Batavia (pelafalan dalam bahasa Belanda:[baːˈtaːviaː]ⓘ) adalah sebuah kapal milik Kongsi Dagang Hindia Timur atau Kompeni Belanda (VOC), yang dibuat di Amsterdam pada 1628, dipersenjatai dengan 24 pucuk meriambesi tuang dan beberapa pucuk meriam perunggu, kandas dalam pelayaran perdana, dan terkenal karena peristiwa dahagi serta pembantaian para penumpangnya. Sebuah replika abad ke-20 dari kapal ini, yang juga diberi nama Batavia, dapat dikunjungi di Lelystad, negeri Belanda.
Dahagi di atas Batavia
Keberangkatan dan pelayaran
Pada 27 Oktober 1628, kapal Batavia yang baru saja rampung dikerjakan atas pesanan Kompeni Belanda, bertolak dari Texel[1] menuju Hindia Timur Belanda untuk dimuati rempah-rempah. Pelayaran dinakhodai oleh commandeur sekaligus opperkoopman (saudagar senior) Francisco Pelsaert, bersama Ariaen Jacobsz selaku schipper. Keduanya sudah pernah bertemu di Surat, India. Keduanya sempat pula berseteru di Surat setelah Jacobsz dalam keadaan mabuk menghina Pelsaert di hadapan saudagar-saudagar lain, yang kemudian dibalas Pelsaert dengan menurunkan pangkat Jacobsz secara resmi di muka umum.[2] Meskipun demikian, tidak diketahui apakah Pelsaert masih mengenal Jacobsz ketika naik ke kapal Batavia. Bersama mereka, ikut pula onderkoopman (saudagar junior) Jeronimus Cornelisz, seorang farmakolog pailit (alias si apoteker ahli bidah[3]) dari Haarlem yang hendak kabur dari negeri Belanda untuk menghindari penangkapan akibat menganut ajaran sesat yang dihubung-hubungkan dengan pelukis Johannes van der Beeck, alias Torrentius.
Selama berlayar, Jacobsz dan Cornelisz berkomplot untuk merebut kapal, sehingga dapat merintis kehidupan yang baru di tempat lain, dengan memanfaatkan persediaan emas dan perak yang ada di atas kapal. Setelah bertolak dari Tanjung Harapan, yang mereka singgahi untuk memasok perbekalan, Jacobsz dengan sengaja mengemudikan kapal menyimpang dari tujuan, menjauh dari keseluruhan armada. Jacobsz dan Cornelisz telah bersekongkol dengan beberapa awak kapal dan mulai merekayasa sebuah insiden sebagai pemicu dahagi. Rekayasa jahat ini meliputi perundungan seksual terhadap seorang penumpang wanita muda kelas atas, Lucretia Jans, dengan tujuan memprovokasi Pelsaert untuk mendisiplinkan awak kapal. Mereka berencana memperalat tindakan pendisiplinan itu dengan membuatnya tampak sebagai suatu bentuk ketidakadilan, guna menarik simpati awak kapal dan mendapatkan tambahan anggota. Akan tetapi, wanita itu dapat mengenali penyerangnya.[4] Para pendahagi terpaksa menunggu sampai Pelsaert memerintahkan penangkapan, namun ia tidak kunjung mengambil tindakan, karena sedang menderita sakit yang tidak diketahui namanya.
Terdampar
Lokasi kandas Batavia
Pada 4 Juni 1629, kapal Batavia melanggar TerumbuMorning Reef di dekat Pulau Beacon (28°29′25″S113°47′36″E / 28.49028°S 113.79333°E / -28.49028; 113.79333), bagian dari Kepulauan Houtman Abrolhos di lepas pantai Australia Barat.[1] Dari keseluruhan 322 orang yang ikut dalam pelayaran, sebagian besar penumpang dan awak kapal berhasil mencapai pantai, sementara 40 orang tenggelam. Para penyintas, termasuk wanita dan kanak-kanak, selanjutnya diungsikan ke kepulauan terdekat dengan menggunakan sekoci dan sekoci layar kapal. Pemantauan awal atas kepulauan itu tidak berhasil menemukan air tawar dan hanya mendapatkan sedikit bahan makanan (singa laut dan burung). Pelsaert menyadari gentingnya situasi dan memutuskan untuk mencari air tawar di daratan Australia.
Sekelompok orang yang terdiri atas Nakhoda Jacobsz, Francisco Pelsaert, para perwira kapal senior, beberapa orang anak buah kapal, dan sejumlah penumpang bertolak meninggalkan pulau dengan sebuah sekoci panjang (juga sudah dibuat replikanya) berukuran 30-ft (9.1 m), dalam rangka mencari air minum. Setelah gagal menemukan sumber air di daratan Australia, mereka meninggalkan para penyintas lainnya dan berlayar ke utara menentang bahaya menuju kota Batavia (sekarang Jakarta). Pelayaran yang tercatat sebagai salah satu bukti kepiawaian bernavigasi dengan kapal terbuka ini menghabiskan masa 33 hari, dan yang luar biasa adalah seluruh penumpangnya selamat.
Sesampainya di Batavia, serang kapal, seorang pria bernama Jan Evertsz, ditahan dan dihukum mati atas dakwaan lalai dalam tugas dan "berperilaku tidak senonoh" sebelum kapal kandas (ia dicurigai ikut berkomplot). Jacobsz juga ditahan atas dakwaan lalai dalam tugas, meskipun keterlibatannya dalam rencana dahagi benar-benar di luar dugaan Pelsaert.
Gubernur Jenderal Batavia, Jan Coen, segera memberi kuasa kepada Pelsaert untuk memimpin pelayaran Sardam dalam rangka menyelamatkan para penyintas lainnya, dan menyelamatkan harta-benda yang masih tersimpan di bangkai kapal Batavia. Ia tiba di kepulauan Wallabi dua bulan sejak bertolak dari Batavia, dan mendapati bahwa telah terjadi peristiwa dahagi berdarah di antara para penyintas yang mengakibatkan jumlah mereka berkurang sekitar seratus orang.
Pembunuhan
Jeronimus Cornelisz, yang diberi kuasa untuk memimpin para penyintas, sepenuhnya sadar bahwa bilamana rombongan yang dipimpinnya mencapai bandar Batavia, Pelsaert akan segera melaporkan rencana dahagi yang batal berlangsung di atas kapal, sehingga keterlibatannya dalam rencana jahat itu mungkin terungkap. Oleh karena itu, ia berencana membajak kapal penyelamat manapun yang datang menjemput mereka, dan memanfaatkannya untuk mencari tempat persembunyian yang aman. Cornelisz bahkan sudah menyusun rencana jangka panjang untuk mendirikan sebuah kerajaan baru, dengan menggunakan emas dan perak dari bangkai kapal Batavia. Akan tetapi untuk melaksanakan rencananya, pertama-tama ia harus menyingkirkan orang-orang yang berpotensi menjadi penghalang.[5]
Tindakan pertama yang diambil Cornelisz adalah menyita seluruh senjata dan perbekalan untuk diawasinya sendiri. Selanjutnya ia memindahkan sekelompok serdadu, di bawah pimpinan Wiebbe Hayes, ke pulau West Wallabi, dengan berpura-pura memerintahkan mereka mencari air. Mereka diperintahkan menyalakan api unggun untuk mengirimkan pesan melalui sinyal asap bilamana berhasil mendapatkan air, setelah itu mereka akan dijemput.[5] Yakin bahwa mereka tidak akan berhasil melaksanakan perintahnya, ia pun meninggalkan mereka untuk mati di pulau itu.
Cornelisz pun berhasil memegang kendali penuh. Para penyintas selebihnya harus menjalani dua bulan penuh pembantaian dan kekejaman.
Bersama-sama sekelompok pengikut setia yang terdiri atas beberapa pemuda beringas, Cornelisz mulai secara sistematis membunuh siapa saja yang ia yakini sebagai ancaman bagi rezim terornya, ataupun yang dianggap membebani sumber-sumber daya mereka yang terbatas. Para pendahagi semakin gemar membunuh, dan tak seorang pun mampu menghalangi mereka. Alasan-alasan sepele dapat menyebabkan mereka menenggelamkan, menghantam, mencekik, ataupun menikam korban-korban mereka, termasuk wanita dan kanak-kanak.[5]
Cornelisz sendiri tidak melakukan pembunuhan, meskipun ia pernah mencoba namun gagal meracuni seorang bayi (yang akhirnya mati dicekik). Ia justru dengan cerdik memanas-manasi orang lain untuk melakukan pembunuhan demi kepentingannya, pertama-tama dengan berdusta bahwa si korban telah melakukan kejahatan seperti mencuri. Akhirnya para pendahagi pun mulai membunuh demi kesenangan belaka, atau hanya karena sedang bosan. Ia berencana untuk menyusutkan jumlah populasi pulau itu hingga tersisa 45 orang saja sehingga perbekalan mereka dapat bertahan selama mungkin. Secara keseluruhan, para pengikutnya telah membunuh sekurang-kurangnya 110 orang laki-laki, perempuan, dan kanak-kanak.
Penyelamatan
Meskipun Cornelisz telah menelantarkan para serdadu, yang dipimpin Wiebbe Hayes, untuk mati, mereka justru berhasil menemukan sumber air dan makanan yang cukup di pulau yang mereka tinggali. Awalnya mereka tidak tahu akan peristiwa barbar yang telah terjadi di pulau seberang dan mengirim pesan asap untuk mengabarkan penemuan mereka. Akan tetapi mereka pun akhirnya mendapat laporan mengenai peristiwa pembantaian itu dari para penyintas yang berhasil melarikan diri dari pulau yang ditempati Cornelisz. Menanggapi laporan tersebut, para serdadu segera membuat senjata-senjata sederhana berbahan baku barang-barang dari bangkai kapal yang terbawa arus ke pulau mereka. Mereka juga melaksanakan tugas jaga secara bergilir agar selalu siap-sedia menghadapi para pendahagi, dan membangun sebuah benteng kecil dari batu gamping dan bongkahan karang.
Cornelisz menangkap sinyal asap para serdadu yang mengabarkan ketersediaan air di pulau seberang, sementara persediaannya sendiri semakin menipis dan selamatnya para serdadu merupakan ancaman bagi keberhasilan rencananya. Ia pun bertolak bersama para pengikutnya untuk menaklukkan para serdadu yang ditelantarkannya di Pulau West Wallabi. Akan tetapi para serdadu, yang jauh lebih kenyang perutnya dibanding para pendahagi, dengan mudah mengalahkan mereka dalam beberapa kali pertempuran, dan akhirnya berhasil menyandera Cornelisz. Para pendahagi yang berhasil lolos bersatu kembali di bawah pimpinan seorang pria bernama Wouter Loos dan kembali menyerang. Kali ini dengan menggunakan senapan-senapan lontak, mereka datang mengepung benteng Hayes dan nyaris berhasil mengalahkan para serdadu.
Tetapi para bawahan Wiebbe Hayes sekali lagi berjaya mengalahkan para pendahagi, bersamaan dengan tibanya Pelsaert. Para pengikut Cornelisz dan para serdadu berlomba-lomba mencapai kapal lebih dahulu. Wiebbe Hayes berhasil lebih dahulu naik ke kapal dan membeberkan kisahnya kepada Pelsaert. Setelah melewati sebuah pertempuran singkat, gabungan kekuatan tempur di kapal dan para serdadu Batavia berhasil membekuk seluruh pendahagi.
Kesudahan peristiwa
Pelsaert memutuskan untuk melaksanakan sidang pengadilan di pulau itu, sebab Saardam dalam pelayarannya kembali ke Batavia akan terlalu penuh disesaki para penyintas dan tahanan. Seusai sebuah persidangan singkat, para terpidana yang paling berat kejahatannya dibawa ke Pulau Seal dan dihukum mati. Cornelisz dan beberapa pendahagi utama dipotong kedua tangannya sebelum dihukum gantung.[6] Wouter Loos dan seorang bujang kabin, yang dianggap lebih ringan kejahatannya, ditinggalkan telantar di daratan Australia, dan tidak pernah lagi terdengar khabarnya. Laporan-laporan warga pendatang dari Inggris di kemudian hari tentang keberadaan orang-orang Aborigin berkulit terang yang tidak lazim di daerah itu telah menimbulkan dugaan bahwa kedua orang itu mungkin diadopsi oleh suku Aborigin setempat. Beberapa warga suku Amangu di daratan Australia memiliki golongan darah khas Leiden, Belanda.[7] Meskipun demikian, sejumlah besar penyintas kapal kandas berkebangsaan Eropa, misalnya para penyintas dari kapal Zuytdorp yang kandas di daerah yang sama pada 1712, mungkin pula pernah menjalin kontak serupa dengan pribumi setempat.
Para pendahagi selebihnya diberangkatkan ke Batavia untuk diadili. Lima orang dihukum gantung dan beberapa orang lainnya dihukum dera. Wakil Cornelisz, Jacop Pietersz, diremukkan badannya di roda hukuman, yakni hukuman yang paling berat kala itu.
Nakhoda Jacobsz, meskipun disiksa, tidak mengakui keterlibatannya dalam perencanaan dahagi dan luput dari hukuman mati karena kurang bukti. Kelanjutan nasibnya tidak diketahui. Diduga ia meninggal dalam penjara di Batavia.
Dewan penyidik yang memeriksa Pelsaert memutuskan bahwa ia telah bersikap kurang tegas dan oleh karena itu patut bertanggung jawab atas peristiwa yang telah terjadi. Aset-aset finansialnya disita, dan ia meninggal dunia dalam keadaan bangkrut setahun kemudian.
Di lain pihak, Wiebbe Hayes yang hanya seorang serdadu biasa justru dielu-elukan sebagai pahlawan. Kompeni Belanda mempromosikan kenaikan pangkatnya menjadi sersan, dan kelak menjadi letnan, sehingga jumlah gajinya melonjak sampai lima kali lipat.
Dari keseluruhan 341 orang yang berangkat dengan Batavia, hanya 68 orang yang selamat sampai ke bandar Batavia.
Penemuan dan pelestarian bangkai kapal
Sewaktu melakukan survei atas Kepulauan Abrolhos di pesisir barat laut yang diselenggarakan oleh Kantor Laksamana Inggris pada April 1840, Kapten Stokes, nakhoda HMS Beagle melaporkan bahwa:
Di ujung barat daya sebuah pulau ditemukan balok-balok dari sebuah kapal besar, dan karena awak kapal Zeewijk, hilang pada 1728, melaporkan pernah melihat bangkai sebuah kapal di kawasan ini, hanya sedikit keraguan bahwa puing-puing itu berasal dari Batavia, Komodor Pelsart, hilang pada 1629. Oleh karena itu tempat kami berlabuh kami namakan Batavia Road, dan seluruh gugus kepulauan ini kami namakan Gugus Pelsaert.[6]
Namun tampaknya Stokes telah keliru mengira bangkai kapal Zeewijk sebagai bangkai kapal Batavia. Pada 1950-an, sejarawan Henrietta Drake-Brockman, yang mengetahui kisah itu karena hubungannya dengan anak-anak saudagar guano dari Kepulauan Abrolhos, F. C. Broadhurst, putra Charles Edward Broadhurst, mengemukakan pendapatnya, setelah melakukan penelitian mendalam atas sejumlah besar arsip dan terjemahan-terjemahan oleh E. D. Drok, bahwa bangkai kapal Batavia semestinya berada di Gugus Kepulauan Wallabi. Juru ukur Bruce Melrose dan wartawan selam Hugh Edwards setuju dengan teori ini. Bekerja sama dengan Drake-Brockman, Edwards melakukan beberapa kali ekspedisi pencarian di dekat Pulau Beacon pada permulaan 1960-an dan sedikit saja meleset dalam penentuan situs. Setelah Edwards membeberkan hasil penelitiannya kepada mereka, dan setelah diantar ke lokasi bangkai kapal oleh nelayan lobster Abrolhos, Dave Johnson (yang pernah melihat sebuah jangkar dari atas kapalnya tatkala menebar perangkap lobster), pada 4 Juni 1963 Max dan Graham Cramer beserta Greg Allen menjadi orang-orang pertama yang menyelam di situs itu. Penemuan lokasi bangkai kapal Batavia, bersama-sama dengan lokasi bangkai kapal VOCVergulde Draeck (Naga Bersalut Emas) dan bangkai kapal milik Kompeni Inggris Tryall (Tryal), pada permulaan 1960-an, mendorong dibentuknya Departemen Arkeologi Maritim serta Departemen Konservasi dan Restorasi Benda Temuan oleh Western Australian Museum.
Sejak 1970 sampai 1974, di bawah pimpinan arkeolog maritim Jeremy Green dari Western Australian Museum, beberapa pucuk meriam dari bangkai kapal Batavia, sebuah jangkar, dan banyak artefak diselamatkan, termasuk balok-balok kayu dari lambung kiri buritan kapal. Benda-benda ini kemudian dikonservasi oleh laboratorium konservasi Museum di bawah pimpinan Colin Pearson dan para penggantinya Neil North dan Ian MacLeod.[8] Pengawasan dan perawatan terhadap balok-balok kayu ini terus-menerus dilakukan di bawah pimpinan Ian Godfrey dan Vicki Richards.[9]
Untuk memudahkan pengawasan dan perawatannya di masa-masa yang akan datang, papan-papan lambung kapal disusun pada sebuah rangka baja yang dirancang dan dipasang oleh Geoff Kimpton, salah satu staff Green. Rangka baja untuk papan-papan lambung kapal dan juga rangka baja untuk gapura lengkung dari batu, atau portico, yang juga diangkat dari dasar laut, dirancang sedemikian rupa sehingga masing-masing bagian objek dapat dipindahkan untuk menjalani perawatan tanpa mengganggu bagian-bagian lain atau tampilan keseluruhannya.[10]
Pada 1972, Belanda mengalihkan segala hak atas bangkai-bangkai kapal Belanda di persisir Australia kepada Australia. Beberapa objek, termasuk kerangka manusia hasil ekskavasi, kini dipamerkan di Western Australian Museum – Shipwreck Galleries di Fremantle, Australia. Beberapa benda lain disimpan oleh Western Australian Museum, Geraldton. Dua museum ini berbagi sisa-sisa Batavia: Western Australian Museum – Shipwreck Galleries menyimpan replika dari gapura lengkung, sementara gapura lengkung asli disimpan oleh Western Australian Museum, Geraldton (gapura ini awalnya dibuat dengan maksud untuk dipasang sebagai gapura selamat datang di kota Batavia); Papan-papan lambung kapal yang asli disimpan oleh Western Australian Museum – Shipwreck Galleries. Meskipun ada banyak benda telah diangkat dari situs bangkai kapal Batavia, sebagian besar meriam dan jangkarnya dibiarkan in-situ. Kebijakan ini telah menjadikan lokasi sisa-sisa bangkai kapal Batavia menjadi salah satu situs selam utama di pesisir Australia Barat sekaligus menjadi bagian dari jalur bangkai kapal (wreck trail), atau konsep "museum-tanpa-dinding" bawah air.[11]
Replika
Sebuah replikaBatavia dikerjakan di Bataviawerf (Galangan Kapal Batavia) di Lelystad, Belanda. Proyek ini dikerjakan sejak 1985 sampai dengan 7 April 1995, dan dilaksanakan sebagai sebuah proyek pemberdayaan pemuda yang dipimpin oleh scheepsbouwmeester (arsitek kapal) Willem Vos. Galangan kapal ini juga menjadi tempat rekonstruksi sebuah kapal lain dari abad ke-17. Berbeda dari Batavia yang adalah sebuah kapal dagang, Kapal Bendera Laksamana Michiel de Ruyter, Zeven Provinciën, adalah sebuah kapal perang.
Replika Batavia dikerjakan dengan menggunakan bahan-bahan baku tradisional, seperti ek dan rami ganja, dan menggunakan peralatan dan metode dari zaman kapal aslinya dikerjakan. Rancangannya dibuat dengan mempelajari puing-puing kapal asli di Fremantle (dan kapal Vasa di Stockholm), juga sumber-sumber bersejarah, misalnya deskripsi-deskripsi bangunan abad ke-17 (orang belum membuat denah bangunan di masa itu), dan cetakan-cetakan serta lukisan-lukisan karya para seniman (yang umumnya melukis sesuai kenyataan di masa itu), dari kapal-kapal serupa.
Pada 25 September 1999, Batavia yang baru dibawa ke Australia dengan menggunakan tongkang, dan ditambatkan di Museum Maritim Nasional di Sydney. Pada 2000, Batavia dijadikan kapal bendera Tim Olimpiade Belanda semasa Olimpiade 2000. Selama berlabuh di Australia, kapal ini pernah ditunda ke laut lepas, kemudian dibiarkan berlayar sendiri. Pada 12 Juni 2001, kapal ini kembali ke Bataviawerf di Lelystad, dan dijadikan pajangan bagi para pengunjung. Pada malam hari tanggal 13 Oktober 2008, kebakaran melanda seluruh kawasan galangan kapal. Bengkel-bengkel museum, hanggar, toko-toko, kantor-kantor, bagian dari sebuah rumah makan, dan seperangkat layar jahitan tangan habis dimakan api, tetapi replika "De Zeven Provinciën" di dekatnya tidak mengalami kerusakan. Batavia yang sedang ditambatkan sama sekali tidak terkena dampak kebakaran.
Publikasi dan media lain
Daftar di bawah ini bersifat selektif – ketertarikan terhadap peristiwa kandasnya Batavia telah menciptakan sebuah industri – dengan ditulisnya banyak buku dan artikel lain, selain yang tertera di bawah ini.
1647 – Komodor Pelsaert wafat setahun sesudah kandasnya Batavia, meninggalkan jurnalnya mengenai peristiwa-peristiwa itu. Jurnal ini, serta pamflet Ongeluckige voyagie van 't schip Batavia (Pelayaran malang kapal Batavia), terbit pada 1647, yang memungkinkan ditemukannya bangkai kapal.
1897 – Tragedi Abrolhos karya Willem Siebenhaar, sebuah terjemahan dari Ongeluckige voyagie. Dibeli dan didanai oleh saudagar guano Florance Broadhurst (lihat artikel mengenai Charles Edward Broadhurst dan keluarganya), terjemahan ini akhirnya diterbitkan dalam surat khabar mingguan Western Mail. Uraian peristiwa dalam tulisan ini juga dijadikan dasar penulisan sebuah novel berjudul Marooned on Australia (1896), karya penjelajah Ernest Favenc. Peristiwa-peristiwa tersebut juga ditampilkan dalam Sailorman's ghosts (1940) karya Malcolm Uren, dan drama radio karya Douglas Stewart, Shipwrecked (1947).
1963 – Penulis Australia ternama Henrietta Drake-Brockman menghasilkan sebuah karya tulis non-fiksi yang komprehensif berjudul Voyage to Disaster. Penulisannya menyita waktu Drake-Brockman selama sepuluh tahun. Ia juga menulis sebuah cerita fiksi berdasarkan kisah Batavia, The Wicked and the Fair pada 1957. Hasil penelitian Drake-Brockman inilah, dibantu wartawan Hugh Edwards (termasuk memperhitungkan selisih antara mil laut Belanda awal abad ke-17 dan mil laut Inggris), yang menuntun para penyelam mencapai lokasi bangkai kapal.
1966 – Wartawan Hugh Edwards menerbitkan sebuah karya tulis mengenai bangkai kapal dan penemuannya oleh Dave Johnson, Max dan Graham Cramer, serta Greg Allen, dengan judul Islands of Angry Ghosts: Murder, Mayhem and Mutiny (1966).
1970-an dan 80-an – Riwayat Batavia diceritakan kembali oleh sejumlah penulis, termasuk puisi Lee Knowles "Batavia incident" dalam Cool Summers, "Batavia Suite" karya Hal Colebatch, rangkaian puisi Mark O'Connor The Batavia, dan dalam The Bellarmine Jug karya Nicholas Hasluck.
1970-an dan 1980-an - Western Australia Museum menerbitkan laporan-laporan mengenai ekskavasi dan penelitian bangkai kapal Batavia. Terbitan ini didasarkan pada laporan arkeologi Jeremy Green.[8]
1990 – Buku karya Deborah Lisson, The Devil's Own, yang ditujukan bagi pembaca remaja, juga didasarkan atas riwayat dahagi dan pembantaian penumpang dan awak Batavia. Buku ini memenangkan penghargaan Western Australian Premier's Award pada 1991.
1991 – Sebuah cabang alur cerita (sub-plot) dalam novel karya Gary Crew, Strange Objects, mengisahkan tentang dua orang pria yang berlayar dengan Batavia, Wouter Loos, dan Jan Pelgrom.
1993 – Buku karya Philippe Godard, The First and Last Voyage of the Batavia, memuat ilustrasi berlimpah, serta rincian pengerjaan, tujuan, dan tentunya peristiwa-peristiwa traumatis di kepulauan off the West Australian coast. At the end of the book is an English translation of Pelsaert's pamphlet regarding the events on Batavia. The construction of Batavia's second incarnation is also covered, with a number of detailed photographs of the new ship.
1995 – Prospero Productions membuat sebuah film dokumenter sepanjang 52 menit berjudul Batavia Wreck, mutiny and murder, film dibuat di lokasi kejadian sesungguhnya.
2000 – Novel karya Arabella Edge, The Company, juga didasarkan pada peristiwa-peristiwa tahun 1629, demikian pula dengan novel karya Kathryn Heyman, The Accomplice (2003). Jika Edge mengisahkan peristiwa itu dari sudut pandang Cornelisz, pemimpin pendahagi, The Accomplice Heyman didasarkan atas nasib malang Judith Bastiaansz, putri pendeta.
2000 – Riwayat Batavia diceritakan kembali dalam sebuah drama radio sepanjang satu jam, Southland, ditulis oleh D. J. Britton dan disiarkan pada bulan September 2000 oleh BBC Radio 4.
2001 – Riwayat Batavia diceritakan kembali dalam bentuk opera, berjudul Batavia, digubah oleh Richard Mills dan pertama kali dipentaskan oleh Opera Australia.
2002 – Arsitek Frits van Dongen, perancang grafis Kees Nieuwenhuijzen, dan pujangga Gerrit Kouwenaar membangun sebuah kompleks apartemen di Amsterdam yang dinamakan Batavia. Sebuah puisi tentang kapal Batavia dicetak pada dinding bangunan itu.[12]
2002 – Buku karya sejarawan Mike Dash, Batavia's Graveyard: The True Story of the Mad Heretic Who Led History's Bloodiest Mutiny, menuturkan keseluruhan kisah dengan sangat terperinci melebihi yang sudah-sudah, menggunakan sejumlah besar arsip Belanda sebagai sumber untuk menggali lebih dalam masa lalu Cornelisz, serta beberapa penumpang dan awak Batavia.
2006 – Penulis Simon Leys menerbitkan The Wreck of the Batavia: A True Story, mengisahkan nasib Batavia dan para awaknya. Versi bahasa Prancisnya, Les Naufragés du Batavia (2003), memenangi Guizot Prize.
2010 – Penulis Greta van der Rol menerbitkan Die a Dry Death, sebuah novel sejarah berdasarkan kejadian-kejadian nyata peristiwa kandasnya Batavia. Novel ini memberikan argumentasi bagi ketidakbersalahan nakhoda Batavia, Adriaen Jacobsz. (2010)
2010 – The Blue-eyed Aborigine karya Rosemary Hayes adalah sebuah novel sejarah untuk kalangan remaja yang berisi kisah seorang penyintas kapal kandas. portraying a wreck survivor's story.[13]
2011 – Batavia karya Peter FitzSimons adalah sebuah buku non-fiksi kreatif mengenai Batavia.
2014 – Hell & High Water dengan musik oleh Matthew Samer dan lirik oleh Jacqueline Ozorio & Kieran Davey adalah sebuah drama musikal, dibuat sebagai sebuah produksi semi-pentas di Queensland Conservatorium, Brisbane, Australia, dan pertama kali direncanakan pada 2007.
2016 - Batavia, karya Shabbir Khanbhai dan Paul Dickson, dalah sebuah drama radio empat babak yang diadaptasi dari kisah kandasnya Batavia. Produksinya dirampungkan oleh para mahasiswa musik dan drama yang ambisius dari Australian National University, dengan musik oleh Gen Kinoshita.
2016 - Russell Crowe, via his movie production company Fear of God, telah membeli hak untuk mengangkat kisah kandasnya Batavia menjadi sebuah film berdasrkan buku terbitan 1966, Islands of Angry Ghosts, karya Hugh Edwards. Jika produksinya berlanjut, maka diperkirakan akan berlangsung selama beberapa tahun karena buku itu sendiri pertama-tama harus diadaptasi menjadi sebuah naskah film.[14]
^ ab"Registration Information for: Batavia". The Department of Maritime Archaeology Online Databases. Western Australian Museum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-10. Diakses tanggal 11 September 2007.
^Dash, M., (2002), Batavia's Graveyard, New York, hal. 57
^ abc"Batavia's Graveyard". Houtman Albrolhos. Perth: VOC Historical Society. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-04-10. Diakses tanggal 31 December 2009.
^McConnell, R. B. (May 1963). "Associations and linkage in human genetics". The American Journal of Medicine. 34 (5): 692–701. doi:10.1016/0002-9343(63)90108-6.
^ abGreen, J.N. (1989). "The AVOC retourschip "Batavia", wrecked Western Australia 1629. An excavation report and catalogue of artefacts". British Archaeological Reports International Series (489).
^Ghisalberti, E., Godfrey, I.M.*, Kilminster, K., Richards, V.L., Williams, E., 2002, "The analysis of acid affected Batavia timbers. Dalam acara ICOM Group on Wet Organic Archaeological Materials Conference yang ke-8, Stockholm, 2001", eds P. Hoffmann, J.A. Spriggs, T. Grant, C. Cook & A. Recht, International Council of Museums, Committee for Conservation Working Group on Wet Organic Archaeological Materials, hal. 281–307.
^Richards, V.L., 2002, Cosmetic treatment of deacidified Batavia timbers, AICCM Bulletin, jilid 27, Australian Institute for the Conservation of Cultural Material, hal. 12–13.
^Souter, C., 2006, Cultural Tourism and Diver Education. In Maritime Archaeology: Australian Approaches. The Springer Series in Underwater Archaeology. Staniforth, M. & Nash, M. (eds) Springer, New York
Drake-Brockman, Henrietta. Voyage to Disaster (edisi baru dengan kata pengantar yang baru) Western Australia: University of Western Australia Press, 1995. ISBN 1-875560-32-7
Edge, Arabella. The company: the story of a murderer Sydney: Picador, 2000 ISBN 0-330-48978-X
Godard, Philippe. The first and last voyage of the Batavia (memuat kontribusi dari Phillida Stephens.) Perth, WA: Abrolhos Publishing 1993. ISBN 0-646-10519-1
Lisson, Deborah.The devil's own Port Melbourne, Vic: Lothian, 2000.(Edisi pertama: Glebe, NSW: Walter McVitty, 1990) ISBN 0-7344-0128-0
Leys, Simon The Wreck of the Batavia & Prosper Melbourne: Black Inc., 2005. ISBN 1-86395-150-4