Aqraga (A'raga) atau Maqraga (Ma'raga) adalah permainan tradisional yang berasal dari provinsi Sulawesi Selatan.[1] Masyarakat Bugis biasa menyebutnya Ma’raga atau dalam bahasa makassarnya adalah A’raga. Ma'raga atau A'raga adalah permainan ketangkasan dengan menggunakan bola dari anyaman rotan.[2]
Selama ini, tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti kapan Aqraga diperkenalkan dalam masyarakat Makassar, tetapi permainan ini sudah terkenal sebelum orang-orang Eropa (penjajahan Belanda) memperkenalkan permainan Sepak Bola di Indonesia. Ada catatan sejarah yang menulis bahwa ma'raga dibawa oleh pelaut-pelaut Bugis dari Sumatera.[3] Dalam salah satu cerita rakyat Makassar yang berjudul Datu Museng dan Maipa Deapati, menceritakan bahwa permainan raga atau Aqraga ini dimainkan oleh anak-anak bangsawan di Kerajaan Gowa dan Sumbawa. Dalam beberapa sumber, disebutkan bahwa permainan aqraga bersal dari bangsa Melayu dan ada yang menyebutkan permainan ini berasal dari Nias, Sumatera Utara. Namun, diperkirakan penyebaran aqraga melalui perdagangan antar pulau dan penyebaran agama islam di Nusantara pada saat itu.[4]
Awalnya, aqraga digunakan sebagai penguji ketangkasan atau kesaktian mereka oleh para bangsawan. Namun, setelah menyebar di kalangan masyarakat luas, permainan ini dijadikan sebagai hiburan oleh masyarakat dan biasanya dimainkan disaat waktu senggang yang digunakan untuk menciptakan suasana senang bagi para pemain maupun orang yang menontonnya. Seiring berjalannya waktu, saat ini aqraga digunakan sebagai atraksi hiburan untuk menjamu tamu dan memeriahkan sebuah perayaan. Bahkan permainan ini menjadi salah satu lomba dalam peringatan hari kemerdekaan.
Permainan ini membutuhkan pemain yang tangkas dan lincah dalam memberikan umpan dan menendang bola makanya dahulu aqraga menjadi salah satu ukuran kesempurnaan seorang laki-laki di Sulawesi Selatan. Bahkan menurut beberapa orang, seorang pemuda tidak dapat menikah sebelum mereka mahir dalam bermain aqraga. Aqraga pernah dimainkan berdasarkan status sosial para pemainnya yang dikelompokan sesuai dengan derajat sosial mereka di masyarakat. Permainan aqraga menjadi salah satu permainan yang wajib bagi masyarakat Sulsel dikarenakan aqraga memiliki makna filosofis yang diajarkan oleh nenek moyang mereka dalam beberapa aspek dari permainan ini, yaitu.
- Tendangan membumbung (massempaq aratiga) bermakna kewaspadaan yang harus dimiliki kerajaan dan masyarakat terhadap semua kemungkinan adanya bahaya dari musuh.
- Tendangan balasan (massempaq mappalecce) bermakna bahwa konflik harus dihindari dalam masyarakat.
Aqraga menggunakan bola yang disebut bola raga. Bola raga ini dibuat dari anyaman rotan yang dibentuk bulat dengan panjang diameter 15–20 cm dan biasanya dianyam sebanyak tiga lapis agar lebih kuat. Bola dapat melenting dengan sempurna karena anyaman rotan yang kuat dan rapi sehingga bila bola di sepak atau jatuh di tanah atau tempat yang keras bola dapat memantul. Aqraga dimainkan dengan jumlah pemain yang terdiri dari 5-15 orang, berjenis kelamin laki- laki yang berusia remaja sampai dewasa dan menggunakan baju adat Passapu atau destar. Passapu yang digunakan adalah jenis Passapu Patonro yaitu destar yang berdiri tegak. Aqraga terkadang diiringi tetabuhan gendang sebagai penyemangat. Ketangkasan dalam memadukan unsur olahraga dan seni merupakan prasyarat untuk mahir dalam permainan ini.[2]
Cara Bermain
Wasit, biasanya dipilih berdasarkan orang yang tertua atau yang mahir dalam bermain aqraga, memasuki tengah lapangan dan diikuti oleh para pemainnya yang berdiri melingkari wasit tersebut. Wasit memegang bola raga dan melambungkannya ke atas sebagai tanda bahwa permainan dimulai. Pemain yang terkena raga adalah orang yang pertama kali memainkannya, lalu ia mengoper bola raga ke pemain lain dan seterusnya secara bergiliran hingga semua pemain mendapatkan gilirannya. Seorang pemain tidak boleh memonopoli permainan ataupun merebut raga dari pemain lain. Setiap pemain memiliki kesempatan dalam menunjukkan keterampilannya dalam beratraksi dengan raga.[2]
Biasanya, saat mengoper bola raga ke pemain lain diikuti beberapa gerakan seperti tarian ataupun membentuk formasi-formasi tertentu. Cara menyepak bola atau masyarakat bugis biasa menyebutnya sepak dilakukan dalam beberapa cara menurut kekuatan lambung bola tersebut, diantaranya.[2]
- sepak Sarring (sepakan keras) atau disebut anrong sepak (induk sepakan), yaitu melambungkan raga dengan menggunakan kaki dan tinggi minimalnya adalah tiga meter dari permukaan tanah.
- sepak Biasa (sepakan biasa) yaitu melambungkan raga dengan tinggi lambungan melewati tinggi kepala pemain. Tapi, jenis sepak ini tidak dimasukan dalam penilaian perlombaan dikarenakan dapat dilakukan oleh para pemain pada umumnya.
- sepak Caddi (sepakan kecil) yaitu melambungkan raga dengan tinggi lambungan setinggi pusar pemain, dalam sepak caddi juga termasuk belo. Belo adalah gerakan-gerakan indah dalam memainkan raga dengan menggunakan semua anggota tubuh kecuali kepala.
- sepak cenning raga yaitu sepakan yang dilakukan pemain dengan kepala dan kaki terbalik. Kaki berada diatas sedangkan kepala berada dibawah.
- sepak paqlongan-longa yaitu sepakan yang dilakukan pemain dalam posisi duduk atau jongkok.
Dalam bermain raga terdapat variasi-variasi unik yang dimainkan seorang pemain atau bahkan beberapa pemain. Salah satu contoh variasi yang dimainkan oleh beberapa pemain adalah variasi dalam menyepak raga yaitu para pemain bekerja sama untuk menggendong pemain lainnya di pundak. Saat pemain lainnya berada di pundak, sang pemain memainkan raga di atas sana. Dalam perlombaan terdapat kriteria-kriteria tertentu yang menjadi penilaian, yaitu.
- Bajiki anrong sepakna artinya sepakannya baik dan keras melambung.
- Caraddeki anggalle raga artinya pemain dapat menerima raga dengan baik, menghidupkan permainan dan disiplin.
- Jai sepak masagalana artinya pemain memiliki banyak sepakan yang langka dan gerakan variasi yang tidak mampu atau sulit ditiru oleh pemain lain.
Permainan raga meliputi tiga level yaitu.[1]
- Level Bawah (lantai) adalah memainkan raga dengan jalan berjongkok atau duduk.
- Level Tengah (berdiri) adalah memainkan raga dengan berdiri.
- Level Atas (formasi bersusun) adalah memainkan raga dengan saling menggendong atau mendukung di pundak.
Permainan raga diiringi dengan musik gendang dengan jenis irama: Tunrung pamancaq atau pukulan bunyi gendang seperti mengiringi olahraga pencak silat.[5]
Referensi
| Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |