Dekomisioning nuklirDekomisioning nuklir adalah suatu proses yang bertujuan untuk menutup sebagian maupun secara keseluruhan dari sebuah fasilitas nuklir yang secara umum adalah reaktor nuklir, hingga mengakhiri izin operasionalnya. Proses ini tidak dapat diubah kembali, yang umumnya dijalankan sesuai dengan rencana dekomisioning, mencakup pembongkaran dan dekontaminasi sebagian atau secara keseluruhan dari sebuah fasilitas nuklir hingga menghasilkan pemulihan lingkungan yang ideal dan memperoleh status greenfield. Rencana dekomisoning terpenuhi ketika kondisi akhir fasilitas nuklir tersebut telah tercapai. Proses dekomisioning ini memerlukan waktu antara 15 - 30 tahun atau lebih dari beberapa dekade, bila periode penyimpanan aman sementara, diterapkan untuk peluruhan radioaktif. Setelah proses dekomisioning, limbah radioaktif dipindahkan ke fasilitas penyimpanan dalam kendali pemiliknya atau dipindahkan ke tangki penyimpanan kering atau fasilitas pembuangan akhir di tempat lain. Pembuangan akhir dari limbah nuklir ini, baik limbah pada masa lalu maupun masa yang akan datang, merupakan masalah yang terus berkembang dan masih belum dapat terpecahkan. Dekomisioning merupakan proses teknis dan administratif, hingga fasilitas nuklir tersebut tidak lagi memerlukan tindakan perlindungan radiasi, termasuk pembersihan bahan-bahan radioaktif. Setelah fasilitas nuklir tersebut sepenuhnya didekomisioning, tidak akan ada lagi bahaya radiologis yang tersisa, hingga izin fasilitas tersebut akan berakhir dan lokasi tersebut dibebaskan dari kontrol regulasi. Pemegang lisensi tidak lagi bertanggung jawab atas keselamatan nuklir. Biaya dekomisioning ditanggung oleh dana yang tercantum dalam rencana dekomisioning, sebagai bagian dari otoritas awal. Dana tersebut disimpan dalam dana dekomisioning, seperti dana perwalian. Terdapat ratusan ribu fasilitas dan perangkat-perangkat nuklir skala kecil yang digunakan untuk kepentingan medis, industri dan fasilitas-fasilitas penelitian yang pada suatu saat nanti harus didekomisioning.[1] DefinisiDecommissioning nuklir adalah proses teknis dan administratif yang tidak dapat diubah kembali, bertujuan untuk menutup fasilitas yang memberdayakan energi nuklir seperti penutupan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), reaktor penelitian, fasilitas produksi yang menghasilkan isotop, akselarator partikel atau tambang uranium. Istilah ini merujuk kepada kegiatan teknis dan administratif, termasuk langkah-langkah yang bertujuan untuk menghilangkan beberapa atau seluruh kendali regulasi atas sebuah fasilitas nuklir agar lokasi bekas fasilitas tersebut dapat digunakan kembali. Kegiatan dekomisioning mencakup perencanaan, dekontaminasi, pembongkaran dan pengelolaan terhadap bahan dan material.[2] Dekomisioning merupakan proses terakhir dalam suatu siklus hidup (lifecycle) dari sebuah instalasi nuklir, yang meliputi kegiatan dan aktivitas dari penghentian dan pembuangan bahan-bahan nuklir hingga pemulihan lingkungan di lokasi instalasi tersebut berada.[3] Sehingga instalasi tersebut memperoleh lisensi dekomisioning hingga pengawasan regulasi nuklir tidak lagi diperlukan. Tujuan ideal dari proses dekomisioning ini adalah untuk mengembalikan keadaan awal seperti sebelum fasilitas nuklir tersebut dibangun, yang disebut dengan status greenfield.[4] Dekomisioning juga meliputi langkah-langkah yang diuraikan dalam rencana dekomisioning, termasuk pelepasan sebuah fasilitas nuklir dari kendali regulasi, sehingga kondisi akhir dari fasilitas nuklir tersebut dapat tercapai dan disetujui dengan fasilitas pembuangan limbah radioaktif yang telah ditutup alih-alih dinonaktifkan. Penggunaan istilah dekomisioning atau penonaktifan, mengindikasikan bahwa tidak ada lagi penggunaan fasilitas nuklir (atau bagian-bagiannya) untuk pendayagunaan tertentu. Meskipun secara umum dekomisioning mencakup pembongkaran fasilitas nuklir, tetapi hal ini tidak selalu menjadi bagian dari dekomisioning, selagi bangunan atau gedung yang ada, masih dapat digunakan kembali setelah proses dekontaminasi dan dekomisioning selesai.[5] Dari sudut pandang pemangku kepentingan atau pemilik fasilitas, tujuan akhir dari proses dekomisioning adalah berhentinya lisensi operasional melalui sebuah kepastian, bahwa tingkat radiasi di lokasi tersebut berada di bawah ambang batas yang diizinkan. Di Amerika Serikat, tingkat radiasi bekas fasilitas nuklir yang dapat digunakan kembali oleh publik, memiliki paparan radiasi sebesar 25 milirem per tahun.[6] Secara keseluruhan, proses dekomisioning biasanya memerlukan waktu antara 20 hingga 30 tahun.[3] Proses dekomisioning fasilitas nuklir di Amerika Serikat, harus diselesaikan dalam jangka waktu 60 tahun sejak fasilitas tersebut beroperasi, kecuali bila diperlukan waktu yang lebih lama, terkait dengan faktor kesehatan dan keamanan publik.[6] Jangka waktu tersebut yakni, 50 tahun untuk peluruhan radioaktif dan 10 tahun untuk pembongkaran fasilitas nuklir.[7] Tahapan proses dekomisioningProses dekomisioning meliputi hal sebagaimana berikut ini.
Rencana dekomisioningNegara anggota yang berada dalam pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional, membuat rencana dekomisioning untuk menunjukkan kelaikan dari dekomisining tersebut serta memastikan bahwa biaya-biaya yang timbul telah ditanggung. Dalam tahap penonaktifan terakhir, rencana dekomisioning akhir menguraikan secara rinci bagaimana proses dekomisioning tersebut akan dilakukan, bagaimana fasilitas nuklir tersebut dibongkar, lalu memastikan perlindungan radiasi bagi para pekerja dan masyarakat, mengatasi dampak lingkungan, kemudian mengelola bahan-bahan radioaktif dan non-radioaktif serta mengakhiri otorisasi regulasi.[2] Di Uni Eropa, kegiatan dan aktivitas dalam proses dekomisioning diawasi oleh Masyarakat Energi Atom Eropa (Euratom) dan negara-negara anggotanya, dibantu oleh Komisi Eropa.[3] Pembongkaran gedung atau bangunan sebuah fasilitas nuklir secara bertahap dan kegiatan pembersihan bahan-bahan radioaktif, berpotensi membahayakan pekerjaan, berbiaya tinggi dan membutuhkan jangka waktu lama serta menimbulkan risiko lingkungan yang wajib ditangani untuk memastikan bahan-bahan radioaktif tersebut ditangani dengan tata cara yang aman, baik disimpan di lokasi maupun disimpan di lokasi lain. Penanganan limbah nuklir![]() Setelah fasilitas nuklir dinonaktifkan, sisa-sisa limbah radioaktif dipindahkan ke dalam tangki penyimpanan kering, lalu ditempatkan di area penyimpanan yang berada dalam pengawasan pemilik/pemangku kepentingan atau dipindahkan ke fasilitas pembuangan di tempat lain.[9] Dalam jangka panjang, masalah terkait pembuangan limbah nuklir ini, masih belum dapat terpecahkan. Tempat pembuangan limbah sementara memang diperlukan, hingga tersedianya fasilitas pembuangan geologis untuk pembuangan limbah dalam jangka panjang. Seperti rencana pembangunan fasilitas penyimpanan limbah nuklir yang menuai kontroversi di Gunung Yucca, Nevada, yang juga menjadi kontroversi di seluruh dunia terkait pembuangan bahan bakar bekas nuklir (bahan bakar terpakai). Di Amerika Serikat, baik di dalam lokasi maupun di luar fasilitas nuklir, limbah nuklir ditempatkan di Fasilitas Penyimpanan Bahan Bakar Bekas Independen (ISFSI).[10] Penanganan dekomisioning reaktor nuklir Magnox yang berjumlah sebelas reaktor di Inggris, berada dalam pengawasan Otoritas Dekomisioning Nuklir. Bahan bakar bekas nuklir dipindahkan ke Sellafield di Cumbria untuk proses lanjutan.[11] Di Inggris, penanganan limbah nuklir di lokasi penyimpanan limbah "sementara", terutama 'Limbah Tingkat Menengah' disebut dengan "Interim Storage Facilities" (ISF).[12] Penilaian dampak lingkunganPenonaktifan sebuah reaktor nuklir, hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Prosedur perizinan harus melampirkan berbagai jenis dokumen, laporan-laporan dan pendapat para ahli yang harus ditulis dan dilampirkan kepada otoritas berwenang, yang meliputi laporan tentang keselamatan, dokumen teknis dan laporan mengenai penilaian dampak lingkungan (AMDAL). Di Uni Eropa, dokumen-dokumen tersebut merupakan prasyarat dalam prosedur pemberian izin oleh pendapat Komisi Eropa, yang tertuang dalam Perjanjian Euratom, pasal 37.[13] Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia