Ayam lodho
Ayam lodho adalah salah satu hidangan dari daging ayam yang berasal dari Tulungagung dan Trenggalek, Jawa Timur, Indonesia. Hidangan ini adalah hidangan tradisional yang dikonsumsi sehari-hari dan digunakan sebagai sajian tradisi selamatan. Ayam lodho dimasak dengan cara memanggang atau membakar ayam kampung hingga empuk, lalu direbus dalam kuah dari santan dan bumbu-bumbu lainnya. Hidangan ini memiliki cita rasa gurih dan pedas yang berasal dari santan dan rempah-rempah yang digunakan. Umumnya disajikan dengan sega gurih atau nasi gurih (sejenis nasi uduk). PenyajianTidak diketahui sejak kapan hidangan ayam lodho muncul. Hidangan ini mungkin telah ada sejak puluhan atau bahkan ratusan lalu dan resepnya telah diwariskan secara turun-temurun sehingga tidak diketahui siapa pencipta atau penggagas hidangan ini.[1] Kata lodho dapat diartikan sebagai lembut karena ayam ini dimasak hingga daging ayamnya lembut dan bisa terlepas dari tulangnya. Lodho juga dapat diartikan sebagai masakan gurih dari santan yang sangat kental.[1][2] Ayam lodho dimasak dengan cara memanggang ayam kampung hingga empuk, lalu direbus dalam kuah dari santan dan bumbu-bumbu lainnya. Umumnya disajikan dengan sega gurih atau nasi gurih (sejenis nasi uduk). TradisiHingga saat ini, ayam lodho erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Tulungagung dan Trenggalek dalam berbagai acara seperti selamatan dan sedekah bumi. |url=http://ejournal.kopertais4.or.id/matTrenggalek sajian lodho sega gurih, yakni hidangan ayam lodho dan nasi gurih digunakan sebagai sesajen untuk slametan njangkar, yakni sejenis selamatan yang digelar pemilik perahu dan nelayan sebulan sekali setelah bulan purnama. Sesajen ayam lodho dan nasi gurih melambangkan hubungan manusia dengan Sang Hyang Tunggal. Menurut Puspita (2018), sesajen ini ditujukan untuk leluhur, dan supaya yang memiliki hajat agar hajatnya tercapai dan dikabulkan Sang Hyang Tunggal. Tradisi slametan njangkar ini masih berkaitan dengan tradisi Kejawen dan kepercayaaan tentang penguasa Laut Selatan Nyi Roro Kidul yang masih dianut masyarakat.[3] Referensi
|