Setelah dewasa, Ali pernah berseberangan dengan pemerintahan Kekhalifahan Umayyah selama pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik, yang pernah memerintahkan Ali untuk dicambuk dan diasingkan dari pusat pemerintahan.[a] Ali kemudian pindah ke provinsi Al-Sharat, di perbatasan antara Palestina dan Arab, lalu bertempat tinggal di desa Humeima, serta menetapkan tempat itu sebagai markas baru keluarga Abbasiyah. Putranya, Muhammad bin Ali, menggantikannya sebagai pemimpin keluarga dan pemimpin perlawanan Abbasiyah.[4] Ali kemudian meninggal di Humeima pada tahun 736.[5][6]
Karakterisasi
Ali digambarkan sebagai seorang pria gagah bertubuh besar dan berkulit putih, dengan rambut berwarna hitam, janggut panjang, dan kepala botak yang ditutup dengan topi. Diriwayatkan ia sangat saleh dan tekun shalat sehingga di kalangan Sunni ia dijuluki "As-Sajjad" (yang suka bersujud).[7]
Keturunan
Ali meninggalkan anak-anak, antara lain Muhammad, Abdullah, Dawud, Isa, Sulaiman, Shalih, Ahmad, Bisyr, Mubasyir, Ismail, Abdush Shamad, Abdul Malik, Utsman, Abdurrahman, Abdul Aziz, Ismail al-Ashghar, Abdullah al-Ausath, Abdullah al-Akbar, Fatimah, Ummu Isa al-Kubra, Ummu Isa ash-Shughra, Umaimah, Lubabah, Buraihah al-Kubra, Buraihah ash-Shughra, Maimunah, Ummu Ali, al-Ghaliyyah, dan Ummu Habib binti Ali.[8][9]
Putranya yang paling berpengaruh adalah Muhammad, yang menjadi salah satu tokoh utama penyebab berdirinya Kekhalifahan Abbasiyah dan ayah dari Khalifah As-Saffah dan Al-Mansur. Keturunannya yang lain, termasuk Isa,[10] Dawud,[11] Sulaiman,[10] Abdush Shamad,[12] Shalih,[12] Ismail,[12] dan Abdullah,[12] adalah peserta aktif dalam Revolusi Abbasiyah, dan beberapa di antaranya terus memainkan peran penting dalam dekade pertama Kekhalifahan Abbasiyah.
^Mush'ab az-Zubairi. Kitab Nasab Quraisy. shamela.ws (dalam bahasa Arab). hlm. 30. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-21. Diakses tanggal 2024-01-29.