Banjir Sudan 2020
Pada September 2020, curah hujan yang tinggi dan hujan lebat terus menerus di Sudan menyebabkan banjir dahsyat di 16 negara bagian di Sudan. Banjir berdampak pada sekitar 500.000 orang, menghancurkan lebih dari 100.000 rumah, dan menewaskan sedikitnya 102 orang.[1][2] BanjirPermukaan air Sungai Nil di Sudan naik dan mencapai rekor tertinggi, saat banjir mulai menerjang pemukiman dan menghancurkan sekitar 60.000 rumah, dan menewaskan puluhan orang.[3] Permukaan Sungai Nil Biru naik lebih dari 17 meter, sehingga mencetak rekor. Banjir disebabkan oleh hujan lebat yang sebagian besar turun di negara tetangga Etiopia, menaikkan permukaan Sungai Nil sejauh 17,5 meter (57 kaki) pada akhir Agustus, level tertinggi yang dicapai dalam satu abad terakhir, menurut Kementerian Pengairan Sudan.[4] Untuk pertama kalinya dalam sejarah, keberadaan situs bersejarah Piramida Meroë terancam oleh banjir.[5] Ketinggian banjir dan curah hujan melebihi rekor yang tercatat pada tahun 1946 dan 1988.[1] Beberapa ahli, seperti International Rivers, memperkirakan perubahan iklim akan memperparah ancaman kekeringan dan banjir musiman di masa depan.[6] DampakPemerintah Sudan memimpin dan mengkoordinasikan tanggap darurat banjir.[7] Badan Penanggulangan Banjir Nasional dari Komite Bantuan Kemanusiaan dimulai, dan Perdana Menteri Abdalla Hamdok menegaskan bahwa "ketinggian Sungai Nil dan anak-anak sungainya tahun ini, menurut Kementerian Pengairan dan Sumber Daya Air, belum pernah terjadi sebelumnya sejak 1912." Ia juga mengatakan bahwa banjir tahun ini mengakibatkan kerugian nyawa dan harta benda yang tragis dan menyakitkan Situasi daruratDewan Keamanan dan Pertahanan Sudan mengumumkan keadaan darurat di seluruh negeri selama tiga bulan, dan memutuskan untuk mempertimbangkan Sudan sebagai daerah bencana alam, dan untuk membentuk komite tertinggi untuk mencegah dan mengatasi dampak buruk hujan lebat dan banjir.[8] Air dapat membanjiri dan mengancam keberadaan situs arkeologi kuno di negara tersebut. Tim telah membangun dinding yang tersusun dari karung pasir dan memompa air keluar dari area tersebut untuk menghindari kerusakan pada reruntuhan Al-Bajrawiya, yang merupakan kota kuno dari kerajaan Meroitik berusia dua ribu tahun yang juga merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Sebelumnya, banjir tidak pernah mengancam lokasi bersejarah tersebut.[9] Banjir sejauh ini telah berdampak pada lebih dari setengah juta orang dan merusak lebih dari 100.000 rumah di setidaknya 16 negara bagian di Sudan. Menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Tenda-tenda telah disiapkan untuk menampung para pengungsi di ibu kota Khartoum.[10] Penyakit yang ditularkan melalui air mulai mengancam kesehatan warga. Demam, diare, dan infeksi perut mulai mewabah karena air minum yang kotor. Sudan telah menghadapi krisis kesehatan bahkan sebelum keadaan darurat banjir. Apotek melaporkan kekurangan obat dan banyak rumah sakit kekurangan fasilitas kesehatan yang memadai. Sejak banjir dimulai tiga pekan yang lalu, jumlah kasus penyakit terkait banjir terus melonjak tajam.[11] Referensi
|