Pencabutan pendaftaran Singapore Congregation of Jehovah's Witnesses dan pelarangan penerbitan karya-karya yang diterbitkan oleh Watch Tower Bible and Tract Society tidak melanggar konstutsi ataupun ultra vires. Hak atas kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi Singapura dapat dibatasi oleh alasan-alasan ketertiban umum.
Ajaran penolakan Saksi Yehuwa ini dianggap oleh pemerintah Singapura sebagai gangguan terhadap ketertiban umum. Pada tanggal 14 Januari 1972, pemerintah mengeluarkan dua macam keputusan untuk menanggulangi hal ini:
Gazette Notification No. 123 of 1972 ("Order 123"), sesuai Pasal 3 Undesirable Publications Act ("UPA")[1] dikeluarkan oleh Menteri Kebudayaan untuk melarang karya cetak yang diterbitkan oleh Watch Tower Bible and Tract Society ("WTBTS"), organisasi utama Saksi Yehuwa di Singapura.[2]
Gazette Notification No. 179 of 1972 ("Order 179"), sesuai Pasal 24 (1) Societies Act ("SA"),[3] dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk membubarkan Singapore Congregation of Jehovah's Witnesses.
Pada 2 Juli 1992, polisi menyita bahan cetak dari Saksi-Saksi Yehuwa. Dari sitaan tersebut, tiga belas karya cetak ditemukan melanggar Order 123. Para Saksi Yehuwa dituntut di bawah Order 123 dan dipidana di bawah Pasal 4(2) UPA.[4]
Putusan pengadilan pertama
Kasus ini disidangkan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri. Saksi-Saksi Yehuwa, sebagai penggugat, mendalilkan dalam pemeriksaan pendahuluan bahwa Order 123 bersifat ultra vires, atau melampaui kewenangan hukumnya, dan melanggar Pasal 15 (1) Konstitusi Singapura,[5] yang menjamin kebebasan beragama. Hakim Pengadilan Negeri menolak dalil tersebut dan memutuskan bahwa Order 123 sah di mata hukum karena mengatur kepentingan ketertiban hukum yang diatur oleh Pasal 3 (1) UPA. Hakim juga memutuskan para penggugat bersalah atas tuduhan kepemilikan karya cetak yang terlarang. Para penggugat kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Tinggi.[6]
Putusan Mahkamah Tinggi
Penggugat mendalilkan pengajuan bandingnya pada tiga pertanyaan mendasar, yang menyangkut hukum administrasi negara dan tata negara:[7]
Memohon memeriksa apakah Order 179 bertentangan dengan Konstitusi dan ultra vires dengan Pasal 24(1)(a) SA.
Memohon memeriksa apakah Order 123 bertentangan dengan Konstitusi dan ultra vires dengan Pasal 3(1)UPA.
Memohon memeriksa apakah Order 123 tidak beralasan hukum (unreasonable) dan tidak sepadan (disproportionate).
Pengajuan banding di Mahkamah Tinggi dipimpin oleh Yong Pung How, Ketua Hakim Singapura.
Ringkasan putusan
Pengadilan memutuskan bahwa Order 179 dan Order 123 harus dianggap konstitusional sampai dibuktikan sebaliknya oleh penggugat.[8]
Kedua perintah tersebut dikeluarkan oleh pemerintah oleh karena penggugat menolak untuk ikut serta dalam wajib militer, yang dianggap sebagai gangguan terhadap ketertiban umum. Pengadilan tidak dapat mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah dalam hal ini, dan memandang kedua perintah tersebut sebagai hukum positif yang mengikat tentang ketertiban umum, hal yang dikecualikan dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Pasal 15 (4) pada Konstitusi. Pengadilan juga berpandangan bahwa praktek ataupun keyakinan beragama yang melanggar "kedaulatan, kewibawaan, dan persatuan Singapura" harus dibatasi.[9]
Pengadilan berpandangan bahwa kedua perintah tersebut beralasan hukum dan sepadan dengan fakta hukum yang terjadi.[10] Perintah larangan bahan cetak WTBTS merupakan sebuah tindakan yang beralasan hukum, karena tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengawasi dan menegakkan larangan selain larangan secara keseluruhan.[11] Pengadilan menerima pandangan pemerintah bahwa penolakan penggugat untuk ikut serta dalam wajib militer mengganggu keamanan nasional dan harus ditindak melalui peraturan ketertiban umum.
Dalam hal yurisprudensi, pengadilan menyatakan bahwa kesepadanan bukanlah dalil hukum untuk judicial review dalam hukum administrasi negara Singapura.[12] Pengadilan juga menolak dalil penggugat bahwa keadilan alamiah mereka dilanggar karena mereka tidak diberitahukan sebelum perintah yang dikenakan atas mereka berlaku, menyitir putusan pengadilan Inggris dan Wales tahun 1977 yang memutuskan bahwa prinsip audi alteram partem tidak perlu dipenuhi jika ketertiban umum menuntut sebaliknya.[13]
Dampak
Amnesty International mencatat bahwa penganut keyakinan Saksi-Saksi Yehuwa dianggap sebagai "gangguan terhadap ketertiban umum" di Singapura dan dapat dipenjara atau didenda karena menolak ikut serta dalam wajib militer.[14] Para penganutnya hidup dalam ketakutan akan ditangkap, hilang pekerjaan, tidak mendapatkan izin usaha, dan anak-anak mereka diganggu di sekolah.[15] Meskipun begitu, kajian lain manyatakan bahwa aliran keyakinan yang memiliki ajaran pasifisme biasanya cenderung tidak akan bisa melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban umum.[16]
Dalam proses pembahasan Maintenance of Religious Harmony Act[17] di Parlemen pada 23 Februari 1990, Menteri Perdagangan dan Perindustrian merangkap Menteri Pertahanan Kedua Lee Hsien Loong menyatakan bahwa kepercayaan Saksi-Saksi Yehuwa dalam menolak ikut serta dalam wajib militer perlu diakui, namun Singapura tidak dapat menerima conscientious objection karena dapat membuat warga negara lain menolak ikut serta dalam wajib militer atas alasan yang sama, sehingga mengganggu jalannya program wajib militer.[18]
Rujukan
^Undesirable Publications Act (Cap. 338 , 1985 Rev. Ed.) ("UPA"), s. 3 (now Cap. 338, 1998 Rev. Ed., s. 5).
^Chan Hiang Leng Colin v. Public Prosecutor[1994] ICHRL 26, [1994] SGHC 207, [1994] 3 S.L.R.(R.) [Singapore Law Reports (Reissue)] 209 at 214–215, paras. 1 and 3, archived from the original on 26 October 2012, High Court (Singapore).
Tan, Kevin Y[ew] L[ee] (2011), "Fundamental Liberties III: Freedom of Expression • Association • Assembly • Religion", An Introduction to Singapore's Constitution (edisi ke-rev.), Singapore: Talisman Publishing, hlm. 186–203 at 197–203, ISBN978-981-08-6456-9.
Tan, Kevin Y[ew] L[ee]; Thio, Li-ann (2010), "Freedom of Religion", Constitutional Law in Malaysia and Singapore (edisi ke-3rd), Singapore: LexisNexis, hlm. 1197–1344, ISBN978-981-236-795-2.