Idealisme (hubungan internasional)Idealisme dalam kebijakan luar negeri adalah pemahaman bahwa sebuah negara harus menjadikan pemikiran politik dalam negerinya sebagai tujuan kebijakan luar negerinya. Misalnya, seorang idealis percaya bahwa mengentaskan kemiskinan di dalam negeri harus dilengkapi dengan pengentasan kemiskinan di luar negeri. Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson adalah pendukung pertama idealisme. Idealisme Wilson merupakan pendahulu liberalisme yang kelak merebak di kalangan "pendiri lembaga" setelah Perang Dunia II. Idealisme sangat mengutamakan eksepsionalisme Amerika Serikat. Pada umumnya, Michael W. Doyle mendeskripsikan idealisme sebagai paham yang didasarkan pada keyakinan bahwa niat baik sebuah negara bisa dipercaya, sedangkan realisme yakin bahwa niat baik sebuah negara dalam jangka panjang akan memunculkan dilema keamanan seperti yang dijelaskan John H. Herz. Hedley Bull menulis:[1]
Teori turunanIdealisme adalah aliran yang bertahan tidak lama dan mengalami krisis kepercayaan setelah Liga Bangsa-Bangsa gagal dan Perang Dunia II pecah. Namun demikian, teori-teori hubungan internasional penggantinya mengambil sejumlah elemen dari idealisme Wilson untuk membangun pandangan dunianya. LiberalismeLiberalisme mengandung versi keras dari idealisme Wilson setelah Perang Dunia I. Karena tahu idealisme gagal mencegah isolasionisme baru setelah Perang Dunia I dan ketidakmampuan idealisme menangani keseimbangan kekuasaan di Eropa untuk mencegah perang baru, para pemikir liberal merancang beberapa lembaga internasional berdasarkan aturan hukum dan interaksi yang tertata. Organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan NATO atau rezim-rezim internasional seperti sistem Bretton Woods dan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sudah dirancang untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan sekaligus mengatur kerja sama antarnegara. NeokonservatismeNeokonservatisme mengambil elemen pengutamaan nilai universalnya dari liberalisme. Nilai universal tersebut adalah demokrasi, hak asasi manusia, hak wanita, dan perlindungan minoritas. Akan tetapi, neokonservatisme enggan mengakui pentingnya mempertahankan lembaga dan perjanjian internasional. Para neokonservatis justru lebih mendukung sikap asertif atau agresif yang mereka anggap bermoral, dan akan menggunakan paksaan atau ancaman serangan sepihak, bila perlu, demi mencapai tujuannya. Lihat pula
Catatan kaki
Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia