Black Slave's Cry to Heaven
Black Slave's Cry to Heaven (Hanzi sederhana: 黑奴吁天录; Hanzi tradisional: 黑奴籲天錄; Pinyin: Hēinú Yūtiān Lù) adalah penampilan sandiwara tahun 1907 yang ditampilkan oleh Spring Willow Society, rombongan pelajar Tionghoa, di Tokyo, Jepang. Diadaptasi oleh Zeng Xiaogu dari terjemahan novel Harriet Beecher Stowe Uncle Tom's Cabin, sandiwara ini menceritakan tentang penganiayaan dua orang, Eliza dan George, dan pelarian mereka dari perbudakan. Secara alegori memodifikasi perhatian seruan terhadap pengalaman migran Tionghoa di Amerika Serikat, Black Slave's Cry to Heaven bersifat inovatif dalam pemakaian dialog yang dituturkan dan rancangan set realistik. Dua kali ditampilkan di teater Hongō-za, acara tersebut disambut baik oleh para kritikus dan penonton. Walaupun naskahnya telah hilang, sandiwara tersebut telah menginspirasi karya-karya berikutnya. Karena inovasi teknikal dan tema nasionalis, Black Slave's Cry to Heaven dikanonkan sebagai drama Tionghoa modern pertama. SinopsisPetani Amerika Arthur Shelby dan istrinya Emily memiliki banyak budak, yang meliputi Tom, Eliza, dan putra Eliza, Harry. Mereka juga memiliki sejumlah besar uang untuk pedagang budak Haley, yang mendorong mereka untuk membayar langsung. Pasangan Shelby kemudian menawarkannya budak mereka. Sementara itu, di sebuah pesta di Pabrik Wilson, pekerja George menolak pengakuan atas kerja kerasnya kala pemiliknya membawa pergi penghargaannya. Kala ia kembali pulang, ia menyadari dari istrinya Eliza bahwa Harry telah dijual kepada Haley. Menangis dalam rangkulan satu sama lain, mereka memutuskan untuk lari. Pada maalm hari, di tengah kerumunan, para budak menuntut pembebasan. Mereka dikejar oleh para pemburu, termasuk pemilik George, namun kabur usai membunuh beberapa penangkap mereka.[a] Latar belakangUsai serangkaian kekalahan militer melawan kekuatan Barat dan Jepang, dinasti Qing pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 berusaha menerapkan reformasi.[1] Drama menempati tempat khusus dalam agenda tersebut, karena drama dianggap dapat lebih baik menjangkau masyarakat umum, tanpa batasan kata tertulis. Dalam esay tahun 1905, filsuf Chen Duxiu berujar, "teater adalah sebuah sekolah besar bagi dunia, para pemerannya adalah guru masyarakat."[2] Drama yang menuturkan kata-kata, yang diperkenalkan ke Tiongkok melalui pertukaran budaya, dianggap ideal untuk reformasi semacam itu.[3] Selaras dengan perkembangan tersebut, sejumlah besar pelajar Tiongkok mulai mengambil pembelajaran di Jepang. Dari tiga pelajar pada 1896, jumlah pelajar Tionghoa di Jepang meningkat menjadi 1.000 pada 1903 dan antara 8.000 dan 9.000 pada 1907. Jepang nampak menjadi alternatif yang lebih murah dari belajar di Eropa atau Amerika Serikat. Jepanmg juga dianggap lebih familiar dalam hal bahasa dan budayanya.[4] Meskipun para murid tersebut umumnya tak berada di Jepang untuk belajar teater, banyak dari mereka mengadakan penampilan drama untuk melatih keterampilan bahasa mereka.[5] Catatan
ReferensiKutipan
|