Bulan Jihad
Bulan Jihad atau Ilum di panggil juga Itak oleh masyarakat[1][2] adalah pejuang perang Banjar dari suku Kenyah yang sangat ditakuti oleh penjajah Belanda hingga Jepang. Beliau terkenal keberaniannya ketika bertempur dengan senjata Mandau. Tidak main-main, bersama dengan Gusti Zaleha, Bulan Jihad berhasil menghimpun pasukan dari suku-suku Dayak yang tersebar diseluruh tanah Kalimantan. Pasukan dari Dayak Kenyah, Ngaju, Kayan, Dusun, Siang, Bakumpai, Banjar, dan Hulu Sungai, bersatu dalam komando Sang Panglima Burung, Bulan Jihad. Perang Banjar yang berlangsung sejak tahun 1859 hingga 1906 ini disinyalir telah menimbulkan kerugian besar pada Belanda, yang kehilangan 4000 hingga 5000 pasukannya. Belum lagi biaya perang dengan persenjataan modern yang menguras kas pemerintah kolonial. Usai meninggalnya Pangeran Antasari, perjuangan melawan kolonialisme dilanjutkan oleh Gusti Muhammad Seman yang didampingi oleh Gusti Zaleha bersama Bulan Jihad sebagai panglima perangnya. Setiap jengkal tanah Kalimantan adalah harga mati yang harus diperjuangkan dengan tebusan nyawa. Hingga pada tahun 1870-an ekspedisi dan eksploitasi sumber daya alam di kaki Pegunungan Meratus akhirnya dihentikan. Akibat terus terjadinya Perang Banjar yang terjadi dikawasan pertambangan, maka tambang batubara tertua di Indonesia ini pun dinyatakan berhenti beroperasi. Turut Serta dalam Perang BanjarTjilik Riwut pernah bercerita bahwa Panglima Burung adalah seorang pejuang perempuan cantik yang berasal dari Dayak Kenyah, Kalimantan Timur. Ia adalah sahabat Gusti Zaleha, seorang pejuang perempuan yang berasal dari Kesultanan Banjar. Ia dianggap sebagai Panglima Burung tak lain karena memiliki watak pemersatu dihadapan kelompok-kelompok suku Dayak Kalimantan. Ia juga pelindung dari setiap jengkal hutan yang tengah rusak akibat eksploitasi alam. Perjuangannya tidak hanya melalui senjata, tapi juga merawat dan menjaga lingkungan. Selain memiliki kesaktian yang tinggi, gerakan kesadaran menjaga lingkungan selalu ia kembangkan di setiap suku Dayak yang ditemuinya. Seperti upayanya menanami kembali area sekitar bekas tambang batubara Oranje Nassau yang telah dirusak oleh Belanda. Serangkaian aksi penyergapan terhadap pasukan Belanda juga menjadi agenda utamanya ketika berjuang dengan pasukan Banjar. Mandaunya dapat seketika membuat tumbang para pasukan Belanda yang berdiri dihadapannya. Selendangnya pun dapat melukai walau hanya dengan dikibaskannya. Menjaga Alam Sepanjang HidupnyaKetika runtuhnya pagustian kelanjutan dari kesultanan Banjar Bulan Jihad tetap meneruskan perjuangan dengan para pasukan Dayak yang senantiasa mengikutinya. Sang Panglima Burung semakin melegenda, ketika pos-pos Belanda terus saja mendapatkan serangan dari pasukan Bulan Jihad. Kesaktiannya memang sungguh luar biasa, bahkan ketika pendudukan Jepang, para tentara fasis enggan bersentuhan dengannya. Hal ini dibuktikan dengan tujuan Jepang yang hanya berupaya untuk menguasai minyak bumi di Tarakan. Mereka enggan untuk mengeksploitasi pedalaman hutan Kalimantan. Menghadapi Sang Panglima Burung adalah hal sia-sia dan merugikan. Pedalaman hutan Kalimantan adalah rumahnya, yang harus terus ia jaga dari segala bentuk kolonialisasi ataupun eksploitasi alam.[3] Pada Masa KemerdekaanPada tanggal 11 Januari 1954 Bulan Jihad turun dari gunung setelah 49 tahun mengasingkan diri. Dia sangat sedih setelah 4 bulan baru tahu Ratu Zaleha sahabatnya mendahuluinya.[4] Kemunculannya yang terakhir itu pernah dicatat oleh Pemerintahan Muara Joloi, dan beliau sangat girang setelah mengetahui bahwa tanah airnya sudah merdeka, dan Belanda yang menjadi musuhnya sudah tidak ada lagi, terkhusus bersemayam di daerah Barito.[5] Wallahualam. Referensi
|