang didasarkan atas novel karya Charles Nordhoff dan James Norman Hall dengan judul yang sama, dibintangi oleh Charles Laughton sebagai William Bligh dan Clark Gable sebagai Fletcher Christian. Menurut sejarawan Greg Dening, film ini menyajikan peristiwa dahagi di atas Bounty sebagai suatu "kisah pertentangan klasik antara tirani dan keadilan";[201] Peran Charles Laughton dalam film ini telah membentuk kesan yang kuat dalam benak masyarakat bahwa William Bligh adalah "wujud nyata dari tirani yang sadis".[202] Dua film besar berikutnya, yakni Mutiny on the Bounty (1962) yang dibintangi Trevor Howard dan Marlon Brando, serta The Bounty (1984) yang dibintangi Anthony Hopkins dan Mel Gibson, lebih banyak mengekalkan citra William Bligh sebagai tiran yang sadis, dan citra Fletcher Christian sebagai pahlawan yang bernasib malang. Film yang terakhir malah menambahkan unsur homoerotisme ke dalam hubungan antara William Bligh dan Fletcher Christian.[201] Para sejarawan yang berusaha menampilkan William Bligh sebagai pribadi yang lebih simpatik antara lain adalah Richard Hough (1972) dan Caroline Alexander (2003). Richard Hough menggambarkan sosok William Bligh sebagai "seorang pemimpin tanpa tanding dalam cuaca buruk ... Aku bersedia menerjang maut dan gelombang tinggi bersamanya, tetapi tak sehari pun aku mau berlayar sekapal dengannya mengarungi laut yang teduh".[203] Caroline Alexander menampilkan William Bligh sebagai pribadi yang khawatir secara berlebihan, peduli pada keselamatan anak buah, dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas. Ia bernasib malang karena bertindak di waktu yang tidak tepat; kisah peristiwa dahagi ini mulai dikenal secara luas ketika para penyair Angkatan Romantis untuk pertama kalinya menguasai panggung kesusastraan. Pendukung utama William Bligh adalah Sir Joseph Banks, sementara Fletcher Christian didukung oleh William Wordsworth dan Samuel Taylor Coleridge. Para pembedah buku karya Caroline Alexander dalam surat kabar Baltimore Sun menulis bahwa "puisi telah mengalahkan ilmu pengetahuan, dan semenjak itu masih tetap menguasai medan tempur".[202] Pada 1998, menjelang penayangan sebuah film dokumenter produksi BBC yang bertujuan memulihkan nama baik William Bligh, keturunan dari William Bligh dan Fletcher Christian memperdebatkan kisah peristiwa dahagi versi mereka masing-masing. Dea Birkett, pemandu acara itu, berpendapat bahwa "[kisah] Christian melawan Bligh telah menjadi lambang pemberontakan melawan kesewenang-wenangan, kehidupan terkekang melawan kehidupan bebas, dan pengendalian hawa nafsu melawan pengumbaran syahwat."[204] Keterangan dan rujukanKeterangan
Rujukan
Daring
Surat kabar
Kepustakaan
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|