Chan Hiang Leng Colin v Public Prosecutor
Chan Hiang Leng Colin v. Public Prosecutor adalah putusan Mahkamah Tinggi Singapura tahun 1994 yang diputuskan oleh Ketua Hakim Yong Pung How. Putusan ini memutuskan bahwa pembubaran Singapore Congregation of Jehovah's Witnesses (Perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa Singapura) sesuai dengan aturan Societies Act (Cap. 311, 1985 Rev. Ed.) dan pelarangan penerbitan buku-buku dan karya yang lain diterbitkan oleh Watch Tower Bible and Tract Society ("WTBTS") sesuai dengan aturan Undesirable Publications Act (Cap. 338, 1985 Rev. Ed.) (kini Cap. 338, 1998 Rev. Ed.), sehingga pemerintah Singapura tidak melanggar jaminan kebebasan beragama yang dilindungi oleh Pasal 15 (1) Konstitusi Singapura. Fakta hukumSaksi-Saksi Yehuwa adalah sebuah denominasi Kristen yang mengajarkan anggotanya untuk tidak terliabt dalam praktek-praktek bernegara atau berpolitik, seperti menghormat kepada bendera Singapura atau bergabung dalam wajib militer. Ajaran penolakan Saksi Yehuwa ini dianggap oleh pemerintah Singapura sebagai gangguan terhadap ketertiban umum. Pada tanggal 14 Januari 1972, pemerintah mengeluarkan dua macam keputusan untuk menanggulangi hal ini:
Pada 2 Juli 1992, polisi menyita bahan cetak dari Saksi-Saksi Yehuwa. Dari sitaan tersebut, tiga belas karya cetak ditemukan melanggar Order 123. Para Saksi Yehuwa dituntut di bawah Order 123 dan dipidana di bawah Pasal 4(2) UPA.[4] Putusan pengadilan pertamaKasus ini disidangkan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri. Saksi-Saksi Yehuwa, sebagai penggugat, mendalilkan dalam pemeriksaan pendahuluan bahwa Order 123 bersifat ultra vires, atau melampaui kewenangan hukumnya, dan melanggar Pasal 15 (1) Konstitusi Singapura,[5] yang menjamin kebebasan beragama. Hakim Pengadilan Negeri menolak dalil tersebut dan memutuskan bahwa Order 123 sah di mata hukum karena mengatur kepentingan ketertiban hukum yang diatur oleh Pasal 3 (1) UPA. Hakim juga memutuskan para penggugat bersalah atas tuduhan kepemilikan karya cetak yang terlarang. Para penggugat kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Tinggi.[6] Putusan Mahkamah TinggiPenggugat mendalilkan pengajuan bandingnya pada tiga pertanyaan mendasar, yang menyangkut hukum administrasi negara dan tata negara:[7]
Pengajuan banding di Mahkamah Tinggi dipimpin oleh Yong Pung How, Ketua Hakim Singapura. Ringkasan putusanPengadilan memutuskan bahwa Order 179 dan Order 123 harus dianggap konstitusional sampai dibuktikan sebaliknya oleh penggugat.[8] Kedua perintah tersebut dikeluarkan oleh pemerintah oleh karena penggugat menolak untuk ikut serta dalam wajib militer, yang dianggap sebagai gangguan terhadap ketertiban umum. Pengadilan tidak dapat mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah dalam hal ini, dan memandang kedua perintah tersebut sebagai hukum positif yang mengikat tentang ketertiban umum, hal yang dikecualikan dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Pasal 15 (4) pada Konstitusi. Pengadilan juga berpandangan bahwa praktek ataupun keyakinan beragama yang melanggar "kedaulatan, kewibawaan, dan persatuan Singapura" harus dibatasi.[9] Pengadilan berpandangan bahwa kedua perintah tersebut beralasan hukum dan sepadan dengan fakta hukum yang terjadi.[10] Perintah larangan bahan cetak WTBTS merupakan sebuah tindakan yang beralasan hukum, karena tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengawasi dan menegakkan larangan selain larangan secara keseluruhan.[11] Pengadilan menerima pandangan pemerintah bahwa penolakan penggugat untuk ikut serta dalam wajib militer mengganggu keamanan nasional dan harus ditindak melalui peraturan ketertiban umum. Dalam hal yurisprudensi, pengadilan menyatakan bahwa kesepadanan bukanlah dalil hukum untuk judicial review dalam hukum administrasi negara Singapura.[12] Pengadilan juga menolak dalil penggugat bahwa keadilan alamiah mereka dilanggar karena mereka tidak diberitahukan sebelum perintah yang dikenakan atas mereka berlaku, menyitir putusan pengadilan Inggris dan Wales tahun 1977 yang memutuskan bahwa prinsip audi alteram partem tidak perlu dipenuhi jika ketertiban umum menuntut sebaliknya.[13] DampakAmnesty International mencatat bahwa penganut keyakinan Saksi-Saksi Yehuwa dianggap sebagai "gangguan terhadap ketertiban umum" di Singapura dan dapat dipenjara atau didenda karena menolak ikut serta dalam wajib militer.[14] Para penganutnya hidup dalam ketakutan akan ditangkap, hilang pekerjaan, tidak mendapatkan izin usaha, dan anak-anak mereka diganggu di sekolah.[15] Meskipun begitu, kajian lain manyatakan bahwa aliran keyakinan yang memiliki ajaran pasifisme biasanya cenderung tidak akan bisa melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban umum.[16] Dalam proses pembahasan Maintenance of Religious Harmony Act[17] di Parlemen pada 23 Februari 1990, Menteri Perdagangan dan Perindustrian merangkap Menteri Pertahanan Kedua Lee Hsien Loong menyatakan bahwa kepercayaan Saksi-Saksi Yehuwa dalam menolak ikut serta dalam wajib militer perlu diakui, namun Singapura tidak dapat menerima conscientious objection karena dapat membuat warga negara lain menolak ikut serta dalam wajib militer atas alasan yang sama, sehingga mengganggu jalannya program wajib militer.[18] Rujukan
Berkas putusan
Karya akademik
|