Cak Durasim (lahir di Jombang, Jawa Timur) adalah seniman teater berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal sebagai pemrakarsa perkumpulan ludruk di Surabaya. Cak Durasim telah meletakkan dasar berkesenian bagi para seniman tradisional di Indonesia. Atas gagasan dan pengaruhnya terhadap dunia kesenian bagi generasi penerus, namanya dijadikan nama gedung dan festival di Jawa Timur.[1][2][3][4]
Latar belakang
Cak Durasim bernama asli Gondo Durasim. Ia lahir di Jombang, Jawa Timur. Cak Durasim merupakan seniman ludruk yang memprakasai perkumpulan ludruk di Surabaya. Pada tahun 1937, ia mempopulerkan cerita-cerita legenda Soerabaja dalam bentuk drama. Dalam setiap pertunjukan ludruk yang digelarnya sudah termasuk satu kesatuan dari tari remo yang menampilkan kepahlawanan, juga dagelan sebagai sisipan, dan baru kemudian masuk ke inti cerita. Selain di Jombang, ia juga pernah mulai membentuk kelompok ludruk di Surabaya. Hal ini karena dalam pembentukannya ludruk tersebut disponsori oleh Tom alias Dr. Soetomo, tokoh pejuang perintis kemerdekaan yang terkenal di awal ke-20. Kedatangan tentara Jepang tidak membuat kecil nyalinya. Bahkan pada tahun 1942 ketika tentara Jepang menguasai negeri ini, melalui ludruk sebagai media siar, ia membangkitkan semangat juang arek-arek Surabaya dalam mengkritik pemerintah penjajah, di dalam setiap pementasan drama ludruknya. Selain menceritakan legenda Surabaya ia juga mementaskan cerita perjuangan-perjuangan lokal masyarakat Jawa Timur. Dan, gendhing Jula-Juli Surabaya melengkapkan kritik yang disampaikan pemerintah penjajah.[5]
Pada puncaknya waktu pentas di Keputran Kejambon Surabaya ia melantunkan kidungan yang sangat populer yang berbunyi: "Pegupon omahe doro, urip melu Nippon tambah sengsoro". Akibat sebaris kalimat itulah ia ditangkap, disiksa oleh tentara Jepang dan akhirnya mereka menyeretnya ke penjara. Ia meninggal dunia setahun kemudian, dan dimakamkan di Makam Islam Tembok. Berkat keberanian itu, namanya dikenang sepanjang masa sebagai seniman serta pahlawan.[6][7]
Namanya diabadikan
Atas kesungguhan, gagasan, perjuangan, dan jasa-jasanya sosok Cak Durasim dihadirkan kembali dalam berbagai ekspresi antara lain untuk nama gedung pertunjukan yang berdiri di kompleks Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Patung dan parikan fenomenal karyanya pun diikutsertakan dalam konstruksi bangunan tersebut. Gedung Cak Durasim tak hanya berfungsi sebagai latar pertunjukkan teater, tetapi juga untuk pementasan puisi, seni musik, seni tari, seni rupa, dan sebagainya. Sastrawan W. S. Rendra pernah menggelar pementasan spektakulernya di gedung itu. Namanya juga diabadikan sebagai nama Festival yang juga di gelar di kompleks TBJT, Festival Seni Cak Durasim. Penghargaan seni tradisional pun menggunakan namanya. Sampai saat ini, namanya kerap disebut-sebut dalam pembahasan-pembahasan seni. Bahkan mahasiswa-mahasiswa ITB selalu merujuk padanya bila memperbincangkan hal mengenai ludruk.[8]
Lihat pula
Referensi