Drs. Atmo Tan Sidik (lahir di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah) adalah budayawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui gagasannya yang dituangkan, baik dalam seminar dan diskusi maupun sejumlah buku yang telah diterbitkan. Atmo merupakan salah satu penerima penghargaan dari Mentri Pendidikan dan Kebudaan Republik Indonesia dan dinobatkan sebagai Maestro Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, tahun 2014.[1][2]
Latar belakang
Atmo Tan Sidik lahir di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Mengawali kariernya sebagai kepala desa Pakijangan, Kecamatan Bulakamba, Brebes, tahun 1989. Setelah itu, dia diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Brebes hingga menduduki jabatan Kepala Bagian Humas dan Protokol. Selain aktif dalam organisasi, Atmo juga menulis artikel di sejumlah media massa, utamanya untuk tema-tema filsafat Jawa, seni-budaya, dan kearifan lokal. Salah satu buku karyanya yang mendapat apresiasi dari Mentri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah berjudul Dikendangi Wong Edan Aja Njoget, berisi nasihat praktis filosofis dalam menjawab tantangan zaman. Tahun 2009, bersama Joshua Igho, Atmo mendirikan Akademi Kebudayaan Tegal (AKT) dan menerbitkan buku Kesan Pergaulan Bersama Adi Winarso. Selanjutnya, menyelenggarakan seminar nasional kebangsaan dengan mendatangkan narasumber Mayor Jendral Saurip Kadi. Tahun 2014, Atmo menerima penghargaan dari Mentri Pendidikan dan Kebudaan Republik Indonesia dan dinobatkan sebagai Maestro Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya bersana sejumlah nama lainnya yaitu Bondan Nusantara (seni ketoprak), Dimas Pramuka Atmaji (tari tradisional Jawa Timur), Heri Hendrayana Harris atau Gol A Gong (sastra dan komunitas), Merdeka Gedoan (drama, tari dan musik), Murti Bunanta (sastra anak), Sorimangaraja Sitanggang (seni budaya Batak), Tanto Mendut (budaya; Komunitas Gunung), Tengku Nasaruddin Said Efendi (seni-budaya Melayu), dan Tuti Soenardi (kuliner tradisional nusantara).[3][4][5]
Lihat pula
Referensi