Asyur (bahasa Sumer: 𒀭𒊹 AN.ŠAR2; aksara baji Asyur: , Aš-šur; atau secara fonetis 𒀭𒀀𒇳𒊬, da-šur₄)[1] adalah salah satu dewa Semit Timur dan mahadewa bangsa Asyur di dalam agama Mesopotamia. Pemujaan Dewa Asyur lebih marak di kawasan utara Mesopotamia, beberapa daerah di kawasan timur laut Suriah, dan sejumlah tempat di kawasan tenggara Asia Kecil yang merupakan wilayah Kemaharajaan Asyur Lama. Dewa Asyur mungkin pula digambarkan sebagai matahari.
Legenda
Dewa Asyur adalah bentuk pengilahian kota Asyur, kota yang diperkirakan sudah berdiri sejak pertengahan milenium ke-3 SM dan menjadi ibu kota Kerajaan Asyur Lama,[2] oleh karena itu mula-mula Dewa Asyur tidak berkeluarga. Sesudah kepercayaan bangsa Asyur dipengaruhi unsur-unsur religi kawasan selatan Mesopotamia, Dewa Asyur mulai dianggap sebagai versi Asyur dari Dewa Enlil, mahadewa kota Nipur, dewa terpenting di kawasan selatan Mesopotamia sejak awal milenium ke-3 SM sampai Hamurabi membangun kemaharajaan yang berpusat di kota Babel pada pertengahan abad ke-18 SM. Sejak zaman Hamurabi, Marduk naik menggantikan Enlil sebagai mahadewa di kawasan selatan Mesopotamia. Di kawasan utara Mesopotamia, Dewi Ninlil, istri Dewa Enlil, diserap menjadi dewi bangsa Asyur yang bernama Mulisu. Putra-putra Enlil, Ninurta dan Zababa, juga ikut terserap ke dalam agama bangsa Asyur. Proses ini bermula sekitar abad ke-14 SM, dan berlanjut sampai abad ke-7.[2]
Pada zaman-zaman kekuasaan bangsa Asyur, misalnya zaman Kemaharajaan Asyur pada masa pemerintahan Syamsyi-Adad I (1813–1750 SM), zaman Kemaharajaan Asyur Madya (1391–1056 BC) dan Kemaharajaan Asyur Baru (911–605 SM), pemerintah Kekaisaran Asyur melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Asyur adalah dewa tertinggi dan bangsa-bangsa jajahan sudah ditinggalkan dewa-dewa mereka.
Ketika Asyur menaklukkan Babel pada zaman kulawangsa Sargon (abad ke-8th – abad ke-7 SM), para pujangga Asyur mulai menuliskan nama Dewa Asyur dengan aksara 𒀭𒊹 AN.ŠAR2, ideogram untuk "segenap langit" di dalam bahasa Sumer, yang disederhanakan menjadi AN.ŠAR2 di dalam tata aksara baji Asyur, dan dieja Aššur di dalam dialek Asyur dari bahasa Akad, bahasa bangsa Asyur maupun Babel. Agaknya tindakan ini dilakukan dengan tujuan mengangkat Aššur ke mercu panteon Babel, tempat Ansyar (segenap langit) dan Kisyar (segenap bumi) diagungkan melebihi Enlil dan Ninlil sekalipun.[3] Jadi di dalam Enuma Elis versi kulawangsa Sargon, Marduk, dewa tertinggi Babel, tidak dimunculkan, dan malah diganti dengan Asyur sebagai Ansyar, dewa yang membunuh Tiamat, monster kekacaubalauan, dan menciptakan alam manusia.[4]
Representasi dan simbolisme
Pohon Hayat Asyur
Simo Parpola mendalami pemakaian motif 'Pohon Hayat' dalam penggambaran Dewa Asyur pada relief-relief.[5] Sosok Dewa Asyur kerap ditempatkan di dalam sebuah cakram bersayap yang mengambang di atas sebatang pohon, misalnya relief di balairung istana Raja Asyurnasirpal di kota Kalah yang memuat tulisan "Patih Amangkubumi Asyur".
Simo Parpola selanjutnya mencari kesamaan-kesamaan antara Ein Sof di dalam Kabalah dan makna simbolis Pohon Hayat Dewa Asyur. Penggambaran Dewa Asyur, sang dewa semesta alam, di balik cakram matahari, lambang dari cahaya yang merupakan fitrah sang dewa, sama seperti di dalam Kabalah, hanyalah satu dari sekian banyak kemiripan yang disimpulkan Simo Parpola.