Arsitektur EngganoEnggano adalah sebuah pulau yang terletak di barat Sumatera. Pulau Enggano terletak di Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara[1]. Pulau Enggano memiliki luas sekitar 150 km² dan dikelilingi oleh pantai yang berbatu dan memiliki beberapa hutan tropis di bagian tengahnya. Selain itu, Pulau Enggano memiliki beberapa aliran sungai kecil dan daerah rawa[2]. Masyarakat yang menghuni pulau tersebut disebut dengan suku bangsa Enggano[3]. Rumah Tradisional EngganoRumah adat Enggano berupa rumah panggung dua lantai setinggi enam meter dengan bentuk bangunan bulat atau melingkar. Secara umum ukuran rumah di Enggano seluas 8 x 8 meter [4]. Dinding rumah terbuat dari kayu atau bambu dan atapnya menggunakan anyaman daun rotan. Proses pembangunan rumah menggunakan dua hingga empat papan kayu besar yang diikat dengan bentuk melingkar seperti cakram. Bagian rumah terdiri atas tangga yang digunakan untuk akses rumah menuju pintu masuk, ruangan yang berfungsi sebagai tempat perapian, tempat tidur, dan tempat berteduh yang tidak terlalu luas. Rumah yang terdapat di Enggano dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan alami yang digunakan sebagai bahan konstruksi adalah kayu keras. Kayu keras adalah kayu yang dapat diolah menjadi balok, papan, kusen, usuk/reng, dan pasak. Terdapat tiga jenis kayu utama yang biasa digunakan oleh masyarakat Enggano dalam membangun rumah yaitu kayu apua, ehei, dan bintangor[5]. Kayu apua dipilih sebagai kayu utama dalam pembangunan rumah sebab kayu tersebut keras, kuat, dan tahan air. Selain menggunakan kayu, rumah di Enggano juga menggunakan bambu sebagai dinding atau tembok rumah. Pemilihan bambu sebagai dinding bertujuan membuat rumah menjadi lebih ringan dan tahan gempa sebab Pulau Enggano berada di wilayah rawan gempa. Bambu-bambu dianyam menjadi lembaran-lembaran anyaman yang akan dipasang pada sisi rumah dengan adukan pasir dan semen. [6] Rumah Enggano dibangun dengan bentuk panggung atau lebih tinggi dari permukaan tanah untuk menghindari serangan hewan liar dan musuh. Tinggi tiang dibuat melebihi panjang tombak yang diacungkan ke atas agar tidak mudah ditembus pada bagian lantainya. Selain menggunakan kayu apua dan bambu, lantai rumah Enggano menggunakan kayu merbau. Kayu merbabu memiliki spesifikasi yang sama seperti kayu apua yaitu keras dan kuat namun memiliki kelemahan yaitu tidak tahan terhadap air. KadiofeBangunan tradisional yang dapat kita temui di Pulau Enggano adalah kadiofe. Kadiofe merupakan balai pertemuan umum yang digunakan oleh masyarakat desa. Bangunan kadiofe dibangun dengan menggunakan tiang pancang, atap rotan, dan keempat sisinya terbuka. Namun, bangunan Kadiofe kini sudah tidak terdapat di perkampungan Enggano. Hilangnya bangunan tradisional tersebut kemungkinan besar terjadi pada tahun 1902 sebelum kedatangan Rhenish Missionary Society. Hal tersebut berdasar pada tulisan seorang antropolog Italia bernama Elio Modigliani yang telah menghabiskan waktu selama beberapa bulan di pulau tersebut[7]. Referensi
|