Buaya irian

Buaya irian
Kepala buaya irian
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Klad: Archosauromorpha
Klad: Archosauriformes
Ordo: Crocodilia
Famili: Crocodylidae
Genus: Crocodylus
Spesies:
C. novaeguineae
Nama binomial
Crocodylus novaeguineae

Buaya irian (Crocodylus novaeguineae) adalah salah satu spesies buaya yang ditemukan menyebar di perairan tawar pedalaman Pulau Papua. Bentuk umum jenis ini mirip dengan buaya muara (C. porosus), tetapi lebih kecil dan warna kulitnya lebih gelap.

Pengenalan

Panjang tubuhnya sampai sekitar 3,35 m pada yang jantan, sedangkan yang betina hingga sekitar 2,65 m. Buaya ini memiliki sisik-sisik yang relatif lebih besar daripada buaya lainnya apabila disandingkan. Di bagian belakang kepala terdapat 4–7 sisik lebar (post-occipital scutes) yang tersusun berderet melintang, terpisah agak jauh di kanan-kiri garis tengah tengkuk. Sisik-sisik besar di punggungnya (dorsal scutes) tersusun dalam 8–11 lajur dan 11–18 deret dari depan ke belakang tubuh. Sisik-sisik perutnya dalam 23–28 deret (rata-rata 25 deret) dari depan ke belakang.[1]:155.

Habitat dan kebiasaan

Reptil yang umumnya nokturnal ini menghuni wilayah pedalaman Papua yang berair tawar, di sungai-sungai, rawa dan danau. Meskipun diketahui toleran terhadap air asin, buaya ini jarang-jarang dijumpai di perairan payau, dan tak pernah ditemui di tempat di mana terdapat buaya muara.[2] Ia bisa ditemukan di rawa dan sungai-sungai air tawar Papua Nugini. Sungai air tawar merupakan habitat yang lebih disukai oleh Buaya Irian.[3]

Buaya irian bertelur di awal musim kemarau. Rata-rata buaya betina mengeluarkan 35 butir telur, dengan jumlah maksimal sekitar 56 butir. Berat telur rata-rata 73 gram, sementara anak buaya yang baru menetas berukuran antara 26–32 cm panjangnya. Buaya betina menunggui sarang dan anak-anaknya hingga dapat mencari makanannya sendiri.[1]

Catatan taksonomis

Dari segi morfologi dan habitat, jenis ini mirip dengan jenis-jenis buaya air tawar dari Indonesia bagian barat; yakni buaya siam (C. siamensis), buaya mindoro (C. mindorensis), dan buaya kalimantan (C. raninus). C. mindorensis dahulu dianggap sebagai anak jenis (subspesies) buaya irian (sebagai C. novaeguineae mindorensis), akan tetapi kini dianggap sebagai jenis tersendiri.[2]

Diketahui ada dua populasi buaya irian di Papua, yang terpisah oleh pegunungan tengah. Analisis DNA memperlihatkan bahwa kedua populasi itu secara genetik berlainan.[2] Populasi di selatan pegunungan, yang menyebar mulai dari selatan Kepala Burung hingga jazirah selatan Papua Nugini, diusulkan para ahli untuk dianggap sebagai jenis yang terpisah, yakni buaya sahul. Buaya ini secara morfologis serupa dengan buaya irian, kecuali bahwa sisik-sisik besar di belakang kepala (post-occipital scutes) biasanya berjumlah tiga pasang (3–6 buah), dan sisik-sisik besar di tengkuk (nuchal scutes) dipisahkan oleh sederet sisik-sisik kecil.[1][4]

Buaya sahul juga memiliki musim bertelur yang berbeda (di awal musim hujan), berat telur rata-rata yang lebih tinggi (104 gram), dan jumlah telur rata-rata yang lebih rendah (22 butir). Anak yang ditetaskan berukuran rata-rata lebih panjang, yakni antara 31–37 cm.[1]

Konservasi

Di Papua, masih ada masyarakat yang menangkap buaya jenis ini dan mengkonsumsi dagingnya. Mereka juga dapat menjual kulitnya karena bernilai ekonomi tinggi. Memiliki nilai jual tinggi di pasar internasional, kerajinan kulit buaya masuk dalam kategori kerajinan kulit eksotik. Hasil menyamak kulit buaya dapat diolah menjadi dompet, sabuk dan tas golf. Per 2021, 300.000 Rupiah hingga 30.000.000 bisa diperoleh dari hasil penjualan produk-produk tersebut.[3] Buaya irian merupakan salah satu jenis buaya yang banyak dieksploitasi untuk dimanfaatkan kulitnya. Penangkapan dari alam di Papua Nugini saja tercatat lebih dari 20 ribu ekor pertahun di antara 1977-1980, yang kemudian menyusut menjadi antara 12 ribu – 20 ribu ekor pertahun (1981–1989) dan kini turun lagi menjadi antara 3.000–5.000 ekor pertahun. Sebaliknya, pengumpulan telur dan anakan untuk kepentingan penangkaran terus meningkat, sehingga kini berbagai penangkaran di negara itu bisa menghasilkan antara 2.500–10.000 ekor buaya pertahun.[5] Mempertimbangkan tingginya tekanan terhadap populasinya di alam, Pemerintah Indonesia telah memasukkan Crocodylus novaeguineae sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang,[6]:112 yang membatasi pemanfaatannya. Perdagangan kulit dan produk-produknya diawasi oleh CITES, yang memasukkan jenis ini ke dalam Apendiks II. Sementara IUCN memandangnya sebagai berisiko rendah (LR, lower risks) alias cukup aman, mengingat populasinya yang relatif masih tinggi dengan habitat yang luas di alam. Populasi buaya irian liar diperkirakan antara 50 ribu hingga 100 ribu ekor, di seluruh Pulau Papua.[2]

Pemerintah Daerah Papua pun melegalkan pemasaran kulit buaya pada tahun 2018. Pemda menganggap kulit buaya sebagai kerajinan yang mengharumkan nama daerah dan merupakan potensi daerah. Standar untuk usia buaya yang bisa dipanen kulitnya untuk dimanfaatkan pun ditetapkan. Buaya irian dengan usia di atas satu tahun atau lebar perut 12 inchi sudah dapat manfaatkan. Standar tersebut ditetapkan dengan tujuan menghindari pemanfaatan melewati batas normal.[3]

Kearifan lokal yang ikut melindungi populasi dapat terlihat di kawasan Danau Sentani bagian barat. Suku di Kampung Dondai meyakini Crocodylus novaeguineae adalah binatang yang suci dan patut dihormati. Keyakinan tersebut mereka wujudkan dengan membuat buaya irian sebagai totem. "bagi keluarga yang memiliki totem buaya, mereka sangat pantang untuk makan binatang ini".[3]

Referensi

  1. ^ a b c d Iskandar, D.T. (2000). Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Bandung: Penerbit ITB. ISBN 979-96100-0-1
  2. ^ a b c d "New Guinea Crocodile". – The Crocodile Specialist Group. Diakses tanggal 05 Peb 2008. 
  3. ^ a b c d Paino, Christopel (18 Mei 2021). "Dilindungi dan Dihormati, Buaya Endemik Papua Ini Masih Diburu". Mongabay. Diakses tanggal 18 September 2021. 
  4. ^ Hall, P.M. (1989). "Variation in geographic isolates of the New Guinea crocodile (Crocodylus novaeguineae Schmidt) compared with the similar, allopatric, Philippine crocodile (Crocodylus mindorensis Schmidt)". Copeia 1989(1): 71-80. DOI: http://dx.doi.org/10.2307/1445607
  5. ^ Crocodylus novaeguineae Species Account – The Crocodile Specialist Group
  6. ^ Mumpuni. (2001). Reptilia. dalam M. Noerdjito dan I. Maryanto (eds.). Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Puslit Biologi LIPI – TNC – USAID, Bogor. ISBN 979-579-043-9

Pranala luar