HuajuHuaju (Hanzi sederhana: 话剧; Hanzi tradisional: 話劇; Pinyin: Huàjù; harfiah: 'drama kata'), juga dikenal sebagai drama Tionghoa modern, adalah sebuah jenis drama lisan yang dapat ditemukan di wilayah Sinofon. Jenis drama ini mulai berkembang pada tahun 1920-an dan dicirikan dengan dialog natural serta riasan, kostum, latar, dan pencahayaan yang realistis serta pembabakan yang jelas antara setiap lakon dan adegan.[1] Penerimaan publik akan huaju mengalami fluktuasi seiring waktu. Karya-karya awal cenderung terbatas untuk audiens penduduk urban, tetapi karya-karya yang lebih kontemporer mendapat penerimaan yang lebih luas seiring penetrasi budaya Barat yang lebih masif. Dari segi tema, huaju memiliki variasi, dengan karya-karya lama lebih menekankan muatan politik serta peranan gender. Penerjemahan huaju dimulai pada tahun 1930-an dan lebih jamak ditemukan sejak tahun 1980-an. Definisi dan pengaruhHuaju adalah sebuah bentuk drama lisan yang berkembang di tengah kebudayaan Tionghoa kontemporer. Karya-karya huaju sering menggunakan panggung terbuka sebagaimana drama dalam tradisi Barat.[2] Huaju dapat menggunakan bahasa yang mengikut lokasi penampilan, seperti bahasa Kanton yang umum digunakan dalam penampilan di Hong Kong.[3] Huaju telah mendapatkan berbagai macam pengaruh eksternal. Bentuk awal drama lisan Tionghoa, seperti "drama santun" yang populer di Shanghai pada 1910-an didasari antara lain oleh drama Tionghoa serta shinpa dari Jepang.[4] Perkembangan huaju lisan murni pada tahun 1920-an didasari oleh gaya drama santun serta menunjukkan tingkatan filosofi realisme yang tinggi. Dalam hal ini, ajaran para pakar teater Barat seperti Konstantin Stanislavski, Henrik Ibsen, Anton Chekhov, dan Maksim Gorky diadopsi oleh para pelopor huaju seperti Ouyang Yuqian, Hong Shen, Tian Han, dan Cao Yu untuk menciptakan drama yang sesuai dengan era modern.[5] TemaPolitikSejak kemunculannya, politik menjadi tema umum dalam lakon-lakon huaju. Lakon-lakon era Perang Tiongkok-Jepang cenderung memberi kecaman terhadap invasi Jepang,[6] walaupun sebagian lakon lainnya juga mengkritisi rezim Kuomintang karena gagal membendung ambisi Jepang di Tiongkok. Sejak dekade 1950-an, lakon huaju diarahkan agar selaras dengan nilai dan misi politik Partai Komunis Tiongkok (PKT). Pada masa Revolusi Kebudayaan, propaganda PKT menjadi elemen yang sangat penting dalam lakon huaju.[7] Sejak reformasi oleh rezim PKT, sejumlah sutradara secara berkelanjutan membuat drama dengan anggota yang pro terhadap partai. GenderPerubahan sosial juga menjadi tema umum dalam huaju mengingat diperlukannya pendekatan susastra dalam mendorong perubahan sosial.[8] Sejumlah lakon huaju menekankan peran perempuan di Tiongkok yang berupaya menaikkan status sosial mereka. Lakon-lakon seperti Peristiwa Terbesar dalam Hidupnya oleh Hu Shih (1919), mengadvokasi para perempuan agar dapat memilih pasangan hidupnya secara mandiri.[9] Karya-karya lain, seperti Tiga Wanita Pemberontak oleh Guo Muruo (1925), menggambarkan para perempuan sebagai penentang terhadap sistem dominan.[10] Referensi
Kepustakaan
|