Cilongkrang adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia.
Cilongkrang juga memiliki sejarah yang erat hubunganya tentang era kolonial Belanda, yang mana sampai saat ini pun masih ada bekas peninggalan bangunan bekas zaman penjajahan Belanda.
Di desa kecil ini masyarakatnya cendrung majemuk dalam hal bahasa maupun kebudayaan. Masyarakatnya fasih berbahasa jawa khas banyumasan dan juga sunda, karena memang letak geografisnya yang memang tidak jauh dari perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dalam hal ekonomi penduduk cilongkrang mengandalkan pertanian Dan sebagian bekerja Di Perkebunan karet milik negara,lalu sebagian besar memilih pergi dari desa dan merantau ke kota-kota besar.
Arkeologi
Sebuah patung lembu Nandini dan sebuah yoni ditemukan di
Gunung Jambu.
Patung lembu andini itu ditemukan dalam keadaan mendekam.
Dan terpecah menjadi tiga bagian. Dua bagian di antaranya
merupakan badan sapi yang patah. Dan yang satunya adalah
kepala sapi yang lepas dari badannya. Sedangkan, yoni saat
ditemukan dalam keadaan terpecah menjadi empat.
Banyak versi cerita yang mengikuti keberadaan tempat
tersebut. Mulai dari sebagai tempat petilasan Syekh Abdul
Qadir Jaelani (seorang ulama terkenal zaman dulu).
Orang tua yang dianggap sebagai saksi atas keberadaan tempat
itu pun kebanyakan sudah meninggal dunia. Satu-satunya saksi
yang sekarang masih dapat dimintai keterangan hanya R
Kasbini (70). Seorang pensiunan Pengawas Kebudayaan pada
Depdikbud Kecamatan Wanareja Cilacap. Dia bertugas di
Wanareja antara tahun 1976 dan 1993. Di tangan dia,
sisa-sisa catatan kerja semasa dia bertugas sedikit dapat
merekam keberadaan peninggalan bersejarah itu.
Ditemui SM di rumahnya Dusun Rawalo Desa Pahonjean Majenang
dia menjelaskan, pada 21 Juli 1977 dia memperoleh informasi
tentang Candi Gunung Jambu dari seorang tetua di Desa
Cilongkrang. Orang tersebut yaitu Martadisastra yang waktu
itu berumur 97 tahun. Seorang Bau (perangkat desa)
Cilongkrang antara tahun 1937 dan 1940.
Dalam penjelasannya, Bau tersebut mengungkapkan, berdasarkan
cerita dari orang tua dan kakeknya, gunung itu awalnya berupa
hutan. Kemudian dibuka pada tahun 1907 dan ditemukan ada
candi tersebut. Hanya tata letaknya saja yang sekarang
berubah.
Konon, menurut cerita orang tua dan kakek Martadisastra,
tempat itu merupakan lokasi bertapa dan peristirahatan
seorang syekh, yang oleh masyarakat sekarang dikenal Syekh
Abdul Qadir Jaelani (seorang ulama dari Baghdad). Ulama
tersebut sedianya dalam perjalanan menuju Gunung Lawet di
wilayah Banyumas.
Namun putrinya yang masih bayi wafat di puncak gunung itu
dan dimakamkan di tempat itu yang dikenal dengan Sanghyang
Indit Inditan. Namun pada 30 Juli 1989 datang peneliti dari
Arkeolog Yogyakarta ke lokasi tersebut. Mereka antara lain
Drs Bambang Sulistiyanto dan Drs BugiKusumartono.
Tim menjelaskan, lembu dan yoni merupakan tanda
ke-Hinduan-an. Namun mereka kemudian mempertanyakan
Lingganya di mana? Periode berikutnya, pada 3 Agustus 1990,
Tim dari Arkeolog Pusat Jakarta meneliti candi tersebut.
Secara singkat Kasbini mencatat nama-nama peneliti tersebut.
Mereka adalah Dra Tati dan Dra Dian (keduanya ahli tulisan),
dan Dra Nina seorang ahli arca, serta Waluyo dokumenter.
Dalam folklor setempat, tempat ini dikenal sebagai petilasan
Syekh Abdul Qadir Jaelani. Masyarakat setempat lebih mengenalnya
sebagai petilasan Pembahan Celeng.