Barata atau disebut juga Pertahanan Barata[1] adalah sebuah sistem politik yang dijalankan oleh Kesultanan Buton. Dalam pengertian masyarakat Buton, Barata berarti penguat yang saling membantu agar tetap bertahan, seimbang, dan tidak mudah hancur, karena yang satu menunjang yang lain, demikian pula sebaliknya. Jadi sistem barata ini diibaratkan seperti perahu jarangka (bersayap).
Barata juga berarti cadik (cadik perahu). Dengan demikian wilayah Barata adalah wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga kestabilan kerajaan. Dalam hal ini, termasuk pula pengertian menjaga keamanan dari luar. Terdapat empat wilayah yang berkedudukan sebagai Barata bagi Kesultanan Buton yaitu Kerajaan Muna, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kulisusu, dan Kerajaan Kaledupa yang dikenal sebagai Empat Barata Kesultanan Buton.[2]
Penentangan oleh Muna
Dalam masa pemerintahan La Elangi (1579–1631) sebagai sultan Buton IV, keempat kerajaan tersebut di atas ditetapkan sebagai wilayah Barata dari Kesultanan Buton. Keempat wilayah Barata Kesultanan Buton itu masing-masing diberi kewenangan untuk mengatur dirinya dengan Dewan Legislatif dan Dewan Pemerintahannya sendiri-sendiri. Pada pertengahan abad ke-19, semua Barata kecuali Kerajaan Muna sudah merupakan wilayah yang menyatu dengan Kesultanan Buton. Muna tetap berpegang teguh pada tradisi hubungannya dengan Buton sebagai dua kerajaan bersaudara. Selalu menolak kedudukan sebagai Barata dari Buton. Persaudaraan kedua kerajaan itu terjalin ketika diangkatnya Murhum yang menjabat raja Muna, diangkat juga sebagai raja (kemudian sultan) di Buton. Sementara itu, di Muna ia digantikan oleh adiknya La Posasu, dan sejak itu pulau Muna bagian selatan digabungkan ke dalam Kerajaan Buton. Namun dalam sepanjang sejarahnya, Muna sering bertentangan dengan Buton yang selalu menempatkan Muna pada pihak yang dirugikan. Setiap kekalahan Muna dalam menghadapi Buton. Buton selalu menempatkan pejabatnya sebagai pejabat raja Muna. Hal itu merupakan pangkal pertentangan Muna terhadap Buton. Konon pada kurun waktu yang hampir bersamaan. Kerajaan Muna juga berada di bawah pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate.
Pada tahun 1655, Sultan Hasanuddin dari Gowa menyerang Buton serta berhasil menguasai Muna dan Tiworo. Raja Muna Sangia Kaindea menjadikan kesempatan ini untuk bebas dari pengaruh Ternate tanpa sepengetahuan Ternate sendiri.
Akan tetapi pada tahun 1664, Sultan Ternate menyerahkan kembali Muna atau Pantsiano kepada sultan Buton tanpa sepengetahuan raja Gowa. Penyerahan ini kemudian ditentang oleh raja Muna dan tidak mengakui kekuasaan Buton atas Muna. Atas bantuan VOC dan Ternate, Sangia Kaindea dapat ditangkap dan dibawa ke Ternate. Selama di Ternate jabatan raja Muna dipegang oleh istrinya Wa Ode Wakelu anak dari La Manempa sapati Buton waktu itu. Sesudah peperangan Gowa, Sangia Kaindea kembali ke Muna sebagai raja Muna tetapi pemerintahan sebenarnya dijalankan oleh La Ode Idris seorang kapitalau dari Buton. Pemerintahan La Ode Idris ini disebut Muna sebagai Sarano Kraindeadea. Cucu Sangia Kaindea raja Muna La Ode Husai Omputo Sangia pada masa pemerintahannya selalu tidak mengakui kekuasaan Buton atas Muna. Tetapi Belanda menganggap Muna sebagai "Vrij en on van Boeton".[4]
Pada tahun 1816, Muna bersama Tiworo dengan bantuan Syarif Ali dari Sulawesi Selatan kembali menentang Buton. Perang ini berlangsung sampai akhir 1823 dengan kekalahan Muna dan Tiworo. Seorang kapitalau dari Buton ditunjuk oleh sultan Buton sebagai pejabat raja Muna yaitu La Ode Ngkumabusi.[5]
Uraian diatas memperlihatkan bahwa sepanjang abad ke-16 sampai abad ke-19, disamping adanya hubungan persaudaraan Muna yang merupakan wilayah Barata dari Buton, walaupun Muna berdaulat didalamnya, dipihak lain orang Muna sampai masa-masa terakhir ini tidak mengakui negerinya sebagai bawahan Buton. Wilayah Barata yang lain yaitu Kulisusu, Tiworo, dan Kaledupa dalam perkembangannya secara bertahap menjadi wilayah kesultanan Buton dengan kedudukan khusus sebagai Barata dan pejabat-pejabatnya selalu ditentukan dari Kesultanan Buton.
Tugas utama Barata
Tugas utama Barata adalah bertanggung jawab terhadap pertahanan keamanan, wilayah kekuasaannya masing-masing. Setiap kerajaan yang tergabung dalam Barata ini secara mandiri mengusahakan sistem pertahanan yang kuat, sedangkan pertahanan secara kolektif apabila salah satu anggota Barata tidak dapat lagi menghadapi musuh, barulah meminta bantuan kepada kesultanan Buton. Atas perintah kapitalau, di Buton semua anggota Barata sebagai inti kekuatan bersama memberikan bantuan kepada salah satu kerajaan yang sedang berperang. Dalam arti politis, Barata adalah kerajaan- kerajaan yang berdiri sendiri di dalam lingkungan Kesultanan Buton. Kerajaan-kerajaan ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa diberi otonomi untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Akan tetapi dari segi tanggung jawab pertahanan dan keamanan wilayah secara kolektif berada di bawah komando kapitalau Kesultanan Buton. Dalam hal ini, pemimpin tertinggi Barata ada pada kapitalau yang berkedudukan di kesultanan Buton, sedangkan di kerajaan-kerajaan itu bertugas mengamankan wilayah kerajaannya.
Hubungan dengan Kesultanan Buton bersifat tradisional, pengaturan sistem pertahanan Barata ini berdasarkan kesepakatan diantara empat kerajaan tersebut bersama pemerintah kesultanan Buton. Berdasarkan kesepakatan bersama itu keempat kerajaan ini masing-masing saling menunjang, membantu, dan bertukar informasi, khususnya bila terjadi ancaman musuh yang mengganggu teritorialnya, sebab ancaman pada salah satu kerajaan berarti merupakan ancaman bagi keseluruhannya. Tugas masing-masing Barata ini ialah:
- Kerajaan Muna, Barata yang berada di bagian utara Kesultanan Buton menjaga wilayah utara.
- Kerajaan Kulisusu, Barata yang berada di bagian timur Kesultanan Buton menjaga wilayah timur.
- Kerajaan Kaledupa, Barata yang berada di bagian selatan menjaga wilayah selatan.
- Kerajaan Tiworo, Barata yang berada di bagian barat menjaga wilayah barat.
Pada dasarnya, Barata ini berfungsi sebagai pertahanan terluar atau lapisan keempat yang lebih dahulu harus dilintasi musuh sebelum masuk dalam wilayah inti. Menurut teori strategi perang modern adalah pertahanan secara ofensif, yaitu mengawal dan mengintai musuh serta menghancurkannya sejak dari tapal batas wilayah kedaulatannya.
Kesepakatan tradisional
Kesepakatan tradisional dari lima kerajaan dalam sistem pertahanan Barata ini diperbaharui kembali pada masa pemerintahan sultan Buton Kaimuddin Muhammad Idrus pada tahun 1840 yang disepakati menjadi sarana Barata (pemerintahan Barata) dan ditandatangani oleh sultan Buton serta raja-raja keempat kerajaan. Pihak Buton yang ikut bertandatangan adalah sultan Kaimuddin Muhammad Idrus, sapati La Tobelo, kanepulu La Kasorana, kapitalao Latia dan Ismail, bonto ogena matanaeyo La Peropa, dan bonto ogena sukanaeyo Haji Abdul Rachim. Penandatanganan dari empat kerajaan adalah raja Muna Ismail atau La Ode Sumaili, raja Tiworo Muhammad, raja Kulisusu La Madja, dan raja Kaledupa Adam.[8]
Adapun tugas-tugas yang diemban oleh sistem pertahanan Barata adalah terutama mempersiapkan persenjataan di setiap kerajaan yang ada dalam lingkungan Buton dengan tujuan untuk menjaga keamanan di wilayahnya. Apabila terjadi penyerahan, maka terlebih dahulu mengadakan perlawanan dan apabila tidak bisa menghadapinya barulah ia meminta bantuan dari Barata yang lain atau pada sultan Buton. Selain itu, Barata juga ditugasi memantau keadaan wilayahnya jika ada orang asing yang terdampak karena mengalami kecelakaan kapal, perahu pecah, ataupun tenggelam di wilayah perairan Buton dan sekitarnya, terutama bagi pelaut-pelaut Bone dan Ternate, serta pelarian politik dan budak yang mencari perlindungan agar ditolong dan diperlakukan dengan baik dan diberi perlindungan, kemudian dikembalikan ke negeri asalnya dengan selamat.
Dalam sarana Barata juga diatur tentang kunjungan para pejabat kesultanan Buton di wilayah Barata, khususnya kapitalau dan pengawas sultan. Bagi rakyat dan aparat atau pembesar kerajaan di wilayah Barata yang melakukan pelanggaran harus dihukum sesuai kesalahannya. Mulai dari hukuman ringan seperti diberi sanksi, mulai dari dipecat hingga hukuman gantung. Sarana Barata juga mengatur perkawinan antar kerajaan yang tergabung dalam Barata, baik antara orang-orang dari Kesultanan Buton dengan keempat kerajaan maupun sebaliknya. Hal ini merupakan suatu politik dan strategi jangka panjang bagi Kesultanan Buton untuk memperluas jangkauan pengaruhnya ke seluruh wilayah termasuk kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam Barata.[10]
Referensi