Batu Suli adalah objek wisata yang berlokasi di tepian Sungai Kahayan antara Desa Upon Batu dan Desa Tumbang Manange, Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Objek wisata ini menawarkan pemandangan indah dan mempesona, berbentuk batu besar yang menjulang tinggi di sungai Kahayan. Letaknya yang menjorok ke Sungai Kahayan seakan-akan batu ini jatuh ke sungai. Di sekitar objek wisata masih sangat alami, dengan pepohonan hutan yang tumbuh disekitarnya.[1][2]
Panorama
Panorama akan lebih indah jika dapat mendaki ke atas Batu Suli. Perjalanan pendakian memakan waktu antara 20-30 menit.[3] Di puncak Batu Suli ada onggokan batu yang disebut Batu Antang atau sering disebut Batu Tingkes, yang memiliki arti "lorong yang sempit". Batu Antang ini tersusun dari dua batu. Di antara kedua batu tersebut terdapat celah kecil. Uniknya, meskipun celahnya kecil, tetapi tetap bisa dilewati oleh manusia dengan cara merayap. Bagi yang ciut nyalinya diimbau jangan mencobanya, karena di sini terdapat mitos yang berkembang bahwa jika ingin melewati celah tersebut harus dengan keyakinan penuh. Apabila tidak, kita bisa tersangkut di antara dua batu tersebut.[2][4]
Sejarah
Legenda Batu Suli dipercayai oleh masyarakat Dayak Ngaju dan Ot Danum benar-benar pernah terjadi. Menurut cerita orang-orang tua, dahulu kala sebuah tebing batu yang disebut batu Suli pernah roboh sehingga menutup hubungan lalu-lintas ikan dari Kahayan Hulu ke Kahayan Hilir.
Kejadian ini sungguh tidak mengenakan bagi bangsa Ikan, dahulu mereka mempunyai kekerabatan dan sanak saudara di Kahayan Hulu atau sebaliknya di Kahayan Hilir. Lama kelamaan keadaan itu tidak tertahankan lagi bagi bangsa Ikan, meraka merasa seperti terpenjara akibat putusnya aliran sungai Kahayan itu. Mereka benar-benar tersiksa aikbat peristiwa tebing longsor itu.
Masalah besar bangsa ikan itu harus dicarikan pemecahannya. Untuk menanggulanginya, kemudian para ikan berkumpul dan mengadakan musyawarah besar di Sungai Kahayan. Musyawarah besar bangsa ikan itu akhirnya menghasilkan keputusan yaitu untuk menegakkan kembali tebing yang telah roboh itu.
Akhirnya pada hari yang telah disepakati ribuan bangsa ikan berkumpul untuk bersama-sama menegakkan tebing yang menghambat sungai Kahayan itu. Ikan tapa sesuai dengan hasi musyawarah ditunjuk sebagai mandor. Pekerjaannya mengharuskan ia terus-menerus berteriak-teriak secara lantang agar semangat para pekerja bangsa ikan itu selalu tinggi. Sementra ikan pipih sesuai hasil musyawarah juga diberi tugas untuk memanggul tebing yang roboh itu di atas punggungnya yang pipih.
Begitulah kerja keras bangsa ikan itu pun berlangsung sampai berhari-hari lamanya. Ahirnya berkat usaha keras segenap bangsa ikan itu, tebing Batu Suli dapat ditegakkan kembali seperti sediakala. Tentu saja hasil keras itu disambut dengan rasa bahagian oleh segenap bangsa ikan. Perasaan terpenjara sekian lama akhirnya bisa bebas lagi, dan bangsa ikan pun dapat kembali saling berhubungan antara di Kahayan hilir dan Kahayan hulu.
Namun, rupanya hasil keras itu harus ditebus mahal oleh bangsa ikan yang terlibat dalam pekerjaan besar itu. Setiap ikan yang turut mengambil bagian dalam pekerjaan itu, harus menanggung akibat pekerjaan besar itu. Sebagai contohnya, keturunan ikan tapa, misalnya, karena kakeknya dahulu terlalu banyak membuka mulut untuk berteriak-teriak dalam tugasnya sebagai mandor, maka kini semua anak keturunannya memiliki mulut yang berukuran besar.
Sementara keturunan ikan pipih, karena kakeknya harus memanggul tebing yang sangat berat itu, punggungnya bungkuk dan tulangnya hancur. Maka kini semua keturunan ikan pipih mempunyai punggung yang bungkuk dan tulangnya yang halus-halus.[5]
Akses
Objek wisata Batu Suli berjarak sekitar 200 km dari kota Palangkaraya. Kita dapat menggunakan transportasi darat menuju ke Desa Tumbang Manange yang memerlukan waktu sekitar lima jam perjalanan. Atau bisa juga menggunakan perahu kelotok menyusuri Sungai Kahayan dari Pelabuhan Tewah dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Sesampainya di Desa Tumbang Manange, kita bisa beristirahat terlebih dahulu untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan cara mendaki.[6]
Referensi