Augustijn Michiels (6 Januari 1769 - 27 Januari 1833), dikenal dengan julukan Mayor Jantje dan sering ditulis Augustijn Michielsz, adalah seorang tokoh militer dan tuan tanah Mardijkers yang kaya raya. Ia dikenal sebagai pencipta tanjidor.[1]
Kehidupan awal
Michiels lahir pada tanggal 6 Januari 1769. Ayahnya, Jonathan Michiels, adalah seorang pemimpin kaum mardijkers sedangkan ibunya bernama Agraphina Abrahams. Ia adalah keturunan pemimpin kaum Mardijkers bernama Titus Michiels alias Titus van Benggala.[1]
Karier militer
Augustijn bergabung ke dinas militer pada tahun 1787. Pada bulan Oktober 1789, Augustijn berstatus sebagai Vaandrig der Inlandsche Burgerij (calon perwira). Kemudian, pangkatnya dinaikkan menjadi Luitenant der Inlandsche Christenen (letnan Kristen Bumiputera) pada tanggal 26 Oktober 1800 sebagai langkah pencegahan jika Inggris mendarat di Pulau Jawa dan ia menjadi bawahannya Nicolaus Engelhard [nl] yang memimpin pasukan bumiputera.[1][2]
Pada tanggal 13 Maret 1801, Augustijn mendapatkan promosi pangkat menjadi Kapitein Luitenant der Burgerij (Kapten Letnan Burger). Ia lalu memperoleh pangkat Kapitein Luitenant onder Papangers of Mardijkers (Letnan Kapten untuk Korps Papangers atau Mardijkers) pada tanggal 30 Maret 1804. Kematian kakaknya, Pieter Michiels, membuat Augustijn mendapatkan gelar Kapitein der Papangers met de rang van Kapitein de Burgerij (Kapiten Pasukan Papangers). Ia memutuskan untuk pensiun dari militer pada tanggal 25 September 1807 dengan pangkat terakhirnya ialah Oud Majoore de Burgerij atau Kolonel Tituler.[1] Alasan ia keluar dari militer ialah karena sulit untuk mengurus tanah yang ia miliki di luar kota.[3]
Tuan tanah
Berdasarkan surat wasiat Jonathan Michiels yang dikeluarkan oleh pada tahun 1800, Andries dan Pieter menjadi pewaris tanah milik ayahnya. Namun sepeninggal kakanya terakhirnya pada tahun 1805, Pieter, Augustijn menjadi pewaris total tanah di Cileungsi dan Klapanunggal.[1]
Meskipun ia mewariskan tanah dari ayahnya, ia tetap membeli tanah baru. Pada tahun 1808, ia membeli tanah di kawasan Nambo. Dua tahun kemudian, ia membeli tanah kembali di Cibarusah. Pada tahun 1817, ia membeli tanah di daerah Citeureup dan Nanggewer. Ia juga membeli tanah di Ciputri pada masa pemerintahan Raffles. Pada tahun 1819, tanahnya memiliki luas yang membentang dari Cikeas ke Cipanas. Dan pada tahun 1827, ia membeli tanah di Sukaraja.[4] Augustijn juga memiliki rumah mewah bernama Semper Idem yang terletak di Batavia dan dirumahnya terdapat budak.[5] Karena kekayaanya, Augustijn Michiels dinobatkan sebagai tuan tanah terkaya di Pulau Jawa pada dekade 1830an.[1]
Dari beberapa tanahnya yang ia miliki, lahannya di Citereup menjadi yang paling terkenal. Ia memiliki rumah mewah di Citereup.[6] Di dalam rumahnya di Citereup, ia memiliki 117 budak pria dan wanita.[7] Di rumah Citereup, ia suka mengadakan pesta meriah yang diiringi oleh musik dari Eropa dan Tiongkok serta diakhiri oleh permainan gamelan dan tari ronggeng setiap sabtu malam. Musik-musik ini dimainkan oleh Korps Muziek Pampangers yang anggotanya terdiri dari budak-budaknya Augustijn. Perpaduan musik dari berbagai daerah yang dimainkan Korps Musik Pampanger menjadi tonggak lahirnya Tanjidor.[1]
Augustijn bergantung kepada penyewaan tanah sebagai sumber penghasilannya. Tanah-tanah yang ia miliki disewakan ke orang Tionghoa, kecuali untuk yang di Klapanunggal. Dari penyewaan tanah itu, ia mendapatkan uang sebesar 140.000 gulden per tahunnya. Di samping itu juga, Augustijn juga memiliki tambang emas dan terlibat dalam bisnis sarang burung walet di Klapanunggal.[8][1]
Pada tahun 1826, Augustijn Michels diangkat sebagai anggota Komite Pertanian Hindia Belanda karena pamornya.[8]
Meninggal dunia
Augustijn Michels meninggal dunia pada tanggal 27 Januari 1833 di rumah Semper Idem, Jakarta. Tidak diketahui pasti alasan kematiannya, namun diduga ia meninggal dunia karena sakit. Jenazah lalu dibawa ke makam yang terletak di Kampong Tangki dan selama prosesi pengiringan jasad Augustijn, Korps Musik Papangers memainkan musik untuk terakhir kalinya.[9]
Sepeninggal Augustijn Michiels, barang-barangnya yang berada di Citeureup dan Semper Idem mulai dari alat musik, peralatan senjata hingga kendaraan hewannya dilelang dan dijual. Proses pelelangan terjadi sebanyak 18 kali yang dimulai dari tanggal 12 Februari hingga 24 Oktober 1833.[10]
Kehidupan pribadi
Augustijn Michiels memiliki dua istri. Ia menikah dengan Maria Wilhelmina de Bruijn pada tahun 1788 meskipun sempat ditentang oleh ayahnya. Maria meninggal pada tahun 1803.[1][11] Kemudian dia menikah dengan Davida Elisabeth Augustijn pada tanggal 23 Mei 1819 dan ia meninggal dunia pada tanggal 3 Oktober 1827. Kematian Davida memberikan pukulan berat bagi Augustijn.[12]
Augustijn Michiels memiliki tiga orang anak dari pernikahannya dengan Maria Wilhelmina yaitu Agraphina Augustina Michiels, Augustina Michiels, dan Michiel Augustin Michiels. Di samping itu juga, ia juga mengadopsi seorang budak berusia 8 tahun bernama Sinyo pada tahun 1824 dan memberinya nama Andries Michiels. Pada tahun 1830, ia juga mengadopsi seorang anak yang ia namakan Johannes Wilhelmus Julius Michiels.[1]
Sebelum Augustijn meninggal dunia, pada tahun 1831, ia mengeluarkan wasiat untuk mewariskan tanahnya kepada anak kandung dan angkatnya. Tanah di Citereup dan Nanggewer diwariskan oleh Andries Michiels sedangkan Agraphina memperoleh tanah di Klapanunggal. Selanjtunya, Michiels Augustijn Michiels mendapatkan tanah di Cipamingkis dan Cimapag, Augustina Michiels mewarisi tanah Cileungsi dan Cibarusah, dan Wilhelmus Michiels memperoleh tanah di Sukaraja. Disamping itu juga, tanahnya di Tanjung Priuk diserahkan kepada Yap Hok Nio.[1]
Haan, F. (1917). "DE LAATSTE DER MARDIJKERS". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. 73 (2): 219.Lebih dari satu parameter |pages= dan |page= yang digunakan (bantuan)
van de Wall, V.I (1932). Indische Landhuizen en hun Geschiedenis. Batavia: G. Kolff & Co.