Banjir besar dan prokreasi

Lukisan dinding Nuwa dan Fuxi dari Dinasti Han

Tema Banjir Besar yang memusnahkan hampir seluruh umat manusia yang dilanjutkan prokreasi sepasang saudara untuk mengisi kembali dunia dengan manusia merupakan salah satu mitologi yang cukup populer; Chen Jianxian (1996) menyatakan bahwa tema ini masih diceritakan oleh lebih dari 40 etnis di Tiongkok. Terdapat kemungkinan bahwa mitologi ini relatif baru (dibandingkan banjir besar Gun-Yu) karena tulisan paling kuno yang memuatnya berasal dari masa Enam Dinasti; meskipun tidak diketahui sejauh apa kisah mitologi ini diceritakan secara lisan.[1] Karena memuat pernikahan sesama saudara, mitologi ini kerap dicampur-adukkan dengan mitologi Nüwa dan Fuxi dalam Shan Hai Jing yang saling menikah dan melahirkan umat manusia.[2] Versi lain memasangkan Pangu dengan saudarinya yang tidak diberi nama sebagai tokoh dalam mitologi ini.[3]

Meskipun ada banyak versi, secara garis besar tema ini menceritakan mengenai banjir besar yang memusnahkan seluruh manusia kecuali sepasang kakak-beradik, atau bibi dan keponakan. Keduanya terpaksa menikah untuk mengisi kembali dunia dengan manusia. Sebagian versi menyebutkan anak-anak mereka adalah manusia normal, sementara yang lain mengisahkan anak mereka berupa gumpalan daging, labu, melon, atau batu pengasah; yang setelah dibuka, dipotong, atau dihancurkan, muncul manusia.[1]

Pembalasan dendam dewa petir

Chen Jianxian menduga asal tema ini berasal dari suku Miao. Secara garis besar, tema ini mengisahkan pertikaian antara leluhur manusia yang namanya bervariasi dengan dewa petir. Suatu ketika, leluhur manusia berhasil menangkap dewa petir, tetapi dilepaskan kembali oleh kedua anaknya (salah satu versi menyebutkan kedua anaknya adalah Fuxi dan Nüwa). Dewa petir memberi keduanya biji labu atau labu kuning atau giginya dan mengatakan bahwa akan ada banjir besar. Seluruh umat manusia tewas akibat banjir tersebut kecuali sepasang bersaudara yang bersembunyi di dalam buah labu. Untuk mengisi kembali dunia, kedua bersaudara tersebut menikah setelah memperoleh tanda dari surga (berbeda-beda menurut versi berbeda). Setelahnya, salah satu versi menyebutkan bahwa saudari perempuan melahirkan sebuah labu. Keduanya memotong-motong labu tersebut dan masing-masing potongan menjadi manusia, atau membelahnya dan dari dalamnya keluar para leluhur berbagai suku, dan sebagainya.[1] Versi yang sedikit berbeda diceritakan di bawah ini.

Pada suatu ketika, seorang petani sedang bekerja di ladang saat ia mendengar suara guntur. Ia buru-buru membawa putra dan putrinya (Nüwa dan Fuxi) masuk ke dalam rumah, menyiapkan kurungan besi dan membawa garpu rumput. Saat dewa petir Lei Gong muncul sambil membawa kapak, petani tersebut menusuknya dan mengurungnya dalam kurungan besi. Ia bermaksud membunuh Lei Gong dan mengawetkannya di dalam toples, tetapi tidak memiliki bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mengawetkan, maka petani tersebut pergi ke pasar setelah sebelumnya berpesan kepada kedua anaknya agar jangan mendekat dan memberi makanan maupun minuman kepada Lei Gong. Awalnya kedua anak tersebut menuruti nasihat ayah mereka, tetapi lama-kelamaan mereka merasa kasihan kepada Lei Gong yang terus memohon untuk diberi makanan atau air. Saat keduanya memberi setetes air, kekuatan Lei Gong kembali pulih dan ia melompat keluar dari kurungannya. Kedua anak tersebut ketakutan, tetapi Lei Gong justru berterima kasih dan memberi mereka salah satu giginya untuk ditanam. Setelah gigi tersebut ditanam dan tumbuh tanaman labu, Lei Gong kembali ke angkasa kemudian memerintahkan dewa hujan untuk mencurahkan air sederas mungkin.[4]

Saat petani tersebut kembali ke rumah, air sudah setinggi lututnya. Ia menyadari apa yang telah terjadi sehingga buru-buru membuat kapal, memasukkan kedua anaknya ke dalam labu ajaib, dan mengangkut mereka di atas perahu. Banjir terus meningkat hingga sampai ke surga. Sang petani menggedor gerbang surga sambil memohon Tai Di untuk menghentikan hujan. Taidi yang melihat bahwa permukaan air bah sudah hampir mencapai surga segera memerintah dewa air untuk menghilangkan banjir saat itu juga. Air bah segera menghilang, akibatnya kapal si petani meluncur deras ke tanah dan hancur bersama dengan petani tersebut, tetapi kedua anaknya yang berada di dalam labu selamat. Setelah keluar dari dalam labu, kedua anak tersebut menyadari bahwa hanya mereka berdualah yang tersisa dari seluruh umat manusia. Selanjutnya mereka berdua menikah dan mengisi ulang dunia.[4]

Versi berbeda mengisahkan bahwa sepasang bersaudara yang selamat tersebut adalah A Zie dengan saudarinya. Setelah banjir reda, A Zie bermaksud menikahi saudarinya itu, tetapi ditolak karena dianggap tidak pantas. Akhirnya, saudarinya berkata bahwa ia setuju mereka akan menikah jika mereka masing-masing pergi ke puncak bukit yang berbeda sambil membawa salah satu dari sepasang batu gerinda, kemudian menggelindingkan batu tersebut ke lembah di tengah-tengah. Jika kedua batu tersebut saling menumpuk seperti posisi yang seharusnya, maka ia setuju menjadi istri saudaranya. A Zie menyiapkan batu gerinda yang saling menumpuk di dasar lembah tanpa sepengetahuan saudarinya sebelum keduanya naik ke bukit dan menggelindingkan gerinda masing-masing. Setelah keduanya bertemu di dasar lembah, mereka menemukan batu gerinda yang saling menumpuk. Namun, saudarinya masih belum yakin dan memberi syarat kedua, kini keduanya harus melempar pisau dan pisau tersebut harus masuk ke dalam sarungnya yang ada di dasar lembah. A Zie melakukan trik yang sama seperti sebelumnya dan mereka menikah. Ternyata anak mereka setelah lahir berupa gumpalan tanpa lengan dan kaki sehingga A Zie yang marah memotong-motong gumpalan daging tersebut dan menyebarnya ke seluruh penjuru bukit. Keesokan paginya, ternyata masing-masing potongan daging berubah menjadi pria dan wanita.[5]

Terdapat pula versi yang mengisahkan bahwa tes yang diberikan si saudari tidak berhasil sehingga keduanya tidak menikah. Mereka membentuk manusia dari tanah liat yang selanjutnya hidup. Namun, saat mereka sedang menjemur boneka tanah liat yang mereka buat, tiba-tiba turun hujan. Kedua buru-buru menyelamatkan boneka-boneka tanah liat tersebut, tetapi sebagian kehilangan lengan, kaki, mata, dan sebagainya. Hal tersebut digunakan untuk menjelaskan mengapa ada orang cacat di dunia.[1]

Leluhur manusia menikahi dewi

Tema ini terutama tersebar luas di antara Suku Nakhi dan Yi. Dikisahkan bahwa ada beberapa bersaudara yang mencangkul ladang, tetapi selalu kembali rusak keesokan harinya. Ternyata setiap malam, ladang tersebut dirusak oleh seekor babi hutan. Semua saudara itu bermaksud membunuh babi hutan yang mengganggu ladang mereka, kecuali satu orang. Karena kebaikannya, babi hutan yang ternyata adalah dewa itu memberitahunya bahwa akan terjadi banjir besar. Pemuda tersebut selamat dengan berada di dalam drum berlapis kulit atau kotak kayu. Banjir terus tinggi hingga ke Surga dimana si pemuda bertemu dengan seorang gadis khayangan dan ingin menikahinya. Pemuda itu lulus serangkaian tes dan berhasil menikahi gadis khayangan, kemudian anak-anak mereka menjadi leluhur bangsa Tibet, Nakhi, dan Bai.[1]

Versi lain merupakan versi campuran. Terdapat dua bersaudara dan satu saudari yang mencangkul lahan, tetapi dirusak oleh seorang dewa. Dewa tersebut memberi tahu bahwa akan ada banjir besar kemudian menasihati saudara yang lebih muda dan saudarinya untuk menumpang labu raksasa, tetapi menyarankan saudara yang lebih tua (dan bertabiat buruk) untuk naik kapal batu. Akhirnya kedua saudara dan saudari tersebut selamat, menikah, dan memperoleh seorang putra yang selanjutnya menikahi gadis khayangan.[1]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f Lihui, Yang; Deming, An; Anderson, Jessica (2005). Handbook of Chinese Mythology. New York: Oxford University Press. hlm. 114-117. ISBN 978-0-19-533263-6. 
  2. ^ Worshiping the Three Sage Kings and Five Virtuous Emperors - The Imperial Temple of Emperors of Successive Dynasties in Beijing. Beijing: Foreign Language Press. 2007. ISBN 978-7-119-04635-8. 
  3. ^ Lihui, Yang; Deming, An; Anderson, Jessica (2005). Handbook of Chinese Mythology. New York: Oxford University Press. hlm. 177-178. ISBN 978-0-19-533263-6. 
  4. ^ a b Jeremy Roberts (2010). Chinese Mythology A to Z, Edisi kedua. New York: Chelsea House Publishers. ISBN 978-1-4381-2799-6. 
  5. ^ E. T. C. Werner (1922). "Myths and Legends of China". London: George G. Harrap and Company. hlm. 406-408. Diakses tanggal 14 November 2015.